Ketahuilah bahwa tatkala anak keturunan Adam diciptakan, di dalam dirinya juga dimasukkan hawa nafsu dan kehendak, agar dia bisa mendatangkan apa yang bermanfaat bagi dirinya. Di dalam dirinya juga diciptakan rasa amarah, agar dia menolak apa yang bisa mencelakakannya. Dia diberi akal layaknya pendidik yang menyuruhnya untuk berbuat adil tentang apa yang harus dia lakukan dan apa yang harus dia tinggalkan. Allah juga menciptakan setan yang menyuruhnya untuk berlebih-lebihan tentang apa yang harus dia lakukan dan apa yang harus dia tinggalkan. Yang harus dilakukan orang yang berakal ialah mewaspadai musuh yang satu ini, yang telah menetapkan permusuhannya semenjak masa Adam, yang telah bersumpah menghabiskan umurnya untuk merusak keadaan anak keturunan Adam. Allah telah memerintahkan untuk mewaspadai Iblis dan setan, sebagaimana firman-Nya,
Al - Baqarah : 168 -169
168. Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
169. Sesungguhnya syaitan itu Hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.
Al - Baqarah :268
268. Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.
An - Nisa' : 60
60. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.
Al - Maidah : 91
91. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Fathir : 6
6. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu), Karena Sesungguhnya syaitan-syaitan itu Hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.
Ayat-ayat lain yang senada cukup banyak dalam Al-Qur'an. Yang pasti engkau harus tahu bahwa Iblislah yang pertama kali membuat ulah, dengan menolak perintah untuk bersujud kepada manusia, karena dia merasa lebih unggul dalam masalah bahan penciptaannya.
Al - A'raf : 12
12. Engkau ciptakan saya dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah.
Kemudian Iblis menyusuli pengingkarannya ini dengan kelancangan terhadap Allah Yang Maha Bijaksana, dengan berkata,
Al - Isra' : 62
62. Terangkanlah kepadaku, inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku?
Dengan kata lain, "Beritahukan kepadaku mengapa Engkau memuliakannya atas dirikku? Apa yang Engkau lakukan ini sama sekali tidak berdasar hikmah." Kemudian Iblis menyusuli sikap ini dengan kesombongan, "Aku lebih baik darinya. "Dia menolak sujud kepada Adam, yang justru melecehkan dirinya yang sebenarnya diagungkan, dan dia mendapat kutukan serta siksaan.
Selagi Iblis menggoda manusia dengan sesuatu, maka dia harus memasang kewaspadaan yang tinggi, dan hendaklah dia mengatakan kepada Iblis, tatkala Iblis itu menyuruhnya kepada keburukan, "Apa yang kamu nasihatkan kepadaku itu hanyalah anjuran agar aku mengikuti hawa nafsu. Bagaimana mungkin seseorang memberikan nasihat kepada orang lain, padahal dia tidak bisa menasehati diri sendiri? bagaimana mungkin nasihat musuh bisa diterima?" Setelah itu berpalinglah dari Iblis dan berpijaklah kepada kekuatan dirimu sendiri. Sebab Iblis senantiasa memerintahkan kepada nafsu, Hendaklah akal difungsikan, dengan memikirkan akibat dan dosa. Jika ada bantuan bala tentara, maka pasukan nafsu pasti dapat dikalahkan.
Dari Iyadh bin Himar, dia berkata, "Rasulullah ShalAllahu alaihi wa Salam bersabda, "Wahai manusia, sesungguhnya Allah SubhanAllahu wa Ta'ala memerintahkan agar saya mengajarkan kepada kalian apa yang tidak kalian ketahui dan hal-hal yang Dia ajarkan kepadaku pada hari. (Firman-Nya), 'Sesungguhnya harta yang Kuberikan kepada hamba-Ku, maka ia halal baginya, dan sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan lurus semuanya. Lalu setan-setan mendatangi mereka dan mengalihkan mereka dari agama mereka. Padahal Aku menyuruh mereka agar tidak menyekutukan (sesuatu) dengan-Ku, selagi aku tidak menurunkan keputusan padanya'. Dan, sesungguhnya Allah SubhanAllahu wa Ta'ala memandang penghuni bumi, lalu membenci mereka, yang Arab maupun non-Arab, kecuali sebagian kecil dari Ahli Kitab."
Dari Jabir bin Abdullah RadhiAllahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah ShalAllahu alaihi wa Salam bersabda, "Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian mengutus satuan-satuan pasukannya. Yang paling rendah derajatnya adalah yang paling besar cobaannya. Salah seorang diantara mereka datang seraya melapor, 'Aku telah berbuat begini dan begitu'. Iblis berkata, 'Engkau tidak berbuat apa-apa'. Beliau bersabda, 'Kemudian salah seorang diantara mereka datang sambil melapor, 'Aku tidak meninggalkannya sehingga dapat memisahkan dirinya dengan istrinya', Beliau bersabda, 'Lalu Iblis menyuruhnya mendekat', atau beliau bersabda, 'Lalu ia mengikutinya dan berkata. 'Bagus, itulah kamu'."
Dari jabir bin Abdullah RadhiAllahu Anhu, dia memarfu'kan, dengan berkaa, "Sesungguhnya Iblis merasa putus asa karena ia tidak disembah orang-orang yang sedang shalat. Tetapi dia tidak berputus asa mengadu domba di antara mereka."
Al-Mushannif berkata, "Hadits ini hanya ada dalam riwayat Al-Bukhori, sedangkan sebelumnya ada dalam riwayat Muslim. Dalam suatu riwayat disebukan, "Iblis merasa putus asa karena tidak disembah orang-orang yang shalat di Jazirah Arab."
Dari Anas bin Malik RadhiAllahu Anhu, dia memarfu'kannya, "Sesungguhnya setan meletakkan paruhnya di dalam hati anak Adam. Jika anak Adam itu mengingat Allah, maka setan bersembunyi, dan jika anak Adam itu lalai maka setan mematuk hatinya."
Dari Ibnu Mas'ud RadhiAllahu Anhu, dia berkata, "Sesungguhnya setan mengelilingi orang-orang yang ada dalam majlis dzikir untuk mengganggu mereka, namun dia tidak sanggup memecah belah di antara mereka. Lalu dia mendatangi orang-orang yang berkerumun membicarakan dunia, lalu menggoda mereka hingga mereka saling menyerang. Lalu orang-orang yang berdzikir bangkit dari duduknya, dan mereka pun saling berpisah!
Dari Qatadah RadhiAllahu Anhu, dia berkata, " Sesungguhnya Iblis itu mempunyai seorang setan yang disebut Qabqab, yang dilatihnya selama empat puluh tahun. Jika ada seorang anak lewat di jalan ini, maka Iblis berkata kepada Qabqab, 'Bertindaklah, karena aku sudah melatihmu seperti ini. Datangi anak itu dan ganggulah dia."
Dari Tsabit Al-Bannani RadhiAllahu Anhu, dia berkata, "Iblis pernah muncul di hadapan Yahya bin Zakaria alaihis Salam. Beliau melihat banyak barang-barang yang menggantung pada diri Iblis. Yahya bertanya, "Wahai Iblis, apakah barang-barang yang menggantung pada dirimu itu?"
Iblis menjawab, "Ini adalah nafsu-nafsu yang kupergunakan mengail anak Adam."
Yahya bertanya, "Apakah ada pula yang ditujukan untukku?"
Iblis menjawab,"Boleh jadi perutmu kenyang, lalu aku membuamu merasa berat melaksanakan shalat dan berdzikir."
"Adakah selain itu?" tanya Yahya.
Iblis menjawab, "Tidak ada, demi Allah."
Yahya berkata, "Demi Allah, selamanya aku tidak akan membuat perutku kenyang karena makanan."
Iblis berkata, "Demi Allah, aku sama sekali tidak akan memberikan nasihat kepada orang Muslim."
Dari Al-Harits bin Qais RadhiAllahu Anhu, dia berkata, "Jika engkau didatangi setan tatkala engkau sedang shalat, lalu dia berkata, 'Engkau dapat melihatku', maka buatlah shalat itu bertambah lama."
disalin dari : Buku Perangkap Setan
Selengkapnya...
Senin, 28 Februari 2011
Mewaspadai Talbis Iblis
Setengah Iblis
Waspadalah akan manusia setengah Iblis
Tolak syariah bicara sok kritis
Sering dengan nada sinis
Sebut ukhti tekstualis
Padahal mereka cuma mengais
Dari sampah pikiran kafir najis
Mereka lancang bicara
Jilbab itu budaya…
Jadi cuma produk manusia
Tapi ukhti harus waspada
Karena itu hanya tipu daya belaka
Mereka sendiri malu pake koteka
Dengan nylekit
Mereka bilang ‘poligami amit-amit’
Hanya bikin hati sakit
Hasilnya, suami pergi tanpa pamit
Selingkuh pun terjadi tidak sedikit
Hingga perzinaan pun dilakukan di gang sempit
Mereka sibuk melombakan kefasikan
Mulai dari kontes ratu-ratuan
Obral aurat dijual murahan
Iman dan akhlak bukan ukuran
Layaknya di pasar hewan
Yang dinilai hanya keelokan dan kemontokan
[Disalin dari sebuah tulisan yang saya tidak tahu pasti siapa penulisnya, jazahullahu khoiron].
Artikel www.ustadzaris.com
Selengkapnya...
Kisah Menangisnya Umar Rahimahullahu, Istrinya dan Keluarganya
Dari Abdus Salam -mantan hamba sahaya Maslamah bin Abdul Malik, Ia bercerita :
Umar bin Abdul Aziz Rahimahullahu menangis, lalu diikuti oleh seluruh penghuni rumah. Mereka tidak mengetahui apa sebab yang lain menagis. Ketika tangisan mereka terhenti, Fatimah bertanya kepada suaminya,"Ayahku sebagai tebusanmu, ya Amirul Mukminin, apa yang membuatmu menangis?"
Umar Rahimahullahu menjawab, "Ya Fatimah, aku teringat kemana manusia digiring setelah menghadap kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Ada kelompok yang digiring ke Surga, ada yang ke Neraka."
Lalu Umar Rahimahullahu menangis lagi, dan pingsan."[1]
________________
[1] Lihat Hilyatul 'Auliya, Abu Nu'aim (5/237).
Buku Saku, judul : 102 Kisah Umar bin Abdul Aziz, penulis : Usamah Naim Mushthafa, edisi Indonesia
Selengkapnya...
Kekerasan yang Berisikan Kasih Sayang
Pada suatu hari dimana kekhilafahannya, Umar bin Khattab RadiAllahu Anhu mengundang seseorang supaya menuliskan untuknya suatu dokumen yang berisikan surat pengangkatan jabatan. Ketika ia sedang menulis, seorang anak dari anak-anak Umar datang dan duduk di ruang Khalifah, lalu dia tampakkan kasih sayang seraya menciumnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Amirul Mu'minin, aku mempunyai sepuluh anak sepertinya, tidak ada seorang pun dari mereka yang mendekat kepadaku." Mendengar hal itu, Umar mengatakan, "Aku tidak berdosa, jika Allah Subhanahu Wa Ta'ala mencabut belas kasih dari hatimu. Sesungguhnya Allah hanyalah mengasihi hamba-hamba-Nya yang penyayang." Kemudian dia memerintahkan supaya surat pengangkatan jabatan tersebut dirobek, seraya mengatakan, "Jika dia tidak sayang kepada anak-anaknya, maka bagaimana dia akan sayang kepada rakyatnya."
Siapakah yang bisa berbuatseperti Umar RadiAllahu Anhu dalam hal itu? Keputusan mendadak karena takut berbuat zhalim. Kasih sayang kedua orang tua mengabarkan kepadamu tentang kebagusan batin dan tabiat. Dia menginginkan untuk kaum muslimin belas kasih semacam ini. Dia berkata benar : "Barang siapa yang tidak memiliki kasih sayang kepada belahan hatinya, lalu dari mana dia memiliki belas kasih kepada orang lain." Ini adalah pandangan yang jauh, firasat yang kuat, dan pemahan terhadap berbagai ihwal manusia. Seandainya selainmu, wahai Faruq, niscaya dia mengatakan, "Inilah yang layak untuk menghukum rakyat." Tetapi anda tidak ridha untuk mereka kecuali kebaikan.
Buku saku, judul : Umar bin Khathab Tegas dan Keras Membela Al-Haq, penulis : Muhammad Abbas Al-Mubarak, edisi Indonesia
Selengkapnya...
Janganlah engkau menjadikan Allah adalah yang paling rendah diantara orang-orang yang melihatmu
لاَ تَجْعَلِ اللهَ أَهْوَنَ النَّاظِرِيْنَ إِلَيْكَ
Janganlah engkau menjadikan Allah adalah yang paling rendah di antara orang-orang yang melihatmu
Nasehat agar kita lebih takut kepada Allah dan lebih malu kepada Allah tatkala bersendirian.
Selengkapnya...Untuk para istri sholehah
Syaikhul Islam berkata,
وليس على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج
"Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah- dari pada hak suami" (Majmuu' Al-Fataawaa 32/260)
Ibnul Jauzi berkata,
«وينبغي للمرأة العاقلة إذا وجدت زوجًا صالحًا يلائمها أن تجتهد في مرضاته، وتجتنب كل ما يؤذيه، فإنها متى آذته أو تعرضت لما يكرهه أوجب ذلك ملالته، وبقي ذلك في نفسه، فربما وجد فرصته فتركها، أو آثر غيرها، فإنه قد يجد، وقد لا تجد هي، ومعلوم أن الملل للمستحسن قد يقع، فكيف للمكروه»
Seyogyanya seorang wanita yang berakal jika ia mendapatkan seorang suami yang sholeh yang cocok dengannya untuk bersungguh-sungguh berusaha untuk mencari keridoan suaminya dan menjauhi seluruh perkara yang menyakiti suaminya. Karena kapan saja ia menyakiti suaminya atau melakukan sesuatu yang dibenci suaminya maka akan membuat suaminya bosan dengannya, dan kebencian tersebut akan tersimpan di hati suaminya. Bisa jadi sang suami mendapatkan kesempatan maka sang suami akan meninggalkannya atau mengutamakan istrinya yang lain. Karena sang suami bisa jadi mendapatkan (istri yang baru) sedangkan ia belum tentu mendapatkan (suami yang baru). Padahal diketahui bersama bahwasanya rasa bosan itu bisa menimpa pada perkara yang baik, bagiamana lagi terhadap perkara yang dibenci" (Ahkaamun Nisaa' li Ibnil Jauzi)
Imam Ahmad pernah berkata tentang istrinya Ummu Sholeh 'Abbasah binti Al-Fadhl,
أقامت أم صالح معي ثلاثين سنة، فما اختلفت أنا وهي في كلمة.
"Ummu Sholeh tinggal bersamaku selama tiga puluh tahun, tidak pernah kami berselisih dalam satu permasalahanpun" (Taarikh Bagdaad 14/438)
Selengkapnya...
Setan Takut Ketegasan Al-Faruq RadhiyAllahu 'anhu
Dari Muhammad bin Sa'd bin Abu Al-Waqqash dari ayahnya, ia mengatakan Umar bin Al-Khaththab meminta izin masuk kerumah Rasulullah ShalAllaahu 'Alaihi Wa sallam, sedangkan disekeliling beliau ada sejumlah wanita Quraisy yang berbicara banyak kepada beliau dengan meninggikan suara mereka melebihi suara beliau. Ketika Umar bin Al-Khaththab meminta izin, mereka pergi dan segera berhijab. Lalu Rasulullah ShalAllaahu 'Alaihi Wa sallam mengizinkannya masuk. Umar pun masuk, sedangkan Rasulullah ShalAllaahu 'Alaihi Wa sallam tertawa, maka ia berkata, "Apakah Allah menjadikan gigimu tertawa, wahai Rasulullah?" Nabi ShalAllaahu 'Alaihi Wa sallam berkata, "Aku heran terhadap para wanita yang berada disekelilingku. Ketika mereka mendengar suaramu, maka mereka segera berhijab."
Umar berkata, "Engkau lebih berhak untuk disegani, wahai Rasulullah?" Kemudian Umar mengatakan, "Wahai para musuh bagi diri mereka sendiri, apakah kalian segan kepadaku dan tidak segan kepada Rasulullah?" Mereka menjawab, "Ya, engkau lebih kasar dan lebih keras daripada Rasulullah ShalAllaahu 'Alaihi Wa sallam." Kemudian Rasulullah ShalAllaahu 'Alaihi Wa sallam bersabda :
"Wahai Ibnul Khaththab, demi dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah setan berpapasan denganmu sewaktu menempuh suatu lembah melainkan ia pasti mengambil lembah lain selain yang engkau lewati."
(Shahih Al-Bukhari, no.3683)
Buku saku, judul : Umar bin Khathab Tegas dan Keras Membela Al-Haq, penulis : Muhammad Abbas Al-Mubarak, edisi Indonesia
Selengkapnya...
Untukmu Ukhti Muslimah… [Nasihat Ringkas Tentang Jilbab - Dari Radio Rodja]
Wahai Saudari Muslimah, siapakah yang menyuruhmu untuk berjilbab?
Untukmu ukhti muslimah…
kemana akan kau bawa dirimu?
kepada gemerlapnya dunia?
gemilaunya harta?
atau pada ketampanan seorang pria?
walaupun kau harus membuka hijabmu
demi mendapat semua yang kau inginkan,
maka kehinaan yang kau dapatkan!
Wahai Saudari Muslimah, siapakah yang munyuruhmu untuk berhijab?
Untukmu ukhti muslimah…
kemana akan kau bawa dirimu?
kepada kemuliaan jiwa?
kepada keridhaan sang pencipta?
atau mulianya menjadi bidadari surga?
walaupun hinaan dan cacian yang harus kau terima
demi menjaga hijab yang telah disyariatkan oleh agama,
maka kebahagiaan yang akan kau dapatkan!
Katakan TIDAK pada gemerlapnya dunia!
jika hijabmu harus terlepas karenanya
katakan TIDAK pada kemilaunya harta!
jika hijabmu harus menjadi tebusannya
karena hijabmu,
adalah benteng kemuliaan dirimu
bahwasannya yang menyuruhmu untuk berjilbab
yang menyuruhmu untuk berbusana muslimah
yang menyuruhmu ialah Allah dan Rasul-NYa
dan konsekwensi kita sebagai seorang muslim maupun muslimah
wajib untuk taat pada Allah Ta’ala
karena Allah yang menciptakan kita
Allah yang memberikan rizki pada kita
Allah yang memberikan segalanya kepada kita
Al-Qur’an menyuruh kita untuk berhijab
Allah yang menciptakan kita yang menyuruh kita untuk berjilbab!
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”
(QS.al-Ahzab:59)
Jika seandainya manusia (wanita muslimah) tidak berbusana Muslimah, tidak berjilbab,
maka manusia ini akan rusak dan hancur, akan binasa.”
Setiap wanita, TIDAK ADA UDZUR (tidak ada alasan) untuk tidak memakai busana muslimah.
(Dikutip dari nasihat Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah di Radio Rodja 756 AM)http://abangdani.wordpress.com/ Selengkapnya...
Selasa, 22 Februari 2011
Hukum Menyisir Rambut, Memotong Kuku & Mandi Ketika Haidh
Oleh: Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin rohimahulloh
Pertanyaan:
Aku pernah mendengar bahwa menyisir rambut tidak boleh ketika sedang haidh, begitu pula memotong kuku serta mandi. Apakah ini benar?
Jawaban:
Ini tidak benar, wanita yang haidh boleh memotong kukunya, menyisir rambutnya dan mandi junub, seperti apabila ia mimpi basah ketika haidh maka ia boleh mandi junub. Atau suaminya mencumbuinya tanpa jima’ lalu si istri mengeluarkan mani, hendaknya ia setelah itu mandi junub.
Dan perkataan yang masyhur di kalangan sebagian wanita bahwa ia tidak boleh mandi, menyisir rambut dan memotong kukunya maka setahuku ini tidak ada asalnya dalam syari’at.
***
Diterjemahkan dari: http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4750.shtml.
http://ummushofi.wordpress.com/
Selengkapnya...
Padamnya Rasa Cemburu
Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Cemburu, asal tidak berlebihan, merupakan salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki pasangan suami istri. Sayangnya, kerusakan moral atas nama modernitas telah mengikis rasa cemburu itu. Walhasil, pintu perselingkuhan pun terbuka lebar hingga berujung pada runtuhnya bangunan rumah tangga.
Banyak kita jumpai fenomena di mana seorang suami tidak lagi merasa berat hati bila melihat istrinya keluar rumah berdandan lengkap dengan beraneka polesan make-up di wajah. Sang istri datang ke pesta, ke pusat perbelanjaan, ataupun ke tempat kerja hanya dengan pakaian ‘sekedarnya’ yang memperlihatkan auratnya. Tak cuma itu, keluarnya istri dari rumah pun seringkali hanya ditemani sopir pribadinya.
Hati suami seakan tak tergerak. Darahnya pun seolah tidak mendidih melihat semua itu. Justru terselip rasa bangga bila istrinya dapat tampil cantik di hadapan banyak orang. Parahnya lagi, dia tetap merasa tenang ketika ada lelaki lain yang mendekati istrinya dan berbicara dengan nada akrab. Bahkan sekali lagi dia merasa bangga bila lelaki lain itu mengagumi kecantikan istrinya.
Yang ironis, sang suami dengan semua itu, kemudian memandang dirinya sebagai seorang yang berpikiran maju, moderat, penuh pengertian, dan mengikuti perkembangan jaman. Innalillahi wa inna ilaihi raji‘un.
Kebobrokan akhlak yang sangat parah pun menimpa, tatkala ghirah itu hilang… tatkala bara cemburu itu padam… Seorang suami tidak lagi memiliki ghirah terhadap istrinya, tidak ada rasa cemburu yang membuat dia menjaga istri dengan baik. Menyimpannya dalam istana yang mulia agar tidak terjamah tatapan mata dan sentuhan tangan yang tidak halal… Tidak ada lagi rasa cemburu di hatinya yang dapat mendorong untuk menjaga istrinya agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, agar tidak melakukan pelanggaran akhlak dan moral. Bahkan, dia sendiri terjerembab, jatuh dalam jurang kenistaan.
Ghirah yang Hilang
Bila kita bandingkan kenyataan yang kita dapati pada hari ini dan kisah masa lalu, maka yang terucap hanyalah kata rindu, rindu kepada masa lalu. Betapa orang-orang dahulu begitu menjaga wanita mereka. Tidak mereka biarkan wanita mereka terlihat oleh mata-mata yang tidak halal, apalagi terkena sentuhan. Merupakan suatu aib bagi mereka bila wanita keluar rumah tanpa memakai kain penutup seluruh tubuhnya. Suatu cela bagi mereka bila ada lelaki lain berbicara dengan wanita mereka.
Mereka lazimkan wanita untuk mengenakan perhiasan rasa malu dan ‘iffah (menjaga kehormatan dan harga diri). Perbuatan seperti itu bukan sekedar tradisi dan budaya suatu masyarakat atau bangsa tertentu. Namun demikianlah yang diinginkan dalam syariat agama yang mulia ini. Dengan ghirah ini kemuliaan mereka pun tetap terjaga dan akhlak mereka terpelihara. Namun ketika ghirah ditanggalkan dan wanita dibiarkan keluar dari rumahnya tanpa rasa malu, terjadilah apa yang terjadi. Fitnah dan kerusakan moral yang tak terkira. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam jauh sebelumnya telah memperingatkan:
“Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan Allah menjadikan kalian sebagai pengatur di dalamnya dengan turun temurun, lalu Dia melihat bagaimana kalian berbuat. Maka hati-hatilah kalian dari dunia dan hati-hatilah kalian dari wanita karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil adalah pada wanitanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 2742)
Jaman memang telah berubah. Mayoritas manusia semakin jauh dari akhlak yang lurus. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak datang kepada kalian suatu jaman kecuali jaman setelahnya lebih jelek darinya (yakni dari jaman sebelumnya) hingga kalian bertemu dengan Tuhan kalian.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7068)
Ghirah Seorang Suami Menurut Tuntunan Islam
Di dalam agama yang mulia ini, seorang suami dituntut untuk memiliki ghirah atau rasa cemburu kepada istrinya, sehingga ia tidak menghadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan mengeluarkannya dari kemuliaan.
Sa’ad bin ‘Ubadah z pernah berkata dalam mengungkapkan kecemburuan terhadap istrinya:
“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang (yang dimaksud bagian yang tajam, red)…”
Mendengar penuturan Sa‘ad yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam mencelanya, bahkan beliau bersabda:
“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa`ad? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa`ad dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, dalam kitab An Nikah, bab “Al-Ghairah” dan Muslim no. 1499)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata: “Dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim disebutkan bahwa tatkala turun ayat:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak 80 cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya.” (An-Nur: 4)
Berkatalah Sa‘ad bin ‘Ubadah: “Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.” Mendengar ucapan Sa‘ad, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”. Orang-orang Anshar pun menjawab: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu masih gadis dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut karena cemburunya yang sangat.” Sa‘ad berkata: “Demi Allah, sungguh aku tahu wahai Rasulullah bahwa ayat ini benar dan datang dari sisi Allah, akan tetapi aku cuma heran.” (Fathul Bari, 9/385)
Asma bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq bertutur tentang dirinya dan kecemburuan suaminya: “Az-Zubair menikahiku dalam keadaan ia tidak memiliki harta dan tidak memiliki budak. Ia tidak memiliki apa-apa kecuali hanya seekor unta dan seekor kuda. Akulah yang memberi makan dan minum kudanya. Aku yang menimbakan air untuknya dan mengadon tepung untuk membuat kue. Karena aku tidak pandai membuat kue maka tetangga-tetanggaku dari kalangan Anshar-lah yang membuatkannya, mereka adalah wanita-wanita yang jujur. Aku yang memikul biji-bijian di atas kepalaku dari tanah milik Az-Zubair yang diserahkan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai bagiannya, dan jarak tempat tinggalku dengan tanah tersebut 2/3 farsakh1. Suatu hari aku datang dari tanah Az-Zubair dengan memikul biji-bijian di atas kepalaku, maka aku bertemu dengan Rasulullah beserta sekelompok orang dari kalangan Anshar. Beliau memanggilku, kemudian menderumkan untanya untuk memboncengkan aku di belakangnya2. Namun aku malu untuk berjalan bersama para lelaki dan aku teringat dengan Az-Zubair dan kecemburuannya, sementara dia adalah orang yang sangat pencemburu. Rasulullah mengetahui bahwa aku malu maka beliau pun berlalu. Aku kembali berjalan hingga menemui Az-Zubair. Lalu kuceritakan padanya: ‘Tadi aku berjumpa dengan Rasulullah dalam keadaan aku sedang memikul biji-bijian di atas kepalaku, ketika itu beliau disertai oleh beberapa orang shahabatnya. Beliau menderumkan untanya agar aku dapat menaikinya, namun aku malu dan aku tahu kecemburuanmu’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Bukanlah makna ghirah atau cemburu itu dengan selalu berprasangka buruk kepada istri sehingga selalu mengintainya siang dan malam guna mencari-cari kesalahannya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
“Jauhilah oleh kalian kebanyakan dari prasangka karena sebagian prasangka itu dosa….” (Al-Hujurat: 12)
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
“Hati-hati kalian dari prasangka3 karena prasangka itu adalah pembicaraan yang paling dusta.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 2563)
Ghirah Menyaring Kejelekan
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t berkata, bara dan panasnya ghirah ini akan menyaring kejelekan dan sifat tercela, sebagaimana emas dan perak dibersihkan dari kotoran yang mencampurinya. Orang-orang mulia dan tinggi harga dirinya pasti memiliki ghirah yang besar terhadap dirinya dan orang-orang yang dekat dengannya juga terhadap orang lain secara umum. Karena itulah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling memiliki ghirah terhadap umatnya. Dan ghirah Allah Subhaanahu wa Ta’aala lebih dibanding beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam. (Ad-Daau wad Dawa, hal. 106)
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak ada satupun yang lebih ghirah daripada Allah. Karena ghirah-Nya inilah Dia mengharamkan perbuatan keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5220 dan Muslim no. 2760)
penolakan terhadap perbuatan jelek dan keji.” (Ad-Daau wad Dawa, hal. 109-110)
Awal Runtuhnya Ghirah
Hilangnya ghirah dari lubuk hati seorang insan disebabkan oleh banyak hal, di antara sebab terbesar yang bisa kita saksikan adalah:
1. Kebanyakan mereka berpaling dari mempelajari agama yang agung ini, yang dengannya Allah memuliakan kita setelah sebelumnya kita hina. Namun ketika nikmat yang agung ini disia-siakan dan manusia enggan mengikuti petunjuk Rasul yang menyampaikan agama ini, mereka kembali terpuruk hina dina di hadapan umat lainnya. Sehingga mereka merasa minder bila tidak mengikuti orang-orang kafir. Sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, mereka terus mengikuti jejak orang-orang kafir tersebut. Dalam keadaan mereka menyangka bahwa itu adalah peradaban dan kemajuan, padahal sebenarnya hal itu adalah kehinaan dan kehancuran. Kenyataan yang demikian ini telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam jauh sebelumnya, beliau bersabda:
“Sungguh-sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara hidupnya) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk ke dalam lubang dhabb (sejenis biawak), kalian pun akan memasukinya.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)
2. Termasuk perkara yang menyebabkan hilangnya ghirah dalam dada kaum muslimin adalah banyaknya fitnah dan perubahan yang mereka terima lalu ditelan mentah-mentah oleh hati-hati mereka sehingga menjadi bagian darinya. Akibatnya terbaliklah fitrah mereka. Dalam pandangan mereka, yang mungkar adalah ma‘ruf dan yang ma‘ruf adalah mungkar. Bila ada yang membawakan kebenaran kepada mereka sementara kebenaran itu menyelisihi kebiasaan mereka, maka mereka menganggap hal itu jumud, terbelakang, dan menghambat kemajuan. Membebaskan wanita keluar dari rumahnya dengan segenap keindahannya adalah termasuk kemajuan dalam pikiran kotor mereka.
3. Hal lain yang membuat seorang suami menanggalkan ghirah-nya adalah persangkaannya yang keliru. Dia menyangka bahwa rasa malu dan menutup tubuh (berhijab) bagi wanita adalah bagian dari masa lalu sehingga telah ketinggalan jaman bila tetap dikenakan di masa modern ini. Ia tidak ingin mengekang istrinya dengan kebiasaan yang sudah usang dimakan jaman, bahkan ia ingin menunjukkan kepada istrinya dan kepada orang lain bahwa ia seorang laki-laki yang moderat dan selalu mengikuti kemajuan.
4. Tenggelam dalam lumpur dosa termasuk salah satu sebab padamnya api ghirah di dalam hati dan hal ini merupakan hukuman atas dosa yang diperbuat. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Ad-Daau wad Dawa, hal.106)
Dari penjelasan yang kita dapatkan di atas, pahamlah kita bahwa ghirah dalam batasan yang diperkenankan syariat merupakan sifat yang terpuji. Dengan ghirah ini seorang laki-laki dapat menjaga istrinya dan mahramnya yang lain dari perbuatan yang melanggar syariat Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Sebaliknya tidak adanya ghirah menyebabkan seorang suami membiarkan istrinya jatuh ke dalam lumpur noda dan dosa. Akibatnya kejelekan dan fitnah pun tersebar…
Betapa butuhnya kita untuk kembali kepada aturan syariat yang mulia ini. Betapa perlunya kita kembali menengok ke masa lalu yang sangat menjaga ghirah, masa lalu yang sarat dengan penerapan ajaran agama yang mulia ini. Dan sungguh ini adalah senandung kerinduan kepada masa lalu….
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab
http://www.asysyariah.com/
Selengkapnya...
Sabtu, 19 Februari 2011
Menyoal Asuransi Dalam Islam
Asuransi adalah perjanjian jaminan dari pihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada pihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau kepastian bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan.
Dari penjelasan ini nyata bahwa di dalam perjanjian asuransi itu ada unsur:
1. Bentuk dan jumlah jaminan yang akan diberikan pihak perusahaan asuransi;
2. Bahaya atau musibah yang terjadi;
3. Angsuran atau pembayaran yang dibayar oleh nasabah.
SEJARAH ASURANSI
Asuransi pertama kali muncul dalam bentuk asuransi perjalanan di lautan yang muncul pada abad 14 Masehi. Namun asuransi ini memiliki akar sejarah semenjak sebelum Masehi. Yaitu bahwa seseorang meminjamkan sejumlah harta riba untuk kapal yang akan berlayar, jika kapal itu hancur, maka pinjaman itu hilang. Jika kapal selamat, maka pinjaman itu dikembalikan dengan riba (tambahan) yang disepakati. Kapal itu digadaikan sementara sebagai jaminan pengembalian hutang dan ribanya.
Demikianlah asal muasal perusahaan asuransi merupakan perjanjian yang bersifat riba, berdasarkan unsur perjudian dan menghadang bahaya. Dan asuransi tetap seperti ini sebagaimana muncul pertama kali.
Kemudian muncul asuransi di daratan di kalangan bangsa Inggris pada abad 17 Masehi. Bentuk asuransi yang pertama kali muncul adalah asuransi kebakaran. Hal ini muncul setelah kejadian kebakaran hebat di kota London pada tahun 1666 Masehi. Lebih dari 13 ribu rumah dan sekitar 100 gereja menjadi korban kebakaran. Kemudian asuransi kebakaran ini menyebar di banyak negara di luar Inggris pada abad 18 Masehi, khususnya di Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat. Kemudian asuransi semakin menyebar dan bertambah jenis-jenisnya, khususnya pada abad 20 Masehi.
JENIS-JENIS ASURANSI
Dilihat dari bentuk dan tujuannya, asuransi ada dua jenis:
1) At-Ta’miin at-Tijaariy.
Asuransi yang bertujuan mencari keuntungan, atau asuransi yang dijadikan usaha, asuransi yang memiliki angsuran yang pasti. Angsuran ini otomatis menjadi milik perusahaan asuransi sebagai ganti dari pembayaran yang dia tanggung jika terjadi musibah -atau apa yang disepakati. Jika jumlah pembayaran dari perusahaan lebih besar dari uang angsuran, maka itu ditanggung oleh perusahaan, dan merupakan kerugiannya. Jika tidak terjadi musibah, maka angsuran itu menjadi milik perusahaan tanpa ganti apapun. Dan ini merupakan keuntungannya. Inilah asuransi yang dibacarakan di sini. Dan ini terlarang karena bersifat spekulasi yang merugikan salah satu fihak.
2) At-Ta’miin at-Ta’aawuniy.
Atau juga disebut at-Ta’miin at-Tabaaduliy atau at-Ta’miin al-Islamiy. Yaitu asuransi gotong-royong atau asuransi yang sesuai dengan agama Islam. Ini tidak bertujuan mencari keuntungan, namun hanyalah bentuk tolong menolong di dalam menanggung kesusahan. Contohnya: sekelompok orang bersama-sama mengumpulkan uang, dengan uang ini mereka membantu orang yang terkena musibah. Perusahaan asuransi islam ini, tidak otomatis memiliki uang angsuran dari nasabah. Demikian juga uang yang dibayarkan ketika terjadi musibah bukan milik perusahaan, namun milik bersama. Perusahaan ini hanyalah menyimpan, mengembangkan, dan memberikan bantuan.
Selain itu ada jenis asuransi yang lain, yaitu:
3) At-Ta’miin al-Ijtima’iy (jaminan keamanan sosial).
Hal ini juga tidak mencari keuntungan, dan bukan asuransi khusus pada seseorang yang khawatir musibah tertentu. Tetapi ini bertujuan untuk membantu orang banyak, yang kemungkinan bisa berjumlah jutaan orang. Seperti yang dilakukan oleh negara-negara terhadap para pegawainya, yang dikenal dengan istilah peraturan pensiun. Yaitu dengan cara memotong gaji bulanan dengan prosentase tertentu, dan ketika telah sampai masa pensiun, uang tersebut diberikannya dalam bentuk gaji pensiun bulanan, atau uang pesangon yang diberikan sekaligus untuk membantu kehidupannya. Bahkan jenis ini sebenarnya tidaklah termasuk asuransi. Hal ini tidak mengapa, asalnya tidak disimpan di bank yang menjalankan riba.
MACAM-MACAM ASURANSI TIJARI
At-Ta’miin at-Tijaariy, asuransi yang bertujuan mencari keuntungan sangat banyak macanya, antara lain:
1) Asuransi Kecelakaan.
Asuransi jenis ini dilakukan pada harta-harta yang dimiliki, seperti asuransi pencurian, asuransi kebakaran, dan semacamnya. Juga dilakukan pada pertanggungan jawab nasabah, seperti asuransi kecelakaan kendaraan, asuransi kecelakaan kerja, dan semacamnya.
2) Asuransi Pribadi.
Yaitu asuransi dari bahaya-bahaya yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, di sisi kehidupannya, kesehatannya, atau keselamatannya. Hal ini meliputi asuransi jiwa dan asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan.
Asuransi jiwa yaitu perjanjian yang mengharuskan perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada nasabah atau kepada orang ke tiga, sebagai ganti angsuran-angsuran yang diberikan, ketika matinya nasabah, atau tetap hidupnya nasabah sampai umur tertentu. Hal ini ada beberapa macam:
1. Asuransi untuk keadaan kematian. Yaitu diberikan sejumlah uang pada saat kematian nasabah. Ini ada 3 macam:
a) Asuransi selama hidup. Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diansuransikan pada saat kematian orang yang membayar asuransi (nasabah). Jika asuransi untuk jangka tertentu, seperti 20 tahun misalnya, dan nasabah itu mati sebelum lewat 20 tahun, maka angsurannya gugur, dan orang yang diasuransikan berhak mendapatkan jumlah uang asuransi secara penuh. Ini berarti kerugian bagi perusahaan. Dan jika nasabah itu masih hidup lewat 20 tahun, maka angsurannya berhenti, tetapi uang asuransi tidaklah diberikan kepada orang yang diansuransikan kecuali setelah kematian nasabah.
b) Asuransi selama waktu tertentu. Yaitu nasabah membayar angsuran asuransi, dan perusahaan akan membayar sejumlah uang asuransi untuk orang yang diansuransikan jika nasabah mati di dalam jarak waktu asuransi. Jika nasabah masih hidup melewati jarak waktu asuransi, maka ansuran yang telah dia bayar hilang, dan perusahaan mengambil uang tersebut dengan tanpa imbalan apa-apa. Asuransi jenis ini sangat jelas unsur perjudiannya.
c) Asuransi selama hidupnya orang yang diasuransikan.
Yaitu perusahaan asuransi memberikan sejumlah uang kepada orang yang diansuransikan, jika dia tetap hidup setelah kematian orang yang membayar asuransi (nasabah). Tetapi jika orang yang diansuransikan mati sebelum orang yang membayar asuransi (nasabah), maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur perjudiannya.
2. Asuransi untuk keadaan tetap hidup.
Yaitu tetap hidupnya nasabah, ini kebalikan dari bentuk 1. a. Yaitu nasabah asuransi membayar sejumlah uang tertentu kepada perusahaan asuransi, dan perusahaan juga akan membayar sejumlah uang tertentu juga -yang lebih banyak- pada waktu yang ditentukan, jika nasabah itu tetap hidup sampai waktu tersebut. Tetapi jika nasabah mati sebelum waktu yang ditetapkan, maka asuransi berhenti, dan harta yang telah disetorkan oleh nasabah itu hilang. Dan ahli warisnya tidak dapat memanfaatkannya. Asuransi jenis ini juga sangat jelas unsur perjudiannya.
3. Asuransi Kombinasi.
Yaitu penggabungan dua jenis asuransi di atas. Perusahaan asuransi menjamin pembayaran sejumlah uang asuransi kepada orang yang diasuransikan, jika nasabah mati pada selang waktu tertentu, atau membayarkan kepada nasabah jika dia masih hidup setelah selesainya waktu asuransi. Oleh karena itu angsuran angsuransi jenis ini lebih besar dari dua jenis sebelumnya.
Asuransi dari musibah-musibah yang menimpa badan.
Yaitu perusahaan asuransi menjamin pembayaran sejumlah uang asuransi kepada orang yang diasuransikan, jika nasabah tertimpa musibah yang berkaitan dengan badannya, selama masa asuransi. Atau diberikan kepada orang tertentu, jika nasabah yang mengikuti asuransi itu mati. Asuransi kesehatan termasuk jenis ini, dan terkadang asuransi kesehatan mencakup seluruh jenis penyakit, atau penyakit tubuh yang tertentu, atau tindakan operasi penyakit, atau sebagian penyakit. Dan dokumen transaksi asuransi menentukan jenis bahaya yang diasuransikan dan itu yang mendapatkan jaminan asuransi dari perusahaan
HUKUM ASURANSI
Asuransi tijari (yang merupakan usaha untuk mencari keuntungan) dengan semua jenisnya hukumnya haram, karena:.
1. Perjanjian asuransi merupakan perjanjian penggantian harta yang mengandung ketidak pastian dan memuat bahaya yang sangat banyak.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang jual beli dengan kerikil dan jual beli gharar.” (HR. Muslim, no. 1513)
Jual beli dengan kerikil, seperti seorang penjual mengatakan ”Aku menjual kain yang terkena kerikil yang aku lemparkan”. Atau ”Aku menjual tanah ini mulai sini sampai jarak kerikil yang aku lemparkan”. Atau semacamnya yang tidak ada kejelasan.
Sedang jual beli gharar yaitu jual beli yang mengandung ketidak jelasan, tipu-daya, dan tidak mampu menyerahkan barang, seperti menjual ikan di dalam kolam, menjual burung yang terbang di udara, dan semacamnya. (Lihat Syarh Muslim karya Imam Nawawi)
2. Asuransi termasuk jenis perjudian. Karena padanya terdapat bahaya kerugian di dalam pertukaran harta, kerugian dengan tanpa berbuat kejahatan atau penyebabnya, dan keuntungan dengan tanpa imbalan atau dengan imbalan yang tidak sepadan. Karena nasabah asuransi terkadang baru menyetor sekali angsuran, lalu terjadi kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi menderita kerugian sejumlah uang asuransi. Atau tidak terjadi kecelakaan, sehingga perusahaan asuransi mendapatkan keuntungan angsuran-angsuran asuransi dengan tanpa imbalan. Dengan demikian asuransi masuk di dalam larangan perjudian di dalam firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah/5: 90)
3. Perjanjian asuransi mengandung riba. Karena keuntungan yang didapati oleh perusahaan adalah tanpa imbalan, sedangkan keuntungan nasabah merupakan tambahan dari harta pokoknya yang tidak ada imbalannya. Dan larangan riba sangat keras di dalam Islam. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ
“Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah/2: 278-279)
4. Asuransi merupakan perlombaan yang hukumnya haram, karena mengandung ketidak jelasan, bahaya kerugian, dan perjudian. Dan syari’at Islam tidak memperbolehkan perlombaan yang pemenangnya mengambil harta kecuali yang padanya terdapat pembelaan dan kemenangan terhadap Islam untuk meninggikan Islam dengan hujjah atau dengan senjata. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam telah membatasi perlombaan yang pemenangnya mengambil upah dengan tiga macam:
لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ
“Tidak boleh mengambil hadiah harta perlombaan kecuali pada onta, kuda, atau anak panah”. (HR. Abu Dawud, no. 2574; Tirmidzi, no. 1700)
Yaitu tidak boleh mengambil harta dengan perlombaan kecuali pada salah satu dari tiga perkara di atas. Karena ketiganya -dan yang semaknanya- termasuk persiapan peperangan dan kekuatan berjihad memerangi musuh. Dan memberikan hadiah padanya merupakan dorongan kepada jihad. (Lihat Tuhfatul Ahawadzi)
5. Perjanjian asuransi, di dalamnya mengandung pengambilan harta orang lain dengan tanpa imbalan, ini merupakan kebatilan. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (QS. An-Nisa’/4: 29).
6. Perjanjian asuransi mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Syari’at. Karena perusahaan asuransi tidak membuat kecelakaan dan tidak melakukan perkara yang menyebabkan kecelakaan, namun ia wajib membayar klaim. Hal itu karena perjanjian dengan nasabah untuk menjamin bahaya jika terjadi dengan imbalan setoran angsuran nasabah.
Berdasarkan keterangan ini, maka banyak sekali fatwa para ulama yang mengharamkan asuransi tijari dengan segala jenisnya.
Dari penjelasan ini nampak bahwa asuransi yang banyak beredar, yang dilakukan sebagai usaha untuk meraih keuntungan termasuk perkara yang dilarang di dalam Syari’at. Adapun asuransi yang dibolehkan adalah At-Ta’miin at Ta’aawuniy (asuransi gotong royong) sebagaimana di atas. Wallahu a’lam.
Artikel UstadzKholid.com
Disusun oleh Ustadz Muslim Atsari
[Makalah ini diringkas dari kitab Mausuu'ah Al-Qadhaayaa Al-Fiqhiyyah Al-Mu'aashirah Wal Iqtishaad Al-Islami, karya Syaikh Prof. Dr. Ali Ahmad As-Saaluus, ustadz fiqh dan ushuul di kuliyah Syari'at Univ. Qathar, hlm; 363-395, penerbit: Dar Ats-Tsaqafah Qathar; dan beberapa tambahan dari rujukan lain]
http://ustadzkholid.com/
Selengkapnya...