”Yaa muqallibal qulub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika”

”Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu”

Aamiin...

(Hadist Riwayat at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Hakim dishahihkan oleh adz-Dzahabi)

Rabu, 16 Juli 2014

Catatan Ringan Ramadhan (12)

Karena berbakti kepada suaminya ‘Aisyah radhiallahu ‘anha terlambat mengqodho’ puasa Ramadhan

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلا فِي شَعْبَانَ ، وَذَلِكَ لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Biasanya saya mempunyai (tanggungan) puasa Ramadhan, saya tidak mampu mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban. Hal itu karena kedudukan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.” [HR. Bukhari, 1950 dan Muslim, 1146]

Lihat, inilah sosok istri yang Sholehah yang mengutamakan ridho suaminya karena ridho suami adalah pintu menuju surga.

Dan ini juga menjadi dalil bagi ulama yang menyatakan bolehnya berpuasa sunnah walaupun ada tanggungan hutang puasa Ramadhan. Karena ‘Aisyah radhiallahu ‘anha selama rentang 10 bulan kemungkinan besar melakukan puasa-puasa sunnah yang lain. Wallahu a’lam

Ditulis oleh : Raehanul Bahraen
Grup muslimafiyah.com (app telegram) 14/7/14

Selengkapnya...

Catatan Ringan Ramadhan (11)

Boleh mencicipi makanan ketika puasa

Mencicipi dengan ujung lidah dan tidak sampai masuk ke tenggorokan dan anatomi lidah menunjukan indera pengecap sebagian besar di depan lidah. Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا بأس أن يذوق الخل أو الشيئ ما لم يدخل حلقه و هو صائم

“Tidak mengapa mencicipi cuka atau yang lainnya selama tidak masuk ke tenggorokan sedang dia dalam keadaan berpuasa.” [HR. Al-Bukhari IV/154]

Ditulis oleh : Raehanul Bahraen
Grup muslimafiyah.com (app telegram) 13/7/14

Selengkapnya...

Catatan Ringan Ramadhan (9)

Awal-awal tata cara puasa yang di anggap memberatkan kaum muslimin

Yaitu ketika turun ayat yang mewajibkan puasa sebagaimana kewajiban ahlul kitab sebelumnya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” [Al-Baqarah:183]

Dimana salah satu kewajiban ahlul kitab adalah tidak boleh makan ,minum dan mendatangi istri setelah tidur, misalnya ia berbuka kemudian tertidur maka ketika ia bangun pada malam itu ia tidak boleh makan, minum dan mendatangi istri sampai malam berikutnya

Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahur agar berbeda dengan mereka, dari ‘Amr bin Al-Ash radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فصل ما بين صيامنا و صيام أهل الكتاب أكلة السحور

“Pembeda antara puasa kita dan puasa ahlul kitab adalah makan sahur” [HR. Muslim no. 1096]

Sedangkan berita yang mengembirakan kaum muslimin bolehnya mendatangi istri mereka pada malam hari pada ayat,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu. mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka” [Al-Baqarah:187]

Ditulis oleh : Raehanul Bahraen
Grup muslimafiyah.com (app telegram) 12/7/14

Selengkapnya...

Catatan Ringan Ramadhan (8)

Mengetahui dua jenis fajar

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak mengharamkan makan, tidak halal sholat [subuh] ketika itu, yang kedua mengharamkan makan dan halal sholat ketika itu.” [HR. Ibnu Khuzaimah III/210, Al-Hakim I/191, 495, Daruqutniy II/160, Al-Baihaqiy IV/261]

Dua fajar yang dimaksud adalah:

Fajar pertama: fajar kadzib yaitu cahaya putih yang menjulang keatas memecah seperti ekor serigala. ketika muncul fajar ini maka Bilal radhiallahu ‘anhu mengumandangkan adzan pertama.

Fajar kedua: fajar shodiq yaitu cahaya kemerah-merahan yang menjulang, tampak pada bukit-bukit dan gunung-gunung dan tersebar di jalan-jalan dan atap-atap rumah. Ketika muncul fajar ini maka Ibnu Ummi Maktum radhiallahu ‘anhu mengumandangkan adzan kedua.

Ditulis oleh : Raehanul Bahraen
Grup muslimafiyah.com (app telegram) 11/7/14

Selengkapnya...

Selasa, 15 Juli 2014

Catatan Ringan Ramadhan (7)

Maksud ayat Al-Quran tentang membedakan benang hitam dan benang putih” adalah kiasan

Yaitu ayat,

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” [Al-Baqarah: 187]

Para sahabatpun awalnya tidak mengetahui bahwa itu adalah kiasan. Dari Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata,

“Tatkala turun ayat ْحَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِْ aku meletakkan tali [pengikat kepala] hitam dan putih di bawah bantalku, aku terus melihatnya diwaktu malam akan tetapi tidak jelas bagiku, pagi harinya aku menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan padanya, beliau bersabda,

إنم ذلك سواد الليل و بياض النهار

“Sesungguhnya maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang” [HR. Al-Bukhari IV/113, Muslim no.1090]

Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu berkata,

“…Maka Allah menurunkan setelah itu [kesalahpahaman para sahabat], ْمِنَ الْفَجْرْْ , maka tahulah para sahabat bahwa maksudnya adalah siang dan malam. [HR. Al-Bukhari IV/114, Muslim no. 1091]

Ditulis oleh : Raehanul Bahraen
Grup muslimafiyah.com (app telegram) 7/7/14

Selengkapnya...

Sabtu, 25 Agustus 2012

Keluarga Besar Itu Indah (selesai)

Hikmah Banyak Anak
Sebagai keluarga muslim hendaknya kita sadar akan makar jahat. Kita harus sadar akan kewajiban kita berupaya memperbanyak keturunan, bukan malah termakan oleh makar dengan membatasinya. Sesungguhnya banyak hikmah yang terkandung dibalik sunnah memperbanyak keturunan yang sholih, sebagaimana yang dianjurkan Islam, di antaranya :

1. Merupakan bukti kuatnya tawakkal seorang hamba kepada Alloh subhanahu wa ta'ala. Alloh Ta'ala berfirman :
Dan Alloh akan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan (keperluannya). (QS. ath-Tholaq [65]: 3)

Rasulullah shalallaahu alaihi wasallam bersabda :
"Sekiranya kalian bertawakkal kepada Alloh dengan sebenar-benarnya tawakkal maka kamu akan diberi rezeki sebagaimana burung diberikan rezeki, terbang pada pagi hari dalam keadaan perut kosong dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang." (HR. Ibnu Majah 4303 dan at-Tirmidzi 2515, ia berkata : hasan shohih)

Dari sini, pasutri muslim harus mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwasanya tidak ada yang berbuat sesuatu atas kita kecuali Alloh. Dan bahwa semua yang ada baik itu makhluk, rezeki, pemberian dan pengurangan rezeki adalah dari Alloh. Sehingga keluarga muslim ialah keluarga yang giat berusaha untuk mencari rezeki tersebut dengan cara yang baik dan bertawakkal serta menampakkan kelemahan dan selalu bergantung kepada Alloh. Dengan begitu niscaya keluarga muslim tidak akan terlantar, bahkan mesti akan diberi rezeki. (Sebagaimana perkataan al-Munawi dalam Faidhul Qodir 5/311

2. Menambah kekuatan kaum muslimin. KB Islami berpotensi untuk memperbesar jumlah pasukan kaum muslimin yang akan membela Islam dan kaum muslimin sehingga membuat musuh-musuh Islam gentar, sebagaimana perkataan Nabi Sulaiman alaihis sallam :
"Benar-benar aku akan menggilir pada malam ini 100 istriku atau 99. Semuanya akan melahirkan seorang penunggang kuda yang akan berjihad di jalan Alloh." Maka sahabatnya berkata : "katakan insya Alloh." (HR. Bukhori 2819)

3. Merupakan sebab masuk surga dan terhindar dari neraka, terutama jika anaknya kebanyakan perempuan. Dari Jabir bin Abdillah radhiallaahu anhu Nabi shalallaahu alaihi wasallam bersabda :
"Barangsiapa yang memiliki tiga anak perempuan, ia menjaganya, menyayanginya, dan menanggungnya, maka wajib atasnya surga." Jabir berkata : Ditanyakan (kepada beliau) : "Wahai Rasulullah, bagaimana jika dua anak perempuan? Nabi menjawab : "Walaupun cuma dua." (HR. Ahmad 28/278, Silsilah ash-Shohihah 1027).

Dari 'Aif bin Malik radhiallaahu anhu Rasulullah shalallaahu alaihi wasallam bersabda (artinya) : "Tidaklah seorang hamba yang muslim mempunyai tiga anak perempuan lalu ia menafkahinya sampai ia baligh atau meninggal kecuali akan menjadi penghalang dia dari neraka." (HR. Ahmad 49/36, Shohih at-Targhib 1972)

4. Merupakan sebab mendapatkan kecintaan dan keridhoan dari Alloh Ta'ala dan Nabi-Nya shalallaahu alaihi wasallam. Karena usahanya memenuhi cita-cita beliau shalallaahu alaihi wasallam untuk memiliki umat terbanyak. Dari Ma'qil bin Yasar bahwasanya Nabi shalallaahu alaihi wasallam bersabda :
"Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur (banyak anaknya) karena aku berbangga dengan banyaknya kalian di hadapan umat-umat (pada hari kiamat)." (HR. Abu Dawud 2026, berkata Syaikh Albani : hasan shohih)

5. Merupakan pembuka pintu-pintu rezeki. Alloh Ta'ala juga berfirman :
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka." (QS. al-An'am [6]: 151)

6. Semakin banyak yang akan merawat orang tuanya di usia senja, dan semakin banyak yang akan mendo'akan mereka setelah meninggal.

Nabi shalallaahu alaihi wasallam bersabda :
"Jika manusia meninggal, terputuslah amalannya kecuali dari tiga hal : shodaqoh jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak sholih yang mendo'akannya." (HR. Muslim 1631)

Wallahu a'lam wahuwal Muwaffiq.

Oleh : Abu Bakar al-Atsari (keindahan islam)

Majalah al-Mawaddah Edisi 11 tahun ke-2 :: jumadats tsaniyah 1430 H :: juni 2009

Published with Blogger-droid v2.0.6
Selengkapnya...

Rabu, 18 Juli 2012

Tafsir surat Al - Ashr : Membebaskan Diri dari Kerugian



Surat Al ‘Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Qur’an yang banyak dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah dihafal. Namun sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat memahaminya. Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,

لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ

”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].


Iman yang Dilandasi dengan Ilmu

Dalam surat ini Allah ta’ala menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].

Kriteria pertama, yaitu beriman kepada Allah. Dan keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim wajib (fardhu ‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah, dan lain sebagainya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ

”Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih).

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

يَجِبُ أَنْ يَطْلَبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَهُ

”Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa membuat dirinya mampu menegakkan agama.” [Al Furu’ 1/525].

Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan, misalnya yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak lain dikarenakan seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan sehingga ia perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah ta’ala berfirman,

مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا

”Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Asy Syuura: 52).

Mengamalkan Ilmu

Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu kecuali jika dia berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut. Maksudnya, seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya tersebut menjadi suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan amalnya.

Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah

لاَ يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلاً حَتىَّ يَعْمَلَ بِعِلْمِهِ فَإِذَا عَمِلَ بِهِ صَارَ عَالِمًا

”Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh sampai dia dapat mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah dia menjadi seorang alim” (Dikutip dari Hushul al-Ma’mul).

Perkataan ini mengandung makna yang dalam, karena apabila seorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka (pada hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak ada perbedaan antara dia dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan ilmunya.

Oleh karena itu, seorang yang berilmu tapi tidak beramal tergolong dalam kategori yang berada dalam kerugian, karena bisa jadi ilmu itu malah akan berbalik menggugatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يَسْأَلَ عَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ
,
”Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).

Berdakwah kepada Allah

Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah ta’ala, adalah tugas para Rasul dan merupakan jalan orang- orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah ta’ala berfirman,

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)

“Katakanlah, “inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).

Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan Allah. Simak firman Allah ta’ala berikut,

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat : 33).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Bukhari nomor 2783).

Oleh karena itu, dengan merenungi firman Allah dan sabda nabi di atas, seyogyanya seorang ketika telah mengetahui kebenaran, hendaklah dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan mengajak mereka untuk memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar.

Sangat aneh, jika disana terdapat sekelompok orang yang telah mengetahui Islam yang benar, namun mereka hanya sibuk dengan urusan pribadi masing-masing dan “duduk manis” tanpa sedikit pun memikirkan kewajiban dakwah yang besar ini.

Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

”Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian, hingga ia senang apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang juga ia senangi.” (HR. Bukhari nomor 13).
Jika anda merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan.

Bersabar dalam Dakwah

Kriteria keempat adalah bersabar atas gangguan yang dihadapi ketika menyeru ke jalan Allah ta’ala. Seorang da’i (penyeru) ke jalan Allah mesti menemui rintangan dalam perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal ini dikarenakan para dai’ menyeru manusia untuk mengekang diri dari hawa nafsu (syahwat), kesenangan dan adat istiadat masyarakat yang menyelisihi syari’at [Hushulul ma’mul hal. 20].

Hendaklah seorang da’i mengingat firman Allah ta’ala berikut sebagai pelipur lara ketika berjumpa dengan rintangan. Allah ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ (٣٤)

”Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka” (QS. Al-An’am : 34).

Seorang da’i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah ta’ala menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang artinya),

”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman :17).

Pada akhir tafsir surat Al ‘Ashr ini, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,

فَبِالِأَمْرَيْنِ اْلأَوَّلِيْنَ، يُكَمِّلُ اْلإِنْسَانُ نَفْسَهُ، وَبِالْأَمْرَيْنِ اْلأَخِيْرِيْنَ يُكَمِّلُ غَيْرَهُ، وَبِتَكْمِيْلِ اْلأُمُوْرِ اْلأَرْبَعَةِ، يَكُوْنُ اْلإِنْسَانُ قَدْ سَلِمَ تعل مِنَ الْخُسَارِ، وَفَازَ بِالْرِبْحِ [الْعَظِيْمِ]

”Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan amal), manusia dapat menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal yang terakhir (berdakwah dan bersabar), manusia dapat menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut, manusia dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar” [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menyempurnakan keempat hal ini, sehingga kita dapat memperoleh keuntungan yang besar di dunia ini, dan lebih-lebih di akhirat kelak. Amiin.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
Selengkapnya...