”Yaa muqallibal qulub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika”

”Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu”

Aamiin...

(Hadist Riwayat at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Hakim dishahihkan oleh adz-Dzahabi)

Senin, 29 November 2010

Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (3/3): Beberapa Contoh Cara Mendidik Anak yang Nakal

Beberapa contoh cara mendidik anak yang nakal

Syariat Islam yang agung mengajarkan kepada umatnya beberapa cara pendidikan bagi anak yang bisa ditempuh untuk meluruskan penyimpangan akhlaknya. Di antara cara-cara tersebut adalah:

Pertama, teguran dan nasihat yang baik

Ini termasuk metode pendidikan yang sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“[1]

Serta dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”[2]

Kedua, menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah

Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”[3]

Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.[4]

Imam Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”[5]

Masih banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu[6] menyebutkan beberapa di antaranya, seperti: menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu, memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.

Bolehkah memukul anak yang nakal untuk mendidiknya?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk (melaksanakan) shalat (lima waktu) sewaktu mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat (lima waktu) jika mereka (telah) berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.“[7]

Hadits ini menunjukkan bolehnya memukul anak untuk mendidik mereka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar syariat, jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya bisa menerima pukulan dan mengambil pelajaran darinya –dan ini biasanya di usia sepuluh tahun. Dengan syarat, pukulan tersebut tidak terlalu keras dan tidak pada wajah.[8]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya, “Bolehkah menghukum anak yang melakukan kesalahan dengan memukulnya atau meletakkan sesuatu yang pahit atau pedis di mulutnya, seperti cabai/ lombok?”, beliau menjawab, “Adapun mendidik (menghukum) anak dengan memukulnya, maka ini diperbolehkan (dalam agama Islam) jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya untuk mengambil pelajaran dari pukulan tersebut, dan ini biasanya di usia sepuluh tahun.

Adapun memberikan sesuatu yang pedis (di mulutnya) maka ini tidak boleh, karena ini bisa jadi mempengaruhinya (mencelakakannya)…. Berbeda dengan pukulan yang dilakukan pada badan maka ini tidak mengapa (dilakukan) jika anak tersebut bisa mengambil pelajaran darinya, dan (tentu saja) pukulan tersebut tidak terlalu keras.

Untuk anak yang berusia kurang dari sepuluh tahun, hendaknya dilihat (kondisinya), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membolehkan untuk memukul anak (berusia) sepuluh tahun karena meninggalkan shalat. Maka, yang berumur kurang dari sepuluh tahun hendaknya dilihat (kondisinya). Terkadang, seorang anak kecil yang belum mencapai usia sepuluh tahun memiliki pemahaman (yang baik), kecerdasan dan tubuh yang besar (kuat) sehingga bisa menerima pukulan, celaan, dan pelajaran darinya (maka anak seperti ini boleh dipukul), dan terkadang ada anak kecil yang tidak seperti itu (maka anak seperti ini tidak boleh dipukul).”[9]

Cara-cara menghukum anak yang tidak dibenarkan dalam Islam[10]

Di antara cara tersebut adalah:

1. Memukul wajah

Ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, yang artinya, “Jika salah seorang dari kalian memukul, maka hendaknya dia menjauhi (memukul) wajah.”[11]

2. Memukul yang terlalu keras sehingga berbekas

Ini juga dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.[12]

3. Memukul dalam keadaan sangat marah

Ini juga dilarang karena dikhawatirkan lepas kontrol sehingga memukul secara berlebihan.

Dari Abu Mas’ud al-Badri, dia berkata, “(Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih kecil) dengan cemeti, maka aku mendengar suara (teguran) dari belakangku, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Akan tetapi, aku tidak mengenali suara tersebut karena kemarahan (yang sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau yang berkata, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Maka aku pun melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau bersabda, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada kamu terhadap budak ini,’ maka aku pun berkata, ‘Aku tidak akan memukul budak selamanya setelah (hari) ini.‘”[13]

4. Bersikap terlalu keras dan kasar

Sikap ini jelas bertentangan dengan sifat lemah lembut yang merupakan sebab datangnya kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terhalang dari (sifat) lemah lembut, maka (sungguh) dia akan terhalang dari (mendapat) kebaikan.”[14]

5. Menampakkan kemarahan yang sangat

Ini juga dilarang karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah orang yang kuat itu (diukur) dengan (kekuatan) bergulat (berkelahi), tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.“[15]

Penutup

Demikianlah bimbingan yang mulia dalam syariat Islam tentang cara mengatasi penyimpangan akhlak pada anak, dan tentu saja taufik untuk mencapai keberhasilan dalam amalan mulia ini ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, banyak berdoa dan memohon kepada-Nya merupakan faktor penentu yang paling utama dalam hal ini.

Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dalam mendidik dan membina keluarga kita, untuk kebaikan hidup kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 9 Dzulhijjah 1431 H,

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim, M.A

Artikel www.manisnyaiman.com

[1] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5061, dan Muslim no. 2022.

[2] Hadits riwayat At-Tirmidzi no. 2516, Ahmad: 1/293), dan lain-lain; dinyatakan shahih oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shagir, no. 7957.

[3] Hadits riwayat Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf: 9/477 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir no. 10671; dinyatakan hasan oleh Al-Haitsami dan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 1447.

[4] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 97.

[5] Dinukil oleh Imam Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir: 4/325.

[6] Dalam kitab beliau Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 95–97.

[7] Hadits riwayat Abu Daud, no. 495; dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.

[8] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi: 2/370.

[9] Kitab Majmu’atul As`ilah Tahummul Usratal Muslimah, hlm. 149–150.

[10] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 89–91.

[11] Hadits riwayat Abu Daud, no. 4493; dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.

[12] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1218.

[13] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1659.

[14] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2529.

[15] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5763, dan Muslim no. 2609.

http://manisnyaiman.com/
Selengkapnya...

Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (2/3): Sebab Kenakalan Anak Menurut Syariat Islam

Sebab kenakalan anak menurut syariat Islam

Termasuk sebab utama yang memicu penyimpangan akhlak pada anak, bahkan pada semua manusia secara umum, adalah godaan setan yang telah bersumpah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyesatkan manusia dari jalan-Nya yang lurus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ. ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Iblis (setan) berkata, ‘Karena Engkau telah menghukumi saya tersesat, sungguh saya akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat kepada-Mu).’” (QS. Al-A’raf: 16-17).

Dalam upayanya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar, setan berusaha menanamkan benih-benih kesesatan pada diri manusia sejak pertama kali mereka dilahirkan ke dunia ini, untuk memudahkan usahanya selanjutnya setelah manusia itu dewasa.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam).”[1]

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) yang berasal dari setan.“[2]

Perhatikanlah hadits yang agung ini! Betapa setan berupaya keras untuk menyesatkan manusia sejak mereka dilahirkan ke dunia. Padahal, bayi yang baru lahir tentu belum mengenal nafsu, indahnya dunia, dan godaan-godaan duniawi lainnya, maka bagaimana keadaannya kalau dia telah dewasa dan mengenal semua godaan tersebut?[3]

Di samping sebab utama di atas, ada faktor-faktor lain yang memicu dan mempengaruhi penyimpangan akhlak pada anak, berdasarkan keterangan dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, pengaruh didikan buruk kedua orangtua

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua bayi (manusia) dilahirkan di atas fithrah (kecenderungan menerima kebenaran Islam dan tauhid), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya (beragama) Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”[4]

Hadits ini menunjukkan bahwa semua manusia yang dilahirkan di dunia memiliki hati yang cenderung kepada Islam dan tauhid, sehingga kalau dibiarkan dan tidak dipengaruhi maka nantinya dia akan menerima kebenaran Islam. Akan tetapi, kedua orang tuanyalah yang memberikan pengaruh buruk, bahkan menanamkan kekafiran dan kesyirikan kepadanya.[5]

Syekh Bakr Abu Zaid berkata, “Hadits yang agung ini menjelaskan sejauh mana pengaruh dari kedua orangtua terhadap (pendidikan) anaknya, dan (pengaruh mereka dalam) mengubah anak tersebut dalam penyimpangan dari konseuensi (kesucian) fitrahnya kepada kekafiran dan kefasikan….

(Di antara contoh pengaruh buruk tersebut adalah) jika seorang ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum lelaki yang bukan mahram-nya, dan lain sebagainya, maka ini (secara tidak langsung) merupakan pendidikan (yang berupa) praktik (nyata) bagi anaknya, untuk (mengarahkannya kepada) penyimpangan (akhlak) dan memalingkannya dari pendidikan baik yang membuahkan hasil yang terpuji, berupa (kesadaran untuk) memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta (memiliki) rasa malu. Inilah yang dinamakan ‘pengajaran pada fitrah (manusia)’.”[6]

Kedua, pengaruh lingkungan dan teman bergaul yang buruk

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Perumpamaan teman duduk (bergaul) yang baik dan teman duduk (bergaul) yang buruk (adalah) seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup al-kiir (tempat menempa besi). Maka, penjual minyak wangi bisa jadi memberimu minyak wangi atau kamu membeli (minyak wangi) darinya, atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup al-kiir (tempat menempa besi), bisa jadi (apinya) akan membakar pakaianmu atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang tidak sedap darinya.”[7]

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan duduk dan bergaul dengan orang-orang yang baik akhlak dan tingkah lakunya, karena adanya pengaruh baik yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka. Hadits tersebut sekaligus menunjukkan larangan bergaul dengan orang-orang yang buruk akhlaknya dan pelaku maksiat karena pengaruh buruk yang ditimbulkan dengan selalu menyertai mereka.[8]

Ketiga, sumber bacaan dan tontonan

Pada umumnya, anak-anak mempunyai jiwa yang masih polos, sehingga sangat mudah terpengaruh dan mengikuti apa pun yang dilihat dan didengarnya dari sumber bacaan atau berbagai tontonan.

Apalagi, memang kebiasan meniru dan mengikuti orang lain merupakan salah satu watak bawaan manusia sejak lahir, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف

“Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama. Maka, yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling berdekatan, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih.”[9]

Oleh karena itulah, metode pendidikan dengan menampilkan contoh figur untuk diteladani adalah termasuk salah satu metode pendidikan yang sangat efektif dan bermanfaat.

Syekh Abdurrahman as-Sa’di berkata ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَكُلا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu, dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 120).

Beliau berkata, “Yaitu, supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar seperti sabarnya para rasul ‘alaihimus sallam, karena jiwa manusia (cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang lain), dan (ini menjadikannya lebih) bersemangat dalam beramal shalih, serta berlomba dalam mengerjakan kebaikan….”[10]

-bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A
Artikel www.manisnyaiman.com
[1] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2865.

[2] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2367.

[3] Lihat kitab Ahkamul Maulud fis Sunnatil Muthahharah, hlm. 23.

[4] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 1319, dan Muslim no. 2658.

[5] Lihat kitab ‘Aunul Ma’bud: 12/319–320.

[6] Kitab Hirasatul Fadhilah, hlm. 130–131.

[7] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5214, dan Muslim no. 2628.

[8] Lihat kitab Syarhu Shahihi Muslim: 16/178 dan Faidhul Qadir: 3/4.

[9] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 3158, dan Muslim no. 2638.

[10] Kitab Taisirul Karimir Rahman, hlm. 392.

http://manisnyaiman.com/
Selengkapnya...

Anak Nakal, Bagaimana Mengatasinya? (1/3): Fenomena Kenakalan Anak

Mendidik anak merupakan perkara yang mulia tapi gampang-gampang susah dilakukan, karena di satu sisi, setiap orang tua tentu menginginkan anaknya tumbuh dengan akhlak dan tingkah laku terpuji, tapi di sisi lain, mayoritas orang tua terlalu dikuasai rasa tidak tega untuk tidak menuruti semua keinginan sang anak, sampai pun dalam hal-hal yang akan merusak pembinaan akhlaknya.

Sebagai orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita meyakini bahwa sebaik-baik nasihat untuk kebaikan hidup kita dan keluarga adalah petunjuk yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur-an dan sabda-sabda nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ. قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat dari Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala), penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia) dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari perhiasan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.’” (QS. Yunus: 57-58).

Dalam hal yang berhubungan dengan pendidikan anak, secara khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan orang-orang yang beriman akan besarnya fitnah yang ditimbulkan karena kecintaan yang melampaui batas terhadap mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS. at-Taghabun: 14).

Makna “menjadi musuh bagimu” dalam firman-Nya adalah “melalaikan kamu dari melakuakan amal shalih dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[1]

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-Nya….”[2]

Fenomena kenakalan anak

Fenomena ini merupakan perkara besar yang cukup memusingkan dan menjadi beban pikiran para orangtua dan pendidik, karena fenomena ini cukup merata dan dikeluhkan oleh mayoritas masyarakat, tidak terkecuali kaum muslimin.

Padahal, syariat Islam yang sempurna telah mengajarkan segala sesuatu kepada umat Islam, sampai dalam masalah yang sekecil-kecilnya, apalagi masalah besar dan penting seperti pendidikan anak. Sahabat yang mulia, Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu pernah ditanya oleh seorang musyrik, “Sungguhkah Nabi kalian (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar?” Salman menjawab, “Benar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau ketika buang air kecil….”[3]

Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mensyariatkan agama ini Dialah yang menciptakan alam semesta beserta isinya dan Dialah yang maha mengetahui kondisi semua makhluk-Nya serta cara untuk memperbaiki keadaan mereka? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Bukankah Allah yang menciptakan (alam semesta besrta isinya) Maha Mengetahui (keadaan mereka)?, dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui (segala sesuatu dengan terperinci).” (QS. al-Mulk: 14).

Akan tetapi, kenyataan pahit yang terjadi adalah, untuk mengatasi fenomena buruk tersebut, mayoritas kaum muslimin justru lebih percaya dan kagum terhadap teori-teori/ metode pendidikan anak yang diajarkan oleh orang-orang barat, yang notabene kafir dan tidak mengenal keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mereka rela mencurahkan waktu, tenaga dan biaya besar untuk mengaplikasikan teori-teori tersebut kepada anak-anak mereka.

Mereka lupa bahwa orang-orang kafir tersebut sendiri tidak mengetahui dan mengusahakan kebaikan untuk diri mereka sendiri, karena mereka sangat jauh berpaling dan lalai dari mengenal kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla yang menciptakan mereka, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka lupa kepada segala kebaikan dan kemuliaan untuk diri mereka sendiri.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa (lalai) kepada Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hasyr: 19)

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Renungkanlah ayat (yang mulia) ini, maka kamu akan menemukan suatu makna yang agung dan mulia di dalamnya, yaitu barangsiapa yang lupa kepada Allah, maka Allah akan menjadikan dia lupa kepada dirinya sendiri, sehingga dia tidak mengetahui hakikat dan kebaikan-kebaikan untuk dirinya sendiri. Bahkan, dia melupakan jalan untuk kebaikan dan keberuntungan dirinya di dunia dan akhirat. Dikarena dia telah berpaling dari fitrah yang Allah jadikan bagi dirinya, lalu dia lupa kepada Allah, maka Allah menjadikannya lupa kepada diri dan perilakunya sendiri, juga kepada kesempurnaan, kesucian dan kebahagiaan dirinya di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, serta menuruti hawa (nafsu)nya, dan keadaannya itu melampaui batas.” (QS. al-Kahfi: 28).

Dikarenakan dia lalai dari mengingat Allah, maka keadaan dan hatinya pun melampaui batas (menjadi rusak), sehingga dia tidak memperhatikan sedikit pun kebaikan, kesempurnaan serta kesucian jiwa dan hatinya. Bahkan, (kondisi) hatinya (menjadi) tak menentu dan tidak terarah, keadaannya melampaui batas, kebingungan serta tidak mendapatkan petunjuk ke jalan (yang benar).”[4]

Maka orang yang keadaannya seperti ini, apakah bisa diharapkan memberikan bimbingan kebaikan untuk orang lain, sedangkan untuk dirinya sendiri saja kebaikan tersebut tidak bisa diusahakannya? Mungkinkah orang yang seperti ini keadaannya akan merumuskan metode pendidikan anak yang baik dan benar dengan pikirannya, padahal pikiran mereka jauh dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memahami kebenaran yang hakiki? Adakah yang mau mengambil pelajaran dari semua ini?

-bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A
Artikel www.manisnyaiman.com
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 4/482.

[2] Taisirul Karimir Rahman, hlm. 637.

[3] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 262.

[4] Kitab Miftahu Daris Sa’adah: 1/86.

http://manisnyaiman.com/
Selengkapnya...

Jumat, 26 November 2010

Bila Kita Dipuji Orang

اَللَّهُمَّ لاَ تُؤَاخِذْنِيْ بِمَا يَقُوْلُوْنَ، وَاغْفِرْلِيْ مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ [وَاجْعَلْنِيْ خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ]


Ya Allah, semoga Engkau tidak menghukumku karena apa yang mereka katakan. Ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui. [Dan jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka perkirakan]. [*]


[*] HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 761. Isnad hadits tersebut dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 585. Kalimat dalam kurung tambahan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 4/228 dari jalan lain.


http://alashree.wordpress.com/
Selengkapnya...

Kamis, 25 November 2010

Hitam di Dahi Tanda Niat Tidak Suci

Tanya:
“Bagaimana cara menyamarkan/menghilangkan noda hitam di kening/di jidat karena sewaktu sujud dalam shalat terlalu menghujam sehingga ada bekas warna hitam?”
0281764xxxx

Jawab:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

Yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud” (QS al Fath:29).

Banyak orang yang salah paham dengan maksud ayat ini. Ada yang mengira bahwa dahi yang hitam karena sujud itulah yang dimaksudkan dengan ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’. Padahal bukan demikian yang dimaksudkan.
Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tanda mereka…” adalah perilaku yang baik.
Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang kuat dari Mujahid bahwa yang dimaksudkan adalah kekhusyuan.
Juga diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Qatadah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalat” (Tafsir Mukhtashar Shahih hal 546).

عَنْ سَالِمٍ أَبِى النَّضْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ : مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ : أَنَا حَاضِنُكَ فُلاَنٌ. وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَهَلْ تَرَى هَا هُنَا مِنْ شَىْءٍ؟

Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut.
Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ رَأَى أَثَرًا فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ ، فَلاَ تَشِنْ صُورَتَكَ.

Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3699).

عَنْ أَبِى عَوْنٍ قَالَ : رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءِ امْرَأَةً بِوَجْهِهَا أَثَرٌ مِثْلُ ثَفِنَةِ الْعَنْزِ ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ يَكُنْ هَذَا بِوَجْهِكِ كَانَ خَيْرًا لَكِ.

Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no 3700).

عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ : قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ ، وَاللَّهِ مَا هِىَ سِيمَاءُ ، وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى مُذْ كَذَا وَكَذَا ، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى شَيْئًا.

Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).

عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ (سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ) أَهُوَ أَثَرُ السُّجُودِ فِى وَجْهِ الإِنْسَانِ؟ فَقَالَ : لاَ إِنَّ أَحَدَهُمْ يَكُونُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ رُكْبَةِ الْعَنْزِ وَهُوَ كَمَا شَاءَ اللَّهُ يَعْنِى مِنَ الشَّرِّ وَلَكِنَّهُ الْخُشُوعُ.

Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah?
Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702).
Bahkan Ahmad ash Showi mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bid’ah)” (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr).
Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”.
Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku. Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya.
Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”.
Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda,

يَخْرُجُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ رِجَالٌ كَانَ هَذَا مِنْهُمْ هَدْيُهُمْ هَكَذَا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ثُمَّ لاَ يَرْجِعُونَ فِيهِ سِيمَاهُمُ التَّحْلِيقُ لاَ يَزَالُونَ يَخْرُجُونَ

“Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun alQur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. Cirri khas mereka adalah plontos kepala. Mereka akan selalul muncul” (HR Ahmad no 19798, dinilai shahih li gharihi oleh Syeikh Syu’aib al Arnauth).
Oleh karena itu, ketika kita sujud hendaknya proporsonal jangan terlalu berlebih-lebihan sehingga hampir seperti orang yang telungkup. Tindakan inilah yang sering menjadi sebab timbulnya bekas hitam di dahi.

http://ustadzaris.com/
Selengkapnya...

Kumis Pak Raden

Di antara ajaran kebersihan yang dituntunkan oleh Islam adalah memangkas kumis. Bahkan Syeikh Said al Qohthoni Sholat al Mukmin 1/22 menegaskan bahwa hukum memotong kumis itu wajib berdasarkan hadits,

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا ».

Dari Zaid bin Arqom, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang tidak memotong sebagian kumisnya maka dia bukan bagian dari kami” (HR Ahmad no 19292, Syeikh Syu’aib al Arnauth mengatakan, “Sanadnya Shahih”).
Inilah pendapat yang lebih kuat dibandingkan pendapat yang mengatakan bahwa hukum potong kumis adalah dianjurkan mengingat hadits di atas.

Sebagian orang demikian semangat untuk melaksanakan kewajiban ini sampai-sampai mereka cukur habis kumisnya sehingga tidak tersisa satu helai pun. Tepatkah tindakan semacam ini?

Jawabannya terdapat dalam hadits berikut ini:

عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ ضِفْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ لَيْلَةٍ فَأَمَرَ بِجَنْبٍ فَشُوِىَ وَأَخَذَ الشَّفْرَةَ فَجَعَلَ يَحُزُّ لِى بِهَا مِنْهُ – قَالَ – فَجَاءَ بِلاَلٌ فَآذَنَهُ بِالصَّلاَةِ – قَالَ – فَأَلْقَى الشَّفْرَةَ وَقَالَ « مَا لَهُ تَرِبَتْ يَدَاهُ ».قال : وكان شاربه قد وفى فقال له : ( أقصه لك على سواك ؟ ) أو : ( قصه على سواك )

Dari al Mughirah bin Syu’bah, “Aku dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertamu di tempat seseorang pada suatu malam. Beliau meminta lambung kambing yang dibakar. Beliau lantas mengambil pisau dan memotong daging kambing tersebut dengan pisau. Tak lama setelah itu Bilal datang untuk memberi tahu bahwa waktu shalat sudah tiba. Nabi lantas meletakkan pisau dan bersabda, “Mengapa Bilal berbuat seperti itu, celakalah dia”. al Mughirah berkata, “Kumis Bilal lebat maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal, ‘Aku akan memotong kumismu dengan beralaskan kayu siwak atau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Potonglah kumismu dengan beralaskan kayu siwak’ (HR Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyyah dan dinilai shahih oleh al Albani dalam Mukhtashar Syamail no 140).

Celaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Bilal dalam hadits di atas dikarenakan beliau tidak suka perbuatan Bilal yang mengganggu acara makan beliau padahal waktu shalat masih sangat longgar karena jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti makan di tengah jalan tentu akan menyakiti hati dan perasaan yang sedang menjamu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Yang dimaksud memotong kumis dengan beralaskan kayu siwak adalah kayu siwak diletakkan di bawah kumis baru kumisnya dipotong dengan maksud agar bibir tidak terganggu karena sedang memotong kumis.

Dalam al Mawahib al Muhammadiyyah termaktub, “Hadits tersebut menunjukkan dianjurkan membantu orang lain untuk memotong kumis dan mengajarinya cara memotong kumis. Hendaknya tidak berlebih-lebihan dalam memangkas kumis (baca: menggerok atau memangkas habis kumis) bahkan cukup dipangkas hingga merahnya bibir atas itu terlihat jelas. Karena jika yang diharapkan seluruh kumis terpangkas habis tanpa ada yang tersisa satupun tentu tidak perlu kayu siwak diletakkan di bawah kumis. Jelas fungsi kayu siwak di bawah kumis untuk menunjukkan bahwa yang dipangkas adalah rambut kumis yang melewati batang kayu siwak” (al Mawahib al Muhammadiyyah bi Syarh al Syamail al Muhammadiyyah 1/385, cetakan Dar al Kutub al Ilmiyyah).

Perlu diperhatikan bahwa tidak memangkas habis kumis adalah suatu hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan sebagaimana dalam hadits di atas.
Yahya bin Syaraf an Nawawi mengatakan, “Adapun memotong kumis maka hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Dianjurkan memotong kumis dimulai dari sebelah kanan. Memotong kumis bisa dilakukan sendiri, boleh juga dengan meminta bantuan orang lain karena hal itu pun juga bisa mewujudkan yang dimaksudkan tanpa merusak muruah (kehormatan). Lain halnya dengan mencukur bulu ketiak dan bulu di sekita kemaluan (yaitu tidak boleh dengan meminta bantuan orang lain, pent).

Menurut pendapat yang paling kuat tentang batasan kumis yang perlu dipotong adalah dengan memangkasnya hingga pinggiran bibir atas terlihat jelas dan tidak perlu memangkas habis kumis hingga tidak tersisa sedikitpun.

Sedangkan riwayat yang berbunyi
( أَحْفُوا الشَّوَارِب )

“Pangkas habislah kumis” maka maknanya yang tepat adalah pangkas habislah rambut kumis yang melebihi dua bibir (al Minhaj, Syarh Muslim 1/414, Syamilah).
Al Albani berkata, “Yang dimaksud oleh hadits adalah bersungguh-sungguh memotong kumis yang menutupi bibir bukan mengerok kumis seluruhnya. Memotong habis kumis adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah amaliah (praktek Nabi). Oleh karena itu, ketika Imam Malik ditanya tentang orang yang memangkas habis kumisnya beliau berkata, “Aku berpandangan bahwa orang tersebut perlu dihukum dengan dipukuli”. Imam Malik juga berkata kepada orang yang mengerok kumisnya, “Ini adalah bid’ah yang muncul di tengah-tengah banyak orang” (Riwayat Baihaqi 1/151, lihat Fathul Bari 10/285).

Oleh karena itu, Imam Malik memiliki kumis yang banyak. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau menjawab, ‘Zaid bin Aslam telah bercerita kepadaku dari Amir bin Abdullah bin az Zubair bahwa Umar jika marah memelintir kumisnya dan kumisnya nampak membesar’ (Riwayat Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir dengan sanad yang shahih)” (Adab al Zifaf hal 137, al Maktab al Islami).

http://ustadzaris.com/
Selengkapnya...

Kematian, Sebuah Kepastian

Tema : Kematian,sebuah kepastian, Faidah Surat Ali Imran Ayat 185

Pemateri : Ustadz Maududi Abdullah

Kematian adalah sebuah kepastian. Ketetapan yang jika telah datang waktunya, tak satu pun makhluk yang mampu menangguhkannya. Namun kematian bukanlah akhir kehidupan yang hakiki bagi seorang hamba. Setiap hamba hanyalah musafir yang akan kembali ke negerinya yang hakiki dan abadi di akhirat nanti. Dia akan kembali untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan dan ucapan yang telah dilakukannya di dunia. Kemudian dia akan mendapatkan balasan atas amalannya tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali ‘Imran: 185)
Hamba yang sukses adalah mereka yang diselamatkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rahmat dan keutamaan dari-Nya. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Barangsiapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dialah orang yang berhasil/sukses. Maknanya, dia mendapatkan kesuksesan yang agung, selamat dari azab yang pedih, dan berhasil meraih surga yang penuh dengan kenikmatan, yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia.”

Adapun hamba yang merugi adalah mereka yang tertipu dengan dunia dan kenikmatan-kenikmatan semu yang ada di dalamnya, sehingga melupakannya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kematian setiap kita sebagai akhir yang penuh kebaikan , meninggalkan dunia dengan selamat menuju kehidupan akhirat yang penuh kebahagiaan.

http://www.radiorodja.com/
Selengkapnya...

Rabu, 24 November 2010

Jabat Tangan Pembawa Berkah




Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لهَمُاَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا

“Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan melainkan telah diampuni dosa-dosa keduanya sebelum mereka berdua berpisah.” (Dihasankan oleh Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albany).

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيِنِ التَقَيَا فَأَخَذَ أَحَدُهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ, إِلاَّ كَان َحَقًّا عَلىَ اللهِ أَنْ يَحْضُرَ دُعَاءَهُمَا, وَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ أَيْدِيْهِمَا حَتىَّ يُغْفَرُ لَهُمَا

“Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian salah satu di antara keduanya memegang tangan temannya (berjabat tangan) melainkan kewajiban bagi Allah untuk mengabulkan doa keduanya dan tidaklah kedua tangan mereka berdua berpisah hingga dosa-dosa keduanya diampuni.” (Ditakhrij oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dan beliau berkata: Hasan lighoirihi).

Makna (Kana haqqon ‘alallahi) adalah: hak yang dianugrahkan oleh Allah Ta’ala kepada mereka.

Sedang makna (yahdhuru du’ahuma) adalah: doa keduanya mustajab.

Hal ini adalah masalah besar yang perlu dijelaskan bahwa salah satu perbuatan yang sangat dicintai oleh Allah adalah: bersatu padu, saling menyayangi, saling mencintai dan tercipta keselarasan di antara kaum muslimin.

Akan tetapi, seorang muslim tidak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya karena hal ini adalah haram.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda:
ِلأَنْ يُطْعِنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Sungguh kepala seseorang dijahit dengan besi itu lebih baik baginya dari pada ia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya.” (Diriwayatkan oleh dua orang periwayat hadits, Al-Albany berkata dalam kitab as-Shahih: sanadnya bagus).

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda:
إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ, إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ اْمرَأَةٍ كَقَوْلِي ِلامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ

“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan seorang wanitapun. Ucapanku kepada seratus orang wanita sama persis seperti ucapanku kepada satu orang wanita.” (Ditakhrij oleh Malik dalam kitab Muwatha’, Ahmad dalam musnadnya dan dishahihkan oleh Al-Albany).

Dikutip dari buku,” Tiket Perjalanan Ke Alam Surga.”

http://an-naba.com/

Selengkapnya...

Dan Kaupun Menjawab

Subhanallah.....teman yang mengenali diri ini.....

gerimis hati ini bisa dirasa oleh anti.....

untuk membaca tulisan anti.....

memerlukan hati yang kuat........

sebaris dibaca.....berkaca mata.....

beberapa kali keluar n masuk ke fb....

rasanya nggak bisa membaca....

tiada kekata yang bisa ditulis.....

berlalunya waktu hanya ini yang dapat ditulis....

setelah berdiam maka umm beri sms....kiranya.....

tangisku adalah tangismu tawaku adalah tawamu

"Umar Radhiyallahu Anhu mengimami salat subuh kemudian berpaling kepada manusia dan berkata, dimana Muadz? Muadz berkata : Ini saya, wahai Amirul Mu'minin. Umar berkata, Saya teringat kamu tadi malam lalu saya gelisah di kasurku cinta dan rindu kepadamu. Lalu keduanya berangkulan dan saling menangis. Betapa indahnya luapan hati yang tulus. Betapa ana merindukan untuk berjumpa dengan anti seperti rindunya Umar terhadap Muadz."

Jazakillahu khairon katsiran atas semua do'a anti pada kami sekeluarga.....udah tibanya masa ana tulis di blog....^__^selepas pindah tgl 27 Nov ini....

Selengkapnya...

SAHABATKU

(kupersembahkan untuk Ummu Irfan -semoga Alloh merahmatinya-, seorang sahabat yg kuharapkan perjumpaannya di dunia nyata)

sahabat...

sukamu adalah sukaku

dukamu adalah dukaku

solo...

perjumpaanmu dengan buah hatimu

kutahu itu bahagiamu

bahagia seorang ibu yang demi dien

harus rela berpisah dari buah hati

bahagia yg ingin kau bagi dgn kami sahabatmu

dan...

aku bahagia

tapi mengapa....

baru secuil bahagiamu kurasakan

engkau bawa pergi...

aku tahu hatimu sedih

tapi sungguh...

jangan menangis lagi

karena dada ini tlah sesak

dan...

pipi ini tlah basah

kapan...

kau nasehati kami lagi

kapan...

kau ajak kami tuk berbagi lagi

kapan...

kau bagi pengalaman lagi

kapan?????

hanya kau yang tahu pasti

sahabat tak bisa lagi kuberkata-kata..........

hanya berharap kau tak tinggalkan kami

Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan menyakiti tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah menghormati tamunya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah)

di FB ....

engkau sahabatku

engkau tetanggaku

terkadang juga....

engkau mampir menjadi tamuku

engkau adalah saudariku....

INNI UHIBBUKI FILLAH

sesungguhnya aku mencintaimu karena Alloh

*Parama Dyah Ummu 'Aisyah*

Batam 21 November 2010

catatan disela-sela kesibukanku

Selengkapnya...

Untuk Sahabatku Ahlussunnah....

oleh Atikah Maysun pada 12 November 2010 jam 7:42


Bismillah,

Kehilangan seorang teman/sahabat yang kucintai karena Allah terasa sangat berat....

Walau aku tak pernah melihatnya,tak pernah menyapanya langsung di alam nyata,tapi sepertinya aku telah mengenalnya lama....

MasyaAllah sohibty,,,Ana uhibbuki fillah...

Hanya Allah semata yang tau hatiku,dan bagaimana rasa kehilanganku....

dulu aku tak memahami ungkapan "Jika engkau bertemu dengan seorang ahlussunnah, sampaikan salamku! sesungguhnya ahlussunnah sekarang ini gharib (asing)." ( Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah).

Sampai aku mengenal para ahlussunnah yang jauh letaknya yang terpisah darat dan lautan,walau hanya berkomunikasi di dunia maya...ternyata Ahlussunnah memanglah gharib,alangkah tebal kabut keterasingan ahlussunnah sekarang ini. Aku sungguh bersyukur bisa bertemu dengan para ahlussunah yang lain,Ana uhibbukum fillah...

"Ruh-ruh adalah seperti tentara yang berbaris-baris, maka yang saling mengenal akan bersatu dan yang saling mengingkari akan berselisih.”

[HR. al-Bukhori (3158), Muslim (2638), Abu Dawud (4834), Ahmad (7922), Ibnu Hibban (6168), al-Hakim (8296), dll]

Semoga Ruhku ada bersama barisan kalian wahai ahlussunnah..Amin Allahumma Amin...

Selengkapnya...

Selasa, 16 November 2010

FATWA - PENETAPAN 'IDUL ADHA

Oleh : Asy-Syaikh Ibrohim bin ‘Amir ar-Ruhaili –hafidzohulloh-

Pertanyaan :
Assalamu’alaikum wa rohmatullohi wa barokaatuh,
Syaikh, tentang dengan penetapan hari Idul Adha di daerahku, Salafiyyun terbagi menjadi 2 bagian; sebagian mereka mengikuti Saudi dan sebagian lainnya mengikuti pemerintah. Yang mengikuti Saudi berhujjah dengan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu al-Fatawa bahwa kaum muslimin selalu mengambil rukyahnya jama’ah haji. Apakah ini benar?

Jawaban:
Wa’alaikumussalaam wa rohmatulloh wa barokaatuh,
Pertama-tama, para ‘ulama telah berbicara tentang masalah ini. Adapun tentang Romadhon : puasa dan iedul fithri, maka pada setiap negeri punya rukyah masing-masing. Dan tidak boleh bagi penduduk negeri ini atau yang selainnya berpuasa mengikuti Saudi dan negeri-negeri lainnya, bahkan setiap negeri memiliki rukyah masing-masing. Jika orang-orang berpuasa, mereka berpuasa bersamanya dan jika orang-orang berbuka (iedul Fithri, pent) mereka berbuka bersamanya, jika kalian berada di negeri muslim seperti negeri ini.

Adapun pada Iedul Adha, pada penetapan hari Arofah, sebagian ‘ulama menyebutkan masalah ini bahwa yang dianggap adalah rukyahnya negeri yang ditegakkan haji padanya. Karena hari Arofah adalah hari wukufnya manusia di Arofah. Ini dikatakan oleh sebagian ahlul ilmi.

Dan masalahnya khilafiyyah antara ahlul ilmi. Akan tetapi tidak diragukan bahwa tarjih suatu pendapat atas pendapat lainnya jika hal ini akan menyebabkan keburukan dan fitnah, maka persatuan kaum muslimin atas sebagian pendapat yang akan menghasilkan kesatuan kata dari pendapat para mujtahidin dan bukan dari pendapat ahli bid’ah, maka itu lebih baik daripada perpecahan kaum muslimin.

Kalian di negeri ini, jika pemerintah memberitahukan tentang sesuatu, maka ijtihadnya mengangkat khilaf. Dan jika kalian melihat ahlul ilmi wal fadhl, Ahlus Sunnah dan thullabul ilmi di kalangan mereka, jika mereka bersatu atas satu pendapat, jangan selisihi mereka.

Salah seorang peserta dauroh bertanya menimpali :

Akan tetapi musykilahnya pemerintah kami memberikan kebebasan yang sempurna bagi siapa yang ingin memilih pendapat ini, bagaimana pendapat anda?

Asy-Syaikh menjawab:
Jika mereka memberikan kebebasan maka ikutilah kebanyakan kaum muslimin yang mereka Ahlus Sunnah yang mereka menegakkan al-haq di setiap tempat dan waktu, jika kebanyakan dari mereka dan jama’ah mereka berada di atas sesuatu maka ikutilah mereka dan jangan bersikap syadz (nyeleneh, pent) dari mereka. Na’am.


Catatan : Yang dimaksud dengan keputusan pemerintah adalah KEPUTUSAN RESMI dari pemerintah. Allahu Ta'ala a'lam.

[Diterjemahkan dari rekaman Dauroh Masyayikh Madinah di Kebun Teh Wonosari Lawang – Malang Juli 2007. File : syaikh ibrohim 4.mp3 >> 71:50 – 74:26]

---------------------

RENUNGAN BAGI SALAFIYYIN DI INDONESIA :

Untuk permasalahan KHILAF MU'TABAR seperti ini, perlu sekiranya kita berlapang dada. benar, kita SALING MENYELISIHI berdasarkan dalil yang kita miliki. akan tetapi janganlah PERSELISIHAN tersebut meruncing menjadi PERPECAHAN. Akan tetapi, CONTOHILAH SIKAP PARA ULAMA yang saling berbeda pendapat itu! jika mereka saling berkasih sayang, maka kenapa kita -sebagai MUQALLID- saling membenci!?

Bahkan ini seharusnya menjadi pelajaran bagi setiap orang :
1. Agar ia mengetahui suatu permasalahan dengan baik dan benar
2. Agar ia rujuk kepada kebenaran dan BERPEGANG diatasnya
3. Agar ia mengetahui SIKAP yang baik dan benar dalam permasalahan tersebut

Ingatlah, khilaf mu'tabar bukan hanya masalah ini saja, tapi SANGAT BANYAK masalah yang lain...

Kita perlu mengetahui akar suatu permasalahan dengan baik dan benar, dan mencoba MENCARI KEBENARAN dengan bertanya kepada AHLInya, kemudian merujuk kepada kebenaran berdasarkan DALIL-DALIL yang diberikan oleh AHLI ILMU.

Jika ternyata pada permasalahan tersebut terdapat perselisihan yang KUAT, maka hendaknya kita BERSIKAP DEWASA; tidak BERKACAMATA KUDA.

Adanya orang yang MENYELISIHI kita dalam permasalahan tersebut JANGAN KITA ANGGAP sebagai orang yang MENYIMPANG! apakah kita akan mengatakan ULAMA yang berada dibelakangnya juga MENYIMPANG?!!

Adanya orang yang MENYELISIHI kita dalam permasalahan tersebut JANGAN KITA ANGGAP sebagai orang yang MENDAHULUKAN HAWA NAFSUNYA!! apakah kita SUDAH MEMBEDAH hatinya sehingga kita tahu ia mengikuti hawa nafsu?!

Bahkan khilaf mu'tabar itu banyak sekali, bukan hanya dalam permasalahan penentuan puasa arafah dan 'idul adha saja...

Tapi juga tentang HUKUM QURBAN (apakah wajib ataukah sunnah muakkadah), juga masalah-masalah lain, seperti HUKUM SHALAT BERJAMA'AH (yang selama ini KEBANYAKAN dari kita, mungkin menganggap dalam masalah ini HANYA ADA SATU PENDAPAT SAJA yang TIDAK BOLEH DISELISIHI, yakni WAJIB (fardhu 'ain), bagi yang tidak berpendapat wajib, maka ia munafik?! Allahul musta'aan....)

dan juga BERBAGAI MASALAH YANG LAIN..

maka -sekali lagi- perlu bagi kita untuk :

1. mengetahui (BERILMU) suatu permasalahan dengan baik dan benar
2. rujuk kepada kebenaran dan BERPEGANG diatasnya
3. mengetahui (BERILMU) bagaimana seharusnya SIKAP kita dalam permasalahan tersebut

Berkata asy-Syaikh al-'Utsaimin rahimahullåhu ta'ala dalam kibatul 'ilm dalam permasalahan sedekap atau tidak dalam i'tidal :

"Tetapi kita wajib untuk tidak menjadikan perselisihan di antara ulama' ini sebagai penyebab perpecahan, karena kita seluruhnya menghendaki al-haq, dan kita seluruhnya telah melakukan segala usaha yang ijtihad-nya membawa ke sana.

Maka selama perselisihan itu (--seperti ini, yakni khilaf mu'tabar--), sesungguhnya kita tidak boleh menjadikannya sebagai sebab permusuhan dan perpecahan diantara ahlul ilmi, karena sesungguhnya para ulama' itu selalu berselisih, walaupun di zaman Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam..

Kalau begitu, maka yang menjadi kewajiban bagi thalibul ilmi hendaklah mereka bersatu, dan janganlah mereka menjadikan perselisihan semacam ini sebagai sebab untuk saling menjauhi dan saling membenci.

Bahkan jika engkau berbeda pendapat dengan temanmu berdasarkan kandungan dalil yang engkau miliki, sedangkan temanmu menyelisihimu berdasarkan kandungan dalil yang ada padanya, maka kalian wajib untuk menjadikan diri kalian diatas satu jalan dan hendaklah kecintaan bertambah di antara kalian berdua."

(Kitabul ilmi, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal: 28-30, penerbit: Daar ats-Tsurayya, cet: I, th:1417 H. 1996 M)

Demikianlah nasehat ahli ilmu terhadap para penuntut ilmu, yang seharusnya kita teladani.
[Dinukil dari nasehat Al akh Abu Zuhriy Rikiy Dzulkifliy dalam perkara pembahasan semisal].

Sumber : http://abufathurrahman.wordpress.com/2007/12/18/fatwa-syaikh-ibrahim-ar-ruhaili-tentang-penetapan-idul-adha/

http://www.abuayaz.co.cc/
Selengkapnya...

Adab-Adab Makan


Disusun ulang oleh: Ummu Aufa
Muroja’ah: Subhan Khadafi, Lc.

a. Memulai makan dengan mengucapkan Bismillah.

Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila salah seorang diantara kalian hendak makan, maka ucapkanlah: ‘Bismilah.’ Dan jika ia lupa untuk mengucapkan Bismillah di awal makan, maka hendaklah ia mengucapkan ‘Bismillahi Awwalahu wa Aakhirahu (dengan menyebut nama Allah di awal dan diakhirnya).’” (HR. Daud Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Ibnu Majah: 3264)

b. Hendaknya mengakhiri makan dengan pujian kepada Allah.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa telah selesai makan hendaknya dia berdo’a: “Alhamdulillaahilladzi ath’amani hadza wa razaqqaniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin. Niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Daud, Hadits Hasan)

Inilah lafadznya,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا وََرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حوْلٍ مِنِّي وَ لاَ قُوَّةٍ

“Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan ini kepadaku dan yang telah memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku.”

Atau bisa pula dengan doa berikut,

الْحَمْدُ لِلَّهِ حَنْدًا كثِيراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيهِ غَيْرَ (مَكْفِيٍّ وَ لاَ) مُوَدَّعٍ وَ لاَ مُسْتَغْنَيً عَنْهُ رَبَّناَ

“Segala puji bagi Allah dengan puja-puji yang banyak dan penuh berkah, meski bukanlah puja-puji yang memadai dan mencukupi dan meski tidaklah dibutuhkan oleh Rabb kita.” (HR. Bukhari VI/214 dan Tirmidzi dengan lafalnya V/507)

c. Hendaknya makan dengan menggunakan tiga jari tangan kanan.

Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan menggunakan tiga jari.” (HR. Muslim, HR. Daud)

d. Hendaknya menjilati jari jemarinya sebelum dicuci tangannya.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila salah seorang diantara kalian telah selesai makan maka janganlah ia mengusap tangannya hingga ia menjilatinya atau minta dijilati (oleh Isterinya, anaknya).” (HR. Bukhari Muslim)

e. Apabila ada sesuatu dari makanan kita terjatuh, maka hendaknya dibersihkan bagian yang kotornya kemudian memakannya.

Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila ada sesuap makanan dari salah seorang diantara kalian terjatuh, maka hendaklah dia membersihkan bagiannya yang kotor, kemudian memakannya dan jangan meninggalkannya untuk syaitan.” (HR. Muslim, Abu Daud)

f. Hendaknya tidak meniup pada makanan yang masih panas dan tidak memakannya hingga menjadi lebih dingin, hal ini berlaku pula pada minuman. Apabila hendak bernafas maka lakukanlah di luar gelas, dan ketika minum hendaknya menjadikan tiga kali tegukan.

Sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menghirup udara di dalam gelas (ketika minum) dan meniup di dalamnya.” (HR. At Tirmidzi)

g. Hendaknya menghindarkan diri dari kenyang yang melampaui batas.

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), maka jika tidak mau, maka ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk bernafasnya.” (HR. Ahad, Ibnu Majah)

h. Makan memulai dengan yang letaknya terdekat kecuali bila macamnya berbeda maka boleh mengambil yang jauh.

Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Wahai anak muda, sebutkanlah Nama Allah (Bismillah), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari apa-apa yang dekat denganmu.” (HR. Bukhari Muslim)

i. Hendaknya memulai makan dan minuman dalam suatu jamuan makan dengan mendahulukan (mempersilakan mengambil makanan terlebih dahulu) orang-orang yang lebih tua umurnya atau yang lebih memiliki derajat keutamaan.

j. Ketika makan hendaknya tidak melihat teman yang lain agar tidak terkesan mengawasi.

k. Hendaknya tidak melakukan sesuatu yang dalam pandangan manusia dianggap menjijikkan.

l. Jika makan bersama orang miskin, maka hendaklah kita mendahulukan mereka.

Maroji’:
Disadur dari: Adab adab Harian Muslim, Ibnu Katsir

***

Artikel www.muslimah.or.id
Selengkapnya...

Kapankah Waktu Puasa Arafah?

http://www.cordova-travel.com/blog/img/arafahmaghrib.jpg

Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

Dari Abu Qatadah Al-Anshariy (ia berkata),” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah di tanya tentang (keutamaan) puasa pada hari Arafah?” Maka beliau menjawab, “ Menghapuskan (kesalahan) tahun yang lalu dan yang sesudahnya.” (HR. Muslim no.1162 dalam hadits yang panjang)

Fiqih Hadits:

Didalam hadits yang mulia ini terdapat dalil dan hujjah yang sangat kuat tentang waktu puasa Arafah, yaitu pada hari Arafah ketika manusia wuquf di Arafah. Karena puasa Arafah ini terkait dengan waktu dan tempat.Bukan dengan waktu saja seperti umumnya puasa-puasa yang lain. Oleh karena puasa Arafah itu terkait dengan tempat, sedangkan Arafah hanya ada di satu tempat yaitu di Saudi Arabia di dekat kota Makkah bukan di Indonesia atau di negeri-negeri yang lainnya, maka waktu puasa Arafah adalah ketika kaum muslimin wuquf di Arafah. Seperti tahun ini 1425 H/2004 M [seperti tertulis di dalam buku, admin] wuquf jatuh pada hari Rabu, maka kaum muslimin di Indonesia dan di seluruh negeri puasa Arafahnya pada hari Rabu dan ‘Iedul Adha-nya pada hari Kamis. Bukan sesudahnya, yakni puasanya pada hari kamis dan ‘iednya pada hari Jum’at, dengan alasan? mengikuti ru’yah di negeri masing-masing seperti halnya bulan Ramadhan dan ‘Iedul Fithri. Pendapat ini batil kalau tidak mau dikatakan sangatlah batil, karena telah menyalahi ketegasan hadits di atas, di mana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di tanya tentang puasa pada hari Arafah, yakni pada hari ketika manusia wuquf di Arafah. Adapun hari sesudahnya bukan hari Arafah lagi tetapi hari ‘Ied, dan lusanya bukan hari ‘Ied lagi tetapi hari Tasyrik. Ini yang pertama!

Yang kedua, hujjah di atas lebih lemah dari sarang laba-laba, karena telah mempergunakan qiyas ketika nash telah ada. Kaidah fiqqiyyah mengatakan, “Apabila nash telah datang, maka batallah segala pendapat”.

Yang ketiga, qiyas yang mereka gunakan merupakan qiyas yang berbeda dengan apa yang di qiyaskan atau qiyas faariq. Tidak dapat disamakan hukumnya antara Ramadhan dan ‘Iedul Fithri tanggal satu Syawwal dengan puasa hari Arafah dan ‘Iedul Adha. Maka sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam , “Puasalah karena melihat ru’yah (Ramadhan), dan berbukalah ketika melihat ru’yah (Syawwal)”. Jelas sekali untuk puasa di bulan Ramadhan dan ‘Iedul Fithri, bahwa masing-masing negeri atau negeri-negeri yang saling berdekatan mempunyai ru’yah masing-masing menurut pendapat sebagian ulama sebagaimana saya telah jelaskan dengan luas di Al-Masaa-il jilid 2 masalah ke 39.

Yang keempat, sebagian dari mereka mengatakan, “Kami melaksanakan dalam rangka menaati dan mengikuti ulil amri!”

Ini adalah perkataan yang sangat batil yang telah menjadikan ulil amri sebagai tuhan-tuhan selain Allah yang telah menetapkan kepada mereka sebuah syari’at walaupun menyalahi Syari’at Rabbul ‘alamin. Oleh karena itu tidak ada seorangpun Ulama yang mengatakan secara mutlak ketaatan kepada ulil amri seperti perekataan yang sangat batil di atas. Akan tetapi mereka selalu mengkaitkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila perkataan atau ketetapan ulil amri menyalahi ketetapan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tidak boleh didengar dan tidak boleh ditaati, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka maksiat kepada Rabbul ‘alamin sebagaimana telah di jelaskan dalam hadits-hadits yang shahih dalam masalah ini. Selain perkataan dan perbuatan mereka diatas menyerupai manhaj Khawarij secara khusus dan manhaj ahli bid’ah secara umum, yaitu berdalil dengan dalil-dalil umum atau mutlak dengan meninggalkan dalil-dalil yang tidak bersifat umum atau mutlak.

Disalin secara ringkas dari Kitab Al-Masaa-il Jilid 5 hal.88-90 oleh guru kami Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat ~semoga Allah menjaganya~

Abu Sahal al-Atsary
Ahad, 14 November 2010

http://moslemsunnah.wordpress.com/
Selengkapnya...

Senin, 15 November 2010

Hukum Mencela Masa


Soal: Bagaimana hukumnya mencela masa?

Jawab:
Mencela masa terbagi menjadi tiga macam.

Pertama, sekedar pernyataan tanpa maksud menjelekkan. Hal seperti ini boleh, contohnya: “Hari ini kami merasa lelah karena udara sangat panas,” atau “…udara sangat dingin,” atau kata-kata lain yang serupa. Demikianlah, karena setiap perbuatan tergantung pada niatnya dan kata-kata seperti itu boleh atau patut sebagai suatu pernyataan atau berita semata-mata.

Kedua, mencela masa sebagai sebab, misalnya mencela masa dengan maksud bahwa masa itulah yang menjadikan sebab berubahnya sesuatu menjadi baik atau buruk. Pernyataan seperti itu adalah kesyirikan berat karena orang yang melakukannya berkeyakinan bahwa disamping Allah Ta’ala ada pencipta lain sehingga kejadian-kejadian yang terjadi dikaitkan kepada selain Allah Ta’ala.

Ketiga, mencela masa dengan berkeyakinan bahwa penyebabnya adalah Allah Ta’ala. Masa dicela karena menjadi penggerak terjadinya perkara-perkara yang tidak disukai. Hal seperti ini diharamkan karena orang yang melakukannya telah mengesampingkan kesabaran yang wajib dimiliki dalam menghadapi cobaan. Akan tetapi ia tidak mencela Allah Ta’ala secara langsung. Sekiranya ia mencela Allah Ta’ala secara langsung (menyalahkan Allah Ta’ala atas kejadian buruk itu) maka ia kafir.

***
Syaikh Ibnu Utsaimin
Majmu’ Fataawa wa Rasaail, juz 1
Diketik ulang dari buku Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Suci Penerbit Media Hidayah.

Catatan Tambahan: (oleh Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tausikal)
Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

”Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)“, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah [45] : 24).

Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.

Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu.

Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ’larangan mencela waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)

Dalam lafadz yang lain, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَقُولُ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَلاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَإِنِّى أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ فَإِذَا شِئْتُ قَبَضْتُهُمَا

”Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan ’Ya khoybah dahr’ [ungkapan mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan ’Ya khoybah dahr’ (dalam rangka mencela waktu, pen). Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam keduanya.” (HR. Muslim no. 6001)

An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419) mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan ’Ya khoybah dahr’ (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.

Setelah dikuatkan dengan berbagai dalil di atas, jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ’Azza wa Jalla.

Perlu diketahui bahwa mencela waktu bisa membuat kita terjerumus dalam dosa bahkan bisa membuat kita terjerumus dalam syirik akbar (syirik yang mengeluarkan pelakunya dari Islam).

Maka perhatikanlah saudaraku, mengatakan bahwa waktu tertentu atau bulan tertentu adalah bulan sial atau bulan celaka atau bulan penuh bala bencana, ini sama saja dengan mencela waktu dan ini adalah sesuatu yang terlarang. Mencela waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan semacam ini. Oleh karena itu, jagalah selalu lisan ini dari banyak mencela. Jagalah hati yang selalu merasa gusar dan tidak tenang ketika bertemu dengan satu waktu atau bulan yang kita anggap membawa malapetaka. Ingatlah di sisi kita selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kita.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ (16) إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17)

”Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan para malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf [50] : 16-17)

***
Artikel muslimah.or.id
Selengkapnya...

Menjaga Anak dari Bahaya ‘Ain


Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Subhan Khadafi, Lc.

Kenikmatan adalah hal yang didambakan setiap orang. Dan setiap kenikmatan juga dapat sekaligus menjadi ujian bagi seseorang. Salah satu kenikmatan yang dikaruniakan oleh Allah bagi sepasang insan adalah hadirnya sang buah hati dalam kehidupan. Ketika telah lahir, maka fisiknya yang lucu mengundang orang untuk memandang, memanjakan, menyentuhnya. Dan ketika tumbuh beranjak menjadi sosok kanak-kanak, tetap tingkah lakunya banyak mengundang perhatian orang.

Dengan sebab ini, maka perlulah kita ketahui sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap yang memiliki kenikmatan pasti ada yang iri (dengki).” (Shahihul Jami’ 223. Lihat majalah Al Furqon). Perlu menjadi perhatian bagi orang tua bahwa dalam syari’at Islam telah dijelaskan adanya bahaya ‘ain (pandangan mata) terutama bagi anak-anak. Pandangan mata yang berbahaya ini dapat muncul dengan sebab kedengkian orang yang memandang atau karena kekaguman.

Bahaya ‘Ain

Ibnu Qoyyim rohimahullah dalam kitab Tafsir Surat Muawwadzatain berkata, “Bahaya dari pandangan mata dapat terjadi ketika seseorang yang berhadapan langsung dengan sasarannya. Sasaran tukang pandang terkadang bisa mengenai sesuatu yang tidak patut didengki, seperti benda, hewan, tanaman, dan harta. Dan terkadang pandangan matanya dapat mengenai sasaran hanya dengan pandangan yang tajam dan pandangan kekaguman.” Pengaruh dari bahaya pandangan mata pun hampir mengenai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana firman-Nya,

وَإِن يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ

“Sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar al Qur’an dan mereka mengatakan ‘Sesungguhnya dia (Muhammad) benar-benar gila.” (Al Qalam [68]: 51)

Terdapat pula hadits dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

العين حقُُّ ولو كان شيء سابق القدر لسبقته العين

“Pengaruh ‘ain itu benar-benar ada, seandainya ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, ‘ainlah yang dapat melakukannya.” (HR. Muslim)

Subhanallah, lihatlah bagaimana bahaya ‘ain telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As Sunnah. Dan terdapat pula contoh-contoh pengaruh buruk ‘ain yang terjadi pada masa sahabat. Salah satunya adalah yang terjadi ada Sahl bin Hunaif yang terkena ‘ain bukan karena rasa dengki namun karena rasa takjub. Sebagaimana dalam hadits,

Dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif menyebutkan bahwa Amir bin Rabi’ah pernah melihat Sahl bin Hunaif mandi lalu berkatalah Amir, “Demi Allah, Aku tidak pernah melihat (pemandangan) seperti hari ini, dan tidak pernah kulihat kulit yang tersimpan sebagus ini.” Berkata Abu Umamamh, “Maka terpelantinglah Sahl.” Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Amir. Dengan marah beliau berkata, “Atas dasar apa kalian mau membunuh saudaranya? Mengapa engkau tidak memohonkan keberkahan (kepada yang kau lihat)? Mandilah untuknya!” Maksudnya Nabi menyuruh Amir berwudhu kemudian diambil bekas air wudhunya untuk disiramkan kepada Sahl dan ini adalah salah satu cara pengobatan orang yang tertimpa ‘ain bila diketahui pelaku ‘ain tersebut (*). Maka Amir mandi dengan menggunakan satu wadah air. Dia mencuci wajah, kedua tangan, kedua siku, kedua lutut, ujung-ujung kakinya dan bagian dalam sarungnya. Kemudian air bekas mandinya itu dituangkan kepada Sahl, lantas dia sadar dan berlalulah bersama manusia.” (HR. Malik dalam al Muwaththa 2/938, Ibnu Majah 3509, dishahihkan oleh Ibnu Hibban 1424. sanadnya shahih, para perawinya terpercaya, lihat Zaadul Ma’ad tahqiq Syu’aib al Arnauth dan Abdul Qadir al Arnauth 4/150 cet tahun 1424 H. Lihat majalah Al Furqon).

(*) Kata mandi yang ada di sini maksudnya adalah berwudhu sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam kitab Al Muwattho. Wallahu a’lam.

Tanda-Tanda Terkena ‘Ain

Tanda-tanda anak yang terkena ‘ain di antaranya adalah menangis secara tidak wajar (bukan karena lapar, sakit atau mengompol), kejang-kejang tanpa sebab yang jelas, tidak mau menyusu pada ibunya tanpa sebab, atau kondisi tubuh sang anak kurus kering dan tanda-tanda yang tidak wajar lainnya.

Sebagaimana dalam hadits dari Amrah dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata, “Pada suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah. Tiba-tiba beliau mendengar anak kecil menangis, lalu Beliau berkata,

ما لِصبيِّكم هذا يبكي قهلاََ استرقيتم له من العين

“Kenapa anak kecilmu ini menangis? Tidakkah kamu mencari orang yang bisa mengobati dia dari penyakit ‘ain?” (HR. Ahmad, Baqi Musnadil Anshar. 33304).

Begitu pula hadits Jabir radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Asma’ binti Umais, “Mengapa aku lihat badan anak-anak saudaraku ini kurus kering? Apakah mereka kelaparan?” Asma menjawab, “Tidak, akan tetapi mereka tertimpa ‘ain”. Beliau berkata, “Kalau begitu bacakan ruqyah bagi mereka!” (HR. Muslim, Ahmad dan Baihaqi)

Berlindung dari Bahaya ‘Ain

Sesungguhnya syari’at Islam adalah sempurna. Setiap hal yang mendatangkan bahaya bagi umatnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu telah menjelaskan tentang perkara tersebut dan cara-cara mengantisipasinya. Begitu pula dengan bahaya ‘ain ini.

1. Bagi Seseorang yang Memungkinkan Memberi Pengaruh ‘Ain

Berdasarkan hadits Abu Umamah di atas maka hendaknya seseorang yang mengagumi sesuatu dari saudaranya maka yang baik adalah mendoakan keberkahan baginya. Dan berdasarkan surat Al Kahfi ayat 39, maka ketika takjub akan sesuatu kita juga dapat mengucapkan doa:

مَا شَآءَ اللهُ لاَ قُوَّةَ إلاَّ بِا للهِ

Artinya:

“Sungguh atas kehendak Allah-lah semua ini terwujud.”

2. Bagi yang Memungkinkan Terkena ‘Ain

Sesungguhnya ‘ain terjadi karena ada pandangan. Maka hendaknya orang tua tidak berlebihan dalam membanggakan anaknya karena dapat menimbulkan dengki ataupun kekaguman pada yang mendengar dan kemudian memandang sang anak. Adapun jika memang kenikmatan itu adalah sesuatu yang memang telah nampak baik dari kepintaran sang anak, fisiknya yang masya Allah, maka hendaknya orang tua mendoakan dengan doa-doa, dzikir dan ta’awudz yang telah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya adalah surat muawadzatain (surat Annas dan al-Falaq). Ada pula do’a yang biasa diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta perlindungan untuk Hasan dan Husain, yaitu:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانِِ وَ هَامَّةِِ وَ مِنْ كُلِّ عَيْنِِ لامَّةِِ

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari godaan setan, binatang beracung dan dari pengaruh ‘ain yang buruk.” (HR. Bukhari dalam kitab Ahaditsul Anbiya’: 3120)

Atau dengan doa,

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَِ

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari kejahatan makhluk-Nya.” (HR. Muslim 6818).

Kemudian, terdapat pula do’a yang dibacakan oleh malaikat Jibril alaihissalam ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat gangguan setan, yaitu:

بِسْمِ اللهِ أرْقِيكَ مِنْ كُلِّ شَيْءِِ يُؤْذِيْكََ مِن شَرِّ كُلِّ نَفْسِِ وَ عَيْنِ حَاسِدِِ اللهُ يَشْفِيكَ

“Dengan menyebut nama Allah, aku membacakan ruqyah untukmu dari segala sesuatu yang menganggumu dari kejahatan setiap jiwa dan pengaruh ‘ain. Semoga Allah menyembuhkanmu.”

Dan terdapat do’a-do’a lain yang dapat dibacakan kepada sang anak untuk menjaganya dari bahaya ‘ain ataupun menyembuhkannya ketika telah terkena ‘ain. (lihat Hisnul Muslim oleh DR. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani atau Ad Du’a min Al Kitab wa As Sunnah yang telah diterjemahkan dengan judul Doa-doa Dan Ruqyah dari Al-Qur’an dan Sunnah oleh DR. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani)

Kesalahan-Kesalahan Dalam Penjagaan dari Bahaya ‘Ain atau Sejenisnya

Memang bayi sangat rentan baik dari bahaya ‘ain ataupun gangguan setan lainnya. Terdapat beberapa kesalahan yang biasa terjadi dalam menjaga anak dari gangguan tersebut karena tidak berdasarkan pada nash syari’at. Diantara kesalahan-kesalahan tersebut adalah:

1. Menaruh gunting di bawah bantal sang bayi dengan keyakinan itu akan menjaganya. Sungguh ini termasuk kesyirikan karena menggantungkan sesuatu pada yang tidak dapat memberi manfaat atau menolak bahaya.
2. Mengalungkan anak dengan ajimat, mantra dan sebagainya. Ini juga termasuk perbuatan syirik dan hanya akan melemahkan sang anak dan orang tua karena berlindung pada sesuatu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Perlulah kita selalu mengingat, bahwa sekalipun kita mengetahui bahaya ‘ain memiliki pengaruh sangat besar dan berbahaya, namun tidaklah semua dapat terjadi kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan kita sebagai orang Islam tidaklah berlebihan dalam segala sesuatu. Termasuk dalam masalah ‘ain ini, maka seseorang tidak boleh berlebihan dengan menganggap semua kejadian buruk berasal dari ‘ain, dan juga tidak boleh seseorang menganggap remeh dengan tidak mempercayai adanya pengaruh ‘ain sama sekali dengan menganggapnya tidak masuk akal. Ini termasuk pengingkaran terhadap hadits-hadits shahih Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Sikap yang terbaik bagi seorang muslim adalah berada di pertengahan, yaitu mempercayai pengaruh buruk ‘ain dengan tidak berlebihan sesuai dengan apa yang dikhabarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.

Maraji’:

1. Majalah Al Furqon edisi 4 Tahun V/Dzulqo’dah 1426.
2. Doa-Doa dan Ruqyah dari Al Qur’an dan Sunnah. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani. Media Hidayah. 2004.
3. Tafsir Surah Muawwadzatain. Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah. Akbar. 2002.
4. Tumbuh di Bawah Naungan Ilahi. Syaikh Jamal Abdul Rahman. Media Hidayah. 2002.

***

Artikel www.muslimah.or.id

artikel pelengkap disini
Selengkapnya...

Iman Kepada Takdir Baik dan Buruk


Banyak orang mengenal rukun iman tanpa mengetahui makna dan hikmah yang terkandung dalam keenam rukun iman tersebut. Salah satunya adalah iman kepada takdir. Tidak semua orang yang mengenal iman kepada takdir, mengetahui hikmah dibalik beriman kepada takdir dan bagaimana mengimani takdir. Berikut sedikit ulasan mengenai iman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk.

Takdir (qadar) adalah perkara yang telah diketahui dan ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dituliskan oleh al-qalam (pena) dari segala sesuatu yang akan terjadi hingga akhir zaman. (Terj. Al Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 95)


Allah telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan seorang hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun tidak terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

إنا كل شىء خلقنه بقدر

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Qamar: 49)

وخلق كـل شىء فقدره, تقديرا

“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al-Furqan: 2)

وإن من شىء إلا عنده بمقدار

“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Qs. Al-Hijr: 21)

Mengimani takdir baik dan takdir buruk, merupakan salah satu rukun iman dan prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga dia beriman kepada takdir, yaitu dia mengikrarkan dan meyakini dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu berlaku atas ketentuan (qadha’) dan takdir (qadar) Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يؤمن عبد حتى يؤمن بالقدر خبره وشره حتى بعلم أن ما أصابه لم يكن ليخطئه وأن ما أخطأه لم يكن ليصيبه

“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.” (Shahih, riwayat Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 6985) dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Syaikh Ahmad Syakir berkata: ‘Sanad hadits ini shahih.’ Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 2439), karya Syaikh Albani rahimahullah)

Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

الإيمان أن تؤ من با لله وملا ئكته وكتبه ورسله واليوم الا خر وتؤ من بالقدرخيره وشره

“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir serta qadha’ dan qadar, yang baik maupun yang buruk.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan (VIII/1, IX/5))

Dan Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كل شيء بقدر حتى العجز والكيسز

“Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (IV/2045), Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/452), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/32), dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/23))

Tingkatan Takdir

Beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara yang disebut tingkatan takdir atau rukun-rukun takdir. Keempat perkara ini adalah pengantar untuk memahami masalah takdir. Barang siapa yang mengaku beriman kepada takdir, maka dia harus merealisasikan semua rukun-rukunnya, karena yang sebagian akan bertalian dengan sebagian yang lain. Barang siapa yang mengakui semuanya, baik dengan lisan, keyakinan dan amal perbuatan, maka keimanannya kepada takdir telah sempurna. Namun, barang siapa yang mengurangi salah satunya atau lebih, maka keimanannya kepada takdir telah rusak.

Tingkatan Pertama: al-’Ilmu (Ilmu)

Yaitu, beriman bahwa Allah mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali mengenai apa-apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi, baik secara global maupun terperinci, di seluruh penjuru langit dan bumi serta di antara keduanya. Allah Maha Mengetahui semua yang diperbuat makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan, mengetahui rizki, ajal, amal, gerak, dan diam mereka, serta mengetahui siapa di antara mereka yang sengsara dan bahagia.

Allah Ta’ala telah berfirman,

ألم تعلم أن الله يعلم ما فى السـماء والأرض ۗإن ذلك فى كتـب ۚإن ذلك على الله يسر

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hajj: 70)

وعنده, مفاتح الغيب لا يعلمها إلا هو ۚ ويعلم ما فى البر والبحر ۚوما تسقـط من ورقة إلا يعلمها ولا حبة فى ظلمت الأرض ولا رطب ولا يا بس إلا فى كتب مبين

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Maha Mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Al-An’aam: 59)

إن الله بكل شيء عليم

“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (Qs. At-Taubah: 115)

Tingkatan Kedua: al-Kitaabah (Penulisan)

Yaitu, mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menuliskan apa yang telah diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di dalam al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab yang tidak meninggalkan sedikit pun di dalamnya, semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan segala yang telah terjadi hingga hari Kiamat, ditulis di sisi Allah Ta’ala dalam Ummul Kitab.

Allah Ta’ala berfirman,

و كل شيء أحصينه فى إمام مبـين

“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Yaasiin: 12)

ما أصاب من مصيبة فى الأرض ولا فى أنفسكم إلا فى كـتب من قبل أن نبرأهاۚۚإن ذلك على الله يسر

“Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (Qs. Al-Hadiid: 22)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كتب الله مقادير الخلا ئق قبل أن يخلق السماوات زالأرض بخمسبن ألف سنة

“Allah telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab al-Qadar (no. 2653), dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan pula oleh Tirmidzi (no. 2156), Imam Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 557))

Dalam sabdanya yang lain,

إن أول ما حلق الله القلم, قل له: أكتب! قل: رب وماذا أكتب؟ قل: أكتب مقادير كل شيء حتى تقوم الساعة

“Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman, ‘Tulislah!’ Ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya Kiamat.’”(Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 4700), dalam Shahiih Abu Dawud (no. 3933), Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam ­asy-Syari’ah (no.180), Ahmad (V/317), dari Shahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu)

Oleh karena itu, apa yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan meleset darinya, dan apa yang ditakdirkan tidak akan mengenainya, maka tidak akan mengenainya, sekalipun seluruh manusia dan golongan jin mencoba mencelakainya.

Tingkatan Ketiga: al-Iraadah dan Al Masyii-ah (Keinginan dan Kehendak)

Yaitu, bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah sesuai dengan keinginan dan kehendak (iraadah dan masyii-ah) Allah yang berputar di antara rahmat dan hikmah. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia tidak boleh ditanya mengenai apa yang diperbuat-Nya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, tetapi kita, sebagai makhluk-Nya yang akan ditanya tentang apa yang terjadi pada kita, sesuai dengan firman-Nya,

لايسئل عما يفعل وهم يسئلون

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (Qs. Al-Anbiyaa’: 23)

Kehendak Allah itu pasti terlaksana, juga kekuasaan-Nya sempurna meliputi segala sesuatu. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi, meskipun manusia berupaya untuk menghindarinya, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka tidak akan terjadi, meskipun seluruh makhluk berupaya untuk mewujudkannya
.
Allah Ta’ala berfirman,

فمن يردالله أن يهديه يشرح صدره للإسلام ۚومن يرد أن يضله يجعل صدره ضيقاحرجا

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Qs. Al-An’aam: 125)

وَمَا تَشَاؤُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menhendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. At-Takwir: 29)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إن قلوب بني أدم كلها بين إصبعـين من أصا بع الرحمن, كـقلب وا حد, يصرفه حيث يشاء

“Sesungguhnya hati-hati manusia seluruhnya di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahmaan seperti satu hati; Dia memalingkannya kemana saja yang dikehendaki-Nya.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2654). Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 1689))

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Para Imam Salaf dari kalangan umat Islam telah ijma’ (sepakat) bahwa wajib beriman kepada qadha’ dan qadar Allah yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, yang sedikit maupun yang banyak. Tidak ada sesuatu pun terjadi kecuali atas kehendak Allah dan tidak terwujud segala kebaikan dan keburukan kecuali atas kehendak-Nya. Dia menciptakan siapa saja dalam keadaan sejahtera (baca: menjadi penghuni surga) dan ini merupakan anugrah yang Allah berikan kepadanya dan menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki dalam keadaan sengsara (baca: menjadi penghuni neraka). Ini merupakan keadilan dari-Nya serta hak absolut-Nya dan ini merupakan ilmu yang disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya.” (al-Iqtishaad fil I’tiqaad, hal. 15)

Tingkatan Keempat: al-Khalq (Penciptaan)

Yaitu, bahwa Allah adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu yang tidak ada pencipta selain-Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala sesuatu selain Allah adalah makhluk. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

الله خـلق كل شىء ۖوهو على كل شىء وكيل

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Qs. Az-Zumar: 62)

Meskipun Allah telah menentukan takdir atas seluruh hamba-Nya, bukan berarti bahwa hamba-Nya dibolehkan untuk meninggalkan usaha. Karena Allah telah memberikan qudrah (kemampuan) dan masyii-ah (keinginan) kepada hamba-hamba-Nya untuk mengusahakan takdirnya. Allah juga memberikan akal kepada manusia, sebagai tanda kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain, agar manusia dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Allah tidak menghisab hamba-Nya kecuali terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya dengan kehendak dan usahanya sendiri. Manusialah yang benar-benar melakukan suatu amal perbuatan, yang baik dan yang buruk tanpa paksaan, sedangkan Allah-lah yang menciptakan perbuatan tersebut. Hal ini berdasarkan firman-Nya,

والله حلقكم وما تعملون

“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs. Ash-Shaaffaat: 96)
Dan Allah Ta’ala juga berfirman, yang artinya,

لا يكلف الله نفسا إلا وسعها

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)

Hikmah Beriman Kepada Takdir

Beriman kepada takdir akan mengantarkan kita kepada sebuah hikmah penciptaan yang mendalam, yaitu bahwasanya segala sesuatu telah ditentukan. Sesuatu tidak akan menimpa kita kecuali telah Allah tentukan kejadiannya, demikian pula sebaliknya. Apabila kita telah faham dengan hikmah penciptaan ini, maka kita akan mengetahui dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu yang datang dalam kehidupan kita tidak lain merupakan ketentuan Allah atas diri kita. Sehingga ketika musibah datang menerpa perjalanan hidup kita, kita akan lebih bijak dalam memandang dan menyikapinya. Demikian pula ketika kita mendapat giliran memperoleh kebahagiaan, kita tidak akan lupa untuk mensyukuri nikmat Allah yang tiada henti.

Manusia memiliki keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan kehendaknya mengikuti keinginan dan kehendak Rabbnya. Golongan Ahlus Sunnah menetapkan dan meyakini bahwa segala yang telah ditentukan, ditetapkan dan diperbuat oleh Allah memiliki hikmah dan segala usaha yang dilakukan manusia akan membawa hasil atas kehendak Allah.

Ingatlah saudariku, tidak setiap hal akan berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan, maka hendaklah kita menyerahkan semuanya dan beriman kepada apa yang telah Allah tentukan. Jangan sampai hati kita menjadi goncang karena sedikit ’sentilan’, sehingga muncullah bisikan-bisikan dan pikiran-pikiran yang akan mengurangi nikmat iman kita. Dengarlah sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إحرص على ما ينفعك, واستعن بالله ولا تعجز, فإن أصا بك شيء فلا تقل: لو أني فعلت كذا وكذا لكن كذا وكذا, ولكن قل: قدر الله وما شاء فعل, فإن (لو) تفتح عمل الشيطان

“Berusahalah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan Allah dan janganlah sampai kamu lemah (semangat). Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata ’seandainya aku melakukan ini dan itu, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah ‘Qodarullah wa maa-syaa-a fa’ala (Allah telah mentakdirkan segalanya dan apa yang dikehendaki-Nya pasti dilakukan-Nya).’ Karena sesungguhnya (kata) ’seandainya’ itu akan mengawali perbuatan syaithan.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2664))

Tidak ada seorang pun yang dapat bertindak untuk merubah apa yang telah Allah tetapkan untuknya. Maka tidak ada seorang pun juga yang dapat mengurangi sesuatu dari ketentuan-Nya, juga tidak bisa menambahnya, untuk selamanya. Ini adalah perkara yang telah ditetapkan-Nya dan telah selesai penentuannya. Pena telah terangkat dan lembaran telah kering.

Berdalih dengan takdir diperbolehkan ketika mendapati musibah dan cobaan, namun jangan sekali-kali berdalih dengan takdir dalam hal perbuatan dosa dan kesalahan. Setiap manusia tidak boleh memasrahkan diri kepada takdir tanpa melakukan usaha apa pun, karena hal ini akan menyelisihi sunnatullah. Oleh karena itu berusahalah semampunya, kemudian bertawakkallah.

Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

وتوكل على الله ۚ إنه هو السميع العليم

“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Anfaal: 61)

ومن يتو كل على الله فهو حسبه

“Barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaq: 3)

Dan jika kita mendapatkan musibah atau cobaan, janganlah berputus asa dari rahmat Allah dan janganlah bersungut-sungut, tetapi bersabarlah. Karena sabar adalah perisai seorang mukmin yang dia bersaudara kandung dengan kemenangan. Ingatlah bahwa musibah atau cobaan yang menimpa kita hanyalah musibah kecil, karena musibah dan cobaan terbesar adalah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam sabdanya,

إذا أصاب أحدكم مصيبة فليذكر مصيبة بى, فإنها من أعظم المصائب

“Jika salah seorang diantara kalian tertimpa musibah, maka ingatlah musibah yang menimpaku, sungguh ia merupakan musibah yang paling besar.”
(Shahih li ghairih, riwayat Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat (II/375), Ad-Darimi (I/40))

Apabila hati kita telah yakin dengan setiap ketentuan Allah, maka segala urusan akan menjadi lebih ringan, dan tidak akan ada kegundahan maupun kegelisahan yang muncul dalam diri kita, sehingga kita akan lebih semangat lagi dalam melakukan segala urusan tanpa merasa khawatir mengenai apa yang akan terjadi kemudian. Karena kita akan menggenggam tawakkal sebagai perbekalan ketika menjalani urusan dan kita akan menghunus kesabaran kala ujian datang menghadang.
Wallahu Ta’ala a’lam wal musta’an.

Penulis: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar

Maraji’:
Al-Iqtishaad fil I’tiqaad, karya Imam Ibnu Qudamah, cetakan Maktabah Al-’Uluum wal Hikam.
Al-Wajiz fii ‘Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah (Edisi Indonesia: Panduan ‘Aqidah Lengkap), karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid Al-Atsari, cetakan Pustaka Ibnu Katsir.
‘Aqidatus Salaf Ash-habul Hadiits (Edisi Indonesia: ‘Aqidah Salaf Ash-habul Hadits), karya Syaikh Abu Isma’il Ash-Shabuni, cetakan Pustaka At-Tibyan.
‘Aqidah Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karya Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
At-Ta’liqat Al-Mukhtasharah ‘Ala Matni Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah (Edisi Indonesia: Penjelasan Ringkas Matan Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah), karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, cetakan Pustaka Sahifa.
At-Tawakkul ‘alallaahi Ta’aalaa (Edisi Indonesia: Hidup Tentram dengan Tawakkal), karya Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar Ad-Duwaiji, cetakan Pustaka Ibnu Katsir.
Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari, karya Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, cetakan Darul Hadits.
Fathul Majid Syarah Kitaabut Tauhid (Edisi Indonesia: Fathul Majid), karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, cetakan Pustaka Sahifa.
Meniru Sabarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Edisi Terjemah), karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cetakan Pustaka Darul Ilmi.
Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cetakan Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Syarah Lum’atul I’tiqad (Edisi Indonesia: Wahai Saudaraku, Inilah ‘Aqidahmu), karya Syaikh Muhammad bin Utsaimin, cetakan Pustaka Ibnu Katsir.
Syarah Ushulil I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, karya Imam Al-Hafizh Al-Laalikai, cetakan Darul Hadits.
Ushulus Sunnah (Edisi Indonesia: ‘Aqidah Shahih Penyebab Selamatnya Seorang Muslim), karya Al-Hafizh Abu Bakar Al-Humaidi, cetakan Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Ushulus Sunnah (Edisi Indonesia: Ushulus Sunnah), karya Imam Ahmad bin Hambal, cetakan Pustaka Darul Ilmi.

***
Artikel muslimah.or.id
Selengkapnya...