”Yaa muqallibal qulub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika”

”Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu”

Aamiin...

(Hadist Riwayat at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Hakim dishahihkan oleh adz-Dzahabi)

Selasa, 24 April 2012

Yang Seharusnya Diucapkan Ketika Melihat Sesuatu yang Menakjubkan




الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على خاتم الأنبياء والمرسلين وعلى آله وصحبه أجمعين ...أما بعد
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :

العين حق ولو كان شيء سابق القدر سبقته العين

“’Ain itu haq dan seandainya ada sesuatu yang mendahului takdir maka ‘ain-lah yang mendahuluinya’.[1]

Dan Nabi ‘alaihish-shalaatu wa sallam telah memberikan petunjuk kepada jalan yang paling ideal untuk mencegah kejahatan ‘ain ketika seorang manusia melihat sesuatu yang membuatnya takjub. Dan kami akan menyebutkan jalan keluar ini, setelah kami sebutkan kesalahan yang terjadi pada kebanyakan manusia pada hari ini. (Yaitu) ketika melihat sesuatu yang membuatnya takjub, maka mereka bersegera untuk mengucapkan beberapa perkataan, diantaranya :

a. Maa syaa-Allah.
b. Tabaarakallaah.
c. Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad.
d. Maa syaa-Allah laa quwwata illaa billah.
e. Tabaarakar-Rahmaan.

Semua perkataan ini tidaklah benar penggunaannya untuk menolak kejahatan ‘ain. Ibnu Maajah meriwayatkan dari Abu Umaamah bin Sahl bin Hunaif, ia berkata :

مر عامر بن ربيعة بسهل بن حنيف ، وهو يغتسل فقال : لم أر كاليوم ، ولا جلد مخبأة فما لبث أن لبط به ، فأتي به النبي صلى الله عليه وسلم فقيل له : أدرك سهلا صريعا ، قال " من تتهمون به " قالوا عامر بن ربيعة ، قال : " علام يقتل أحدكم أخاه ، إذا رأى أحدكم من أخيه ما يعجبه ، فليدع له بالبركة " ثم دعا بماء ، فأمر عامرا أن يتوضأ ، فغسل وجهه ويديه إلى المرفقين ، وركبتيه وداخلة إزاره ، وأمره أن يصب عليه

“‘Aamir bin Rabii'ah pernah melewati Sahl bin Hunaif, dan dia waktu itu sedang mandi. Maka Aamir berkata : ‘Aku belum pernah melihat sesuatu seperti hari ini, dan tidak pula kulit seorang gadis yang dipingit. Tidak lama kemudian Sahl terjatuh. Kemudian dia dibawa kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu dikatakan kepada beliau : “Sahl telah terjatuh/pingsan”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Siapakah diantara kalian yang patut disalahkan/dicurigai dengan hal ini?”. Mereka menjawab : “’Aamir bin Rabii'ah”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Atas dasar apa salah seorang dari kalian ingin membunuh saudaranya?. Jika salah seorang diantara kalian melihat sesuatu yang menakjubkan dari saudaranya, hendaklah ia doakan baginya dengan keberkahan”. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam minta diambilkan air, dan memerintahkan ‘Aamir bin Rabii'ah untuk berwudhu. Lalu ia (‘Aamir) pun membasuh wajahnya, kedua tangannya sampai kedua siku, kedua lututnya, dan bagian dalam sarungnya. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya air bekas wudlunya tersebut untuk dinyiramkan kepada Sahl”.
Aku (Penulis) katakan : Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan arahan pada siapa saja yang melihat sesuatu yang membuatnya takjub agar mendoakan baginya keberkahan. Al-Munaawiy berkata :

بأن يقول اللهم بارك فيه

“Yaitu agar berkata : Allaahumma baarik fiihi (Ya Allah berikanlah keberkahan padanya)”.

Jika telah tetap bagi seseorang melihat sesuatu yang membuatnya takjub untuk mendoakan keberkahan baginya (yang dilihat); maka menjadi jelas tanpa keraguan sedikitpun bahwa segala hal yang keluar/terucap dari lisan-lisan kebanyakan manusia dari bentuk yang dimaksudkan darinya untuk mencegah gangguan ‘ain adalah bentuk yang salah yang tidak memiliki dalil atasnya.

Dan perkataan-perkataan yang kami sebutkan semuanya adalah perkataan pujian kepada Allah subhaanahu. Bukan doa keberkahan sebagaimana yang disunnahkan. Maka perkataan Tabaarakallahu atau Tabaarakarrahmaan adalah perkataan untuk memuji Allah Yang Maha Tinggi. Adapun perkataan Maa sya-Allah – yaitu : apa saja yang dikehendaki Allah - dan perkataan shalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam; tidak ada muatan padanya doa barakah. Dan yang semisal dengan ini, dikatakan dalam kalimat tauhid.
Perkataan Maa syaa Allah Laa quwwata illa billah, maka itu terambil dari firman Allah ta’ala dalam surat Al-Kahfi : :

إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ...

“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu "MAA SYAA ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAH" (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)....”.

Tidak ada dalam kalimat tersebut yang menunjukkan bahwa orang tersebut mengatakannya (maa syaa allah laa quwwata illaa billah) untuk tidak hasad dan tidak menimpakan ‘ain kepada kebunnya. Akan tetapi tujuan hanyalah untuk memberitahukan bahwa nikmat dan kebaikan yang ada di dalamnya, berasal dari Allah, dan agar tidak menipu dirinya sendiri serta menyangka bahwa dialah yang memberikan kebaikan tersebut pada dirinya sendiri. Berkata Al-Imaam Al Qurthuubiy :

لا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ" أي ما اجتمع لك من المال فهو بقدرة الله تعالى وقوته لا بقدرتك وقوتك

“Laa quwwata illaa billah, maksudnya : semua harta yang terkumpul padamu, maka hal tersebut karena kekuasaan dan kekuatan Allah ta’ala. Bukan karena kekuasaan dan kekuatanmu” [selesai].

Dan meskipun perkataan-perkataan ini adalah perkataan yang diberkahi, akan tetapi tidaklah cocok maksudnya sebagaimana mendoakan keberkahan kepada sesuatu yang manusia terkagum dengannya, dan takut menjadi hasad terhadap hal tersebut.
Dan di dalam hadits yang telah kita lewati, jalan yang disyari'atkan untuk mengobati ‘ain adalah dengan berwudhu, lalu membasuh wajah, kedua tangan sampai siku, kedua lututnya, dan bagian dalam sarungnya, kemudian mengambil air wudhu tersebut dan menuangkannya pada orang yang tertimpa ‘ain.
Telah berkata Al-Imaam Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullaahu ta’ala :

وفي حالة وقوعها(أي الإصابة بالعين) تستعمل العلاجات الشرعية وهي :
القراءة : فقد قال النبي صلى الله عليه وسلم : "لا رقيه إلا من عين أو حمة" . وقد كان جبريل يرقي النبي ، صلى الله عليه وسلم فيقول: "باسم الله أرقيك، من كل شيء يؤذيك ، من شر كل نفس أو عين حاسد ، الله يشفيك ، باسم الله أرقيك".
الاستغسال: كما أمر به النبي ، صلى الله عليه وسلم ، عامر بن ربيعة في الحديث السابق ثم يصب على المصاب.
أما الأخذ من فضلاته العائدة من بوله أو غائطه فليس له أصل، وكذلك الأخذ من أثره ، وإنما الوارد ما سبق من غسل أعضائه وداخلة إزاره ولعل مثلها داخلة غترته وطاقيته وثوبه والله أعلم.

“Dan dalam keadaan jika terjadi ‘ain, obat yang disyari'atkan untuk digunakan adalah :

1. Membaca doa.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Tidak ada ruqyah melainkan jika terkena ‘ain atau bisa". Dahulu malaikat Jibril meruqyah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka Jibril mengatakan : Bismillaah urqiika min kulli syai'in yu’dziika, min syarri kulli nafsin au ‘ainin haasidin, Allahu yasyfiika, bismillah urqiika (Dengan menyebut nama Allah aku meruqyahmu dari segala sesuatu yang menganggumu, dan dari kejahatan setiap jiwa, atau kejahatan ‘ain yang hasad, semoga Allah menyembuhkanmu, dengan menyebut nama Allah aku meruqyahmu).

2. Mandi.
Sebagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ‘Aamir bin Rabii'ah dalam hadits yang terdahulu, kemudian menuangkannya pada orang yang tertimpa ‘ain.
Adapun mengambil dari sisa-sisa yang didapat dari air seninya, atau kotorannya, maka yang demikian tidak ada asalnya. Begitu juga mengambil dari bekas-bekas peninggalannya (itu juga tidak ada asalnya). Akan tetapi yang ada riwayatnya hanyalah sebagaimana yang telah lewat, yaitu dengan membasuh anggota tubuhnya dan bagian dalam sarungnya. Dan yang semisal dengannya adalah bagian dalam gutrah-nya, tutup kepalanya, dan pakaiannya. Wallaahu a’lam” [selesai].
Dan pencegah-pencegah ‘ain yang disebutkan di atas tidaklah mengapa dan tidak menghilangkan tawakkal, bahkan itulah tawakkal. Karena sesungguhnya tawakkal adalah bersandar pada Allah subhaanahu, dengan melakukan sebab-sebab yang Allah bolehkan atau perintahkan dengannya. Dan dahulu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melindungi Al-Hasan dan AlHusain dengan mengatakan :

أعيذكما بكلمات الله التامة من كل شيطان وهامة ، ومن كل عين لامة" ويقول : هكذا كان إبراهيم يعوذ إسحاق وإسماعيل عليهما السلام

“Saya meminta perlindungan (kepada Allah) untuk kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari semua syaithaan dan binatang yang berbahaya, dan dari semua ‘ain yang jahat”.

Dan beliau berkata : Begitu juga dulu Nabi Ibraahiim melindungi Ishaaq dan Ismaa'iil ‘alaihimas-salaam [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy].
Dengan tulisan ini, sampailah tujuan apa yang ingin dikatakan, yaitu memberikan petunjuk kaum muslimin untuk menggunakan bentuk (lafadh) yang syar'ii ketika melihat sesuatu yang membuat mereka kagum sehingga mereka tidak mengganggu/menyakiti saudara-saudara mereka yang muslim. Dan kepada orang yang memberikan ‘ain, untuk saling tolong-menolong dengan orang yang tertimpa ‘ain atau keluarganya jika diminta darinya untuk mandi.

[diterjemahkan oleh Abou Saleemah dari http://www.4salaf.com/vb/showthread.php?t=19302, dengan sedikit editing dari Aboul-Jaoezaa’].

[1] Diriwayatkan oleh Muslim.

http://abul-jauzaa.blogspot.com
Selengkapnya...

Subhanallah atau Masya Allah, Kadang Suka Terbalik!?



Subhanallah atau Masya Allah

Ungkapan Subhaanallah dianjurkan setiap kali seseorang melihat sesuatu yang tidak baik, dan dengan ucapan itu kita menetapkan bahwa Allah Maha Suci dari semua keburukan tersebut.

Kebalikannya dari ucapan Maasya Allah, yang diucapkan bila seseorang melihat yang indah-indah. Penggunaan kedua kalimat ini di tengah masyarakat Islam tanah air kerap terbalik-balik, kecuali pada sebagian orang yang mengerti ajaran Sunnah ini. Wallahu’alam

Footnote: Ustadz Abu Umar Basyier di Buku Prahara Cinta hal. 173, Penerbit: Shafa Publika

http://moslemsunnah.wordpress.com Selengkapnya...

Apa Hukum Mitoni (Selamatan Kehamilan)?



Pertanyaan:

Apakah ada dasar hukum selamatan kehamilan, seperti 3 bulanan atau 7 bulanan (bahasa Jawa: Mitoni). Pada acara tersebut juga disertai dengan pembacaan diba’. Terus terang sata belum pernah membaca riwayat tentang selamatan seperti di atas pada masa Rasulullah. Mohon penjelasannya.

Cahyo.Prasongko@XXXX


Jawaban:

Selamatan kehamilan, seperti 3 bulanan atau 7 bulanan, tidak ada dalam ajaran Islam. Itu termasuk perkara baru dalam agama, dan semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan.”
(HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah)

Kemudian, jika selamatan kehamilan tersebut disertai dengan keyakinan akan membawa keselamatan dan kebaikan, dan sebaliknya jika tidak dilakukan akan menyebabkan bencana atau keburukan, maka keyakinan seperti itu merupakan kemusyrikan. Karena sesungguhnya keselamatan dan bencana itu hanya di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.Allah berfirman:

قُلْ أَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ مَا لاَ يَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلاَ نَفْعًا واللهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَليِمُ

“Katakanlah: “Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfa’at?” Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al Maidah: 76)

Demikian juga dengan pembacaan diba’ pada saat perayaan tersebut, ataupun lainnya, tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam. Karena pada di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, diba itu tidak ada. Diba’ yang dimaksudkan ialah Maulid Ad Daiba’ii, buku yang berisi kisah kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan pujian serta sanjungan kepada Beliau. Banyak pujian tersebut yang ghuluw (berlebihan, melewati batas). Misalnya seperti perkataan:

فَجْرِيُّ الْجَبِيْنِ لَيْلِيُّ الذَّوَآئِبِ * اَلْفِيُّ الْأََنْفِ مِيْمِيُّ الْفَمِ نُوْنِيُّ الْحَاجِبِ *سَمْعُهُ يَسْمَعُ صَرِيْرَ الْقَلَمِ بَصَرُهُ إِليَ السَّبْعِ الطِّبَاقِ ثَاقِبٌ

*Dahi Beliau (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) seperti fajar, rambut depan Beliau seperti malam, hidung Beliau berbentuk (huruf) alif, mulut Beliau berbentuk (huruf) mim, alis Beliau berbentuk (huruf) nun, pendengaran Beliau mendengar suara qolam (pena yang menulis taqdir), pandangan Beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi). (Lihat Majmu’atul Mawalid, hlm. 9, tanpa nama penerbit. Buku ini banyak dijual di toko buku-toko buku agama).

Kalimat “pendengaran Beliau mendengar suara qolam (pena yang menulis taqdir)”, jika yang dimaksudkan pada saat mi’raj saja, memang benar, sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits-hadits tentang mi’raj. Namun jika setiap saat, maka ini merupakan kalimat yang melewati batas. Padahal nampaknya, demikian inilah yang dimaksudkan, dengan dalil kalimat berikutnya, yaitu kalimat “pandangan Beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi)”. Dan kalimat kedua ini juga pujian ghuluw (melewati batas). Karena sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui perkara ghaib. Yang mengetahui perkara ghaib hanyalah Allah Azza wa Jalla. Allah berfirman:

قُل لاَّ يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (Qs. An Naml: 65)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah menerima tuduhan keji pada peristiwa “haditsul ifk”. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui kebenaran tuduhan tersebut, sampai kemudian turun pemberitaan dari Allah dalam surat An Nuur yang membersihkan ‘Aisyah dari tuduhan keji tersebut. Dan buku Maulid Ad Daiba’ii berisi hadits tentang Nur (cahaya) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang termasuk hadits palsu.Dalam peristiwa Bai’atur Ridhwan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui hakikat berita kematian Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, sehingga terjadilah Bai’atur Ridhwan. Namun ternyata, waktu itu Utsman radhiyallahu ‘anhu masih hidup. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk mengumumkan:

قُل لآأَقُولُ لَكُمْ عِندِى خَزَآئِنُ اللهِ وَلآأَعْلَمُ الْغَيْبَ

“Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib.” (Qs. Al An’am: 50)

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bagaimana mungkin seseorang boleh mengatakan “pandangan Beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi)”?Semoga jawaban ini cukup bagi kita. Kesimpulan yang dapat kita ambil, bahwa selamatan kehamilan dan pembacaan diba’ termasuk perbuatan maksiat, karena termasuk bid’ah.

Sumber: bukhari.or.id
http://konsultasisyariah.com
Selengkapnya...