”Yaa muqallibal qulub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika”

”Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu”

Aamiin...

(Hadist Riwayat at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Hakim dishahihkan oleh adz-Dzahabi)

Selasa, 22 November 2011

Apa Benar Tape Itu Termasuk Alkohol?



Apa hukum makan tape (ketan atau singkong), karena di dalamnya ada alkohol?

Jawaban:

Tape halal, tidak ada yang perlu dirumitkan dalam masalah ini, karena yang diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makanan dan minuman yang memabukkan, dan pengertian memabukkan adalah yang menghilangkan akal disebabkan oleh makanan atau minuman tersebut. Oleh karenanya, jika makanan tersebut dikonsumsi dengan banyak lalu memabukkan, maka mengkonsumsinya meski sedikit pun menjadi haram, berdasarkan sabda Rasulullah,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَا أَسْكَرَ مِنْهُ الْفَرْقُ فَمِلْءُ الْكَفِّ مِنْهُ حَرَامٌ

“Dari Aisyah, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Setiap yang memabukkan itu haram, dan kalau (minum) satu gentong itu memabukkan, maka meminum satu ciduk tangan pun haram.’” (Hr. Abu Daud: 3587, Tirmizi: 1928, dengan sanad shahih)

Dengan ini, maka illat dan patokannya adalah apakah makanan atau minuman tersebut memabukkan ataukah tidak. Kalau memabukkan berarti haram, sedangkan kalau tidak, berarti halal. Bukan karena ada unsur alkohol ataukah tidak, karena makanan yang mengandung unsur alkohol tidak hanya tape, tetapi juga beberapa buah-buahan, seperti durian, juga minuman yang diambil dari buah pohon siwalan (legen, dalam bahasa Jawa). Bahkan, nasi pun mengandung unsur alkohol.

Namun ada dua hal yang perlu diingat:

Harap dibedakan antara memabukkan (hilang akal) dengan sakit mabuk karena makan makanan tertentu. Bisa saja sebuah makanan menyebabkan sakit bila dikonsumsi, mungkin karena berlebihan atau mungkin karena alergi. Namun, ini bukan termasuk makanan yang memabukkan karena memabukkan adalah menghilangkan akal.
Patokan apakah makanan atau minuman itu memabukkan ataukah tidak adalah jika makanan tersebut dikonsumsi oleh orang yang belum pernah minum minuman keras, bukan orang yang sudah biasa teler karena sering minum minuman keras. Wallahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali pada Majalah Al-Furqon, edisi 12, tahun ke-7, 1430 H/2009 M.

(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa dan aksara oleh redaksi KonsultasiSyariah.com)

sumber : http://konsultasisyariah.com/
Selengkapnya...

Berilah Hadiah



Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Saling memberi hadiah adalah hal yang mestinya dibiasakan. Namun demikian hal itu mesti diselaraskan dengan syariat. Tidak memberikan kepada lawan jenis jika tidak aman dari fitnah. Tidak pula memberikannya karena dikaitkan dengan perayaan tertentu yang merupakan budaya non-Islam seperti ulang tahun, Valentine’s Day, dan sebagainya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

تَهَادُوْا تَحَابُّوْا

“Saling menghadiahilah kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 594, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1601)

Hadits yang mulia di atas menunjukkan bahwa pemberian hadiah1 akan menarik rasa cinta di antara sesama manusia, karena tabiat jiwa memang senang terhadap orang yang berbuat baik kepadanya. Inilah sebab disyariatkannya memberi hadiah. Dengannya akan terwujud kebaikan dan kedekatan. Sementara agama Islam adalah agama yang mementingkan kedekatan hati dan rasa cinta. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

“Ingatlah nikmat Allah kepada kalian, ketika sebelumnya (di masa jahiliah) kalian saling bermusuhan lalu ia menjinakkan (mempersaudarakan) hati-hati kalian maka kalian pun dengan nikmat-Nya menjadi orang-orang yang bersaudara.” (Ali ‘Imran: 103) [Taudhihul Ahkam, 5/127, 128]

Hadiah menumbuhkan cinta yang berarti akan mengusir kebencian, permusuhan, dan kedengkian di dalam hati. Ada hadits yang datang dalam hal ini namun sangat disayangkan haditsnya lemah berikut seluruh syawahid-nya, yaitu hadits:

تَهَادُوْا، فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تَُذْهِبُ بِالسَّخِيمَةِ

“Saling menghadiahilah kalian karena sesungguhnya hadiah itu akan mencabut/menghilangkan kedengkian.” (HR. Ibnu Mandah, lihat pembahasannya dalam Irwa`ul Ghalil, 6/45, 46)

Memberi Hadiah kepada Sesama Wanita

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi sa sallam kepada para wanita:

يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لاَ تُحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ

“Wahai wanita-wanita muslimah, jangan sekali-kali seorang tetangga menganggap remeh untuk memberikan hadiah kepada tetangganya walaupun hanya sepotong kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 2376)

Hadits di atas berisi hasungan untuk melakukan kebajikan sebagai salah satu akhlak kaum muslimin dan muslimat, di mana merekalah yang sepantasnya mempunyai sifat yang mulia ini. Sebagaimana hadits ini juga menunjukkan keutamaan memberikan hadiah kepada sesama, dan ada keterangan tentang hak tetangga yang harus diperlakukan dengan baik. Sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi sa sallam berpesan kepada Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu:

يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ

“Wahai Abu Dzar, bila engkau memasak makanan berkuah maka perbanyaklah air/kuahnya dan berikanlah kepada tetanggamu.” (HR. Muslim no. 6631)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu menyatakan bahwa hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas memberikan isyarat ditekankannya memberikan hadiah walaupun dengan sesuatu yang sedikit/kecil, dan ditekankannya menerima pemberian/hadiah walaupun sedikit/tidak berarti. (Fathul Bari 5/244, 245)

Dalam hadits ini terdapat bimbingan:
Pertama: kepada si pemberi/pihak yang menghadiahkan, janganlah menahan diri untuk memberi hadiah kepada tetangganya karena menganggap kecil dan remeh hadiah yang akan diberikan. Sedikit lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Jangan ia menganggap tiada berarti apa yang ada pada dirinya. Bahkan hendaknya ia menghadiahkan apa yang mudah baginya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ

Siapa yang mengerjakan kebaikan walau seberat dzarrah (semut yang sangat kecil) niscaya nanti ia akan melihat (balasan)nya. (Al-Zalzalah: 7)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ

“Maka jagalah diri kalian dari neraka walaupun dengan bersedekah sepotong belahan kurma.” (HR. Al-Bukhari no. 6539 dan Muslim no. 2345)

Perlu diketahui, maksud dari hadiah itu adalah pengaruhnya secara maknawi, bukan materi dan manfaatnya secara material semata. Sungguh yang namanya hadiah walaupun kecil/sedikit akan dapat menumbuhkan cinta dan persaudaraan.

Al-Hafizh rahimahullahu dalam Fathul Bari menyebutkan hadits Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani:

يَا نِسَاءَ الْمُؤْمِنِيْنَ، تَهَادُوْا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ, فَإِنَّهُ يُنْبِتُ الْمَوَدَّةَ وَيُذْهِبُ الضَّغَائِنَ

“Wahai wanita-wanitanya kaum mukminin, saling menghadiahilah kalian walaupun hanya dengan sepotong kaki kambing, karena yang demikian itu akan menumbuhkan rasa cinta dan menghilangkan kedengkian.”

Kedua: Bagi yang dihadiahi sepantasnya menerima hadiah yang diberikan tetangganya tersebut dan jangan menganggapnya remeh. (Al-Minhaj 7/121, Fathul Bari 5/245, Subulus Salam 5/241)

Memberi Hadiah kepada Lawan Jenis

Seorang wanita dibolehkan memberi dan menerima hadiah dari laki-laki yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya, dengan catatan apabila aman dari fitnah2. Hal ini tidaklah bertentangan dengan kisah yang disebutkan dalam Al-Qur`anul Karim tentang Ratu negeri Saba` dengan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Dikisahkan, ratu ini berkata kepada kaumnya:

وَإِنِّي مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِمْ بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ

“Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.” (An-Naml: 35)

Ternyata hadiah dari sang ratu ditolak oleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam:

فَلَمَّا جَاءَ سُلَيْمَانَ قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ فَمَا ءَاتَانِيَ اللَّهُ خَيْرٌ مِمَّا ءَاتَاكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُونَ

“Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata, ‘Apakah patut kalian menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepada kalian, tetapi kalian merasa bangga dengan hadiah kalian’.” (An-Naml: 36)

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam menolak hadiah Ratu Saba’ karena hadiah tersebut merupakan sogokan agar Nabi Sulaiman ‘alaihissalam membiarkan keberadaan kerajaan Ratu Saba’ berikut kebiasaan mereka menyembah matahari.

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi sa sallam menerima hadiah dan membalasnya, namun beliau tidak menerima sedekah. Demikian pula Nabi Sulaiman dan seluruh para nabi, shalawat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka semuanya. Adapun penolakan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam terhadap hadiah yang diberikan Balqis3 (Ratu Saba`, pent.) karena Balqis menjadikan penerimaan dan penolakan hadiah tersebut sebagai tanda terhadap apa yang ada dalam jiwanya berdasarkan apa yang kita telah sebutkan. Yakni, ia ingin menguji apakah Sulaiman seorang raja ataukah seorang nabi. Karena dalam suratnya Nabi Sulaiman ‘alaihissalam menyatakan kepada sang ratu:

أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ

“Janganlah kalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kalian kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (An-Naml: 31)

Dalam perkara seperti ini tentunya tidak diterima tebusan dan tidak pula hadiah. Sehingga dalam keadaan ini bukanlah sama sekali termasuk bab/pembahasan keharusan menerima hadiah seperti yang ditetapkan oleh syariat. Namun ini merupakan sogokan dan menjual kebenaran dengan kebatilan. Ini adalah sogokan yang tidak halal (sehingga harus ditolak, pent.)….” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 13/132)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan:

أَهْدَتْ خَالَتِي أُمُّ حُفَيْدٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمْنًا وَأَقِطًا وَأَضُبًّا، فَأَكَلَ مِنَ السَّمْنِ وَالْأَقِطِ وَتَرَكَ اْلضَّبَّ تَقَذُّرًا. وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Bibiku Ummu Hufaid menghadiahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mentega, keju, dan dhab (sejenis biawak yang hidup di padang pasir, pent.). Maka beliau memakan mentega dan keju serta meninggalkan (tidak memakan) dhab karena tidak suka. Dhab tersebut disantap (dihidangkan dan dimakan oleh yang lain, pent.) di atas tempat hidangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya dhab itu haram, niscaya tidak akan disantap di atas tempat hidangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam4.” (HR. Al-Bukhari no. 2575 dan Muslim no. 5013)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya seorang wanita memberikan hadiah kepada laki-laki dan diperkenankannya menerima hadiah tersebut.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

أُتِيَ النَّبِيُّ n بِلَحْمٍ, فَقِيْلَ: تُصُدِّقَ عَلَى بَرِيْرَةٍ. قَالَ: هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ

Didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam daging, lalu dikatakan, “Daging ini disedekahkan untuk Barirah.” Beliau menjawab, “Untuk Barirah ini sedekah, tapi bagi kita ini hadiah.” (HR. Al-Bukhari no. 2577)

Dalam riwayat Muslim (no. 2482) disebutkan:

أَهْدَتْ بَرِيْرَةُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَحْمًا تُصُدِّقَ بِهِ عَلَيْهَا, فَقَالَ: هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ

Barirah menghadiahi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam daging yang disedekahkan kepadanya. Maka Nabi mengatakan, “Untuk Barirah ini sedekah, tapi bagi kita ini hadiah.”

Diberitakan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ، سَأَلَ عَنْهُ: أَهَدِيَّةٌ أَمْ صَدَقَةٌ؟ فَإِنْ قِيْلَ: صَدَقَةٌ. قَالَ لِأَصْحَابِهِ: كُلُوْا. وَلَمْ يَأْكُلْ، وَإِنْ قِيْلَ: هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بِيَدِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَكَلَ مَعَهُمْ.

Biasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila dihidangkan makanan, beliau menanyakannya, “Apakah makanan ini hadiah ataukah sedekah?” Bila dijawab, “Sedekah”, beliau mempersilakan kepada para sahabatnya, “Makanlah kalian.” Sementara beliau sendiri tidak memakannya. Bila dijawab, “Hadiah”, beliau dengan segera memakannya bersama para sahabatnya. (HR. Al-Bukhari no. 2576)

Hadits ini secara umum menunjukkan bolehnya menerima hadiah dari siapa saja, baik dari wanita ataupun lelaki, dari anak kecil ataupun orang dewasa. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika diberitahu bahwa makanan yang disajikan itu hadiah, beliau tidak bertanya lebih lanjut, “Dari siapakah hadiah ini? Apakah dari wanita atau lelaki?”

Kebolehan memberi dan menerima hadiah dari lawan jenis, bila aman dari fitnah, juga ditunjukkan dalam hadits Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha ia berkata:

دَخَلَ النَّـبِيُّ n عَلَى عَائِشَةَ، فَقَالَ: عِنْدَ كُمْ شَيْءٌ؟ قَالَتْ: لاَ، إِلاَّ شَيْءٌ بَعَثَتْ بِهِ أُمُّ عَطِيَّةَ مِنَ الشَّاةِ الَّتـِي بَعَثْتَ إِلَيْهَا مِنَ الصَّدَقَةِ. قَالَ: إِنَّهُ قَدْ بَلَغَتْ مَحِلَّهَا

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat Aisyah lalu bertanya, “Apa kalian punya sesuatu yang bisa dimakan?” “Tidak ada,” jawab Aisyah, “Kecuali hanya daging kambing yang dikirimkan (dihadiahkan) Ummu ‘Athiyyah yang tadinya engkau kirimkan kepadanya sebagai daging sedekah.” Beliau menjawab, “Daging itu telah sampai pada tempatnya5.” (HR. Al-Bukhari no. 2579 dan Muslim no. 2487)

Tidak halal bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sedekah dan memakannya. Beda halnya dengan hadiah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerimanya karena dihalalkan bagi beliau. Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari istri beliau, Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa bila sedekah itu telah diambil oleh orang yang halal/dibolehkan untuk mengambilnya, kemudian orang tersebut ternyata memberikannya kepada orang lain sebagai hadiah atau menjualnya kepada orang lain, maka telah hilang dari benda/barang tersebut hukum sedekah. Sehingga dibolehkan bagi orang yang haram mengambil/makan dari harta sedekah untuk mengambil dan memanfaatkannya. (Fathul Bari, 5/253)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh putri beliau Fathimah radhiyallahu ‘anha untuk mengirimkan tirai/tabir pintunya sebagai hadiah kepada salah seorang sahabat beliau yang punya kebutuhan. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan:

أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهَا، وَجَاءَ عَلِيٌّ فَذَكَرَتْ لَهُ ذَلِكَ، فَذَكَرَهُ لِلنَّبِيِّ، قَالَ: إِنِّي رَأَيْتُ عَلَى بَابِهَا سِتْرًا مَوْشِيًّا. فَقَالَ: مَالِي وَلِلدُّنْيَا؟ فَأَتَاهَا عَلِيٌّ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهَا، فَقَالَتْ: لِيَأْمُرْنِي فِيْهِ بِمَا شَاءَ. قَالَ: تُرْسِلِيْ بِهِ إِلَى فُلاَنٍ، أَهْلِ بَيْتٍ فِيْهِمْ حَاجَةٌ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumah Fathimah, namun beliau tidak mau masuk ke dalam rumah putrinya ini. Setelahnya datanglah Ali, maka Fathimah menceritakan hal ini kepada suaminya. Ali pun menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam guna menanyakan sebabnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, “Aku melihat di atas pintu rumahnya ada tabir/tirai bergaris dengan beragam warna.” Beliau kemudian berkata, “Apa urusanku dengan dunia?” Ali menemui istrinya lalu menyampaikannya, maka Fathimah berkata, “Silakan beliau memerintahkan kepadaku sekehendak beliau sehubungan dengan tabir/tirai itu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberikan bimbingan, “Hendaknya Fathimah mengirimkan tabir/tirai itu kepada si Fulan, keluarga yang punya kebutuhan6.” (HR. Al-Bukhari no. 2613)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menerima hadiah dari seorang wanita Yahudi seperti dikabarkan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أَنَّ يَهُوْدِيَّةً أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُوْمَةٍ, فَأَكَلَ مِنْهَا. فَقِيْلَ: أَلاَ نَقْتُلُهَا؟ قَالَ: لاَ. فَمَا زِلْتُ أَعْرِفُهَا فِي لَهَوَاتِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Seorang wanita Yahudi datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa daging kambing yang beracun (sebagai hadiah untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi sa sallam ), beliau pun memakannya. (Ternyata kemudian diketahui daging itu beracun) maka dinyatakan kepada beliau, “Tidakkah kita bunuh wanita Yahudi itu?” Rasulullah melarang, “Jangan.” Kata Anas, “Aku terus menerus mengenali daging beracun itu pada anak lidah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al-Bukhari no. 2617 dan Muslim)

Sebagai akhir, yang semestinya diperhatikan dalam memberikan hadiah adalah seseorang hendaknya melihat keadaan orang yang akan diberikan hadiah agar hadiah tersebut berada pada tempat yang semestinya dan lebih bermanfaat bagi yang menerimanya. Seorang yang fakir diberikan hadiah yang bisa dimanfaatkannya dan bisa menolong penghidupan serta nafkahnya. Sementara orang yang berpunya diberi hadiah pula yang sesuai keadaannya seperti diberi minyak wangi dan semisalnya. Dengan demikian masing-masing diberikan yang sesuai dengan keadaannya. (Taudhihul Ahkam, 5/128)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan kaki:
1 Para fuqaha berkata, “Hadiah adalah sesuatu yang diberikan dengan maksud memuliakan dan menunjukkan kecintaan kepada orang yang dihadiahi.” (Taudhihul Ahkam 5/126, Fathul Bari 5/243)
2 Tentunya dengan penuh kehati-hatian. Jangan sampai hal itu menjadi sarana bagi setan untuk menyambung hubungan haram dengan lawan jenis. -ed
3 Tentang penamaan Ratu Saba` dengan Balqis, Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam salah satu majelisnya menyatakan hal itu tidak tsabit (yakni tidak shahih). Wallahu a’lam. -ed
4 Hadits ini merupakan dalil halalnya dhab.
5 Maksud beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Telah hilang dari daging tersebut hukum sedekah yang diharamkan bagiku dan sekarang daging itu telah menjadi halal bagiku karena keberadaannya kini sebagai hadiah.” (Fathul Bari, 5/252)

sumber : http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/
Selengkapnya...