”Yaa muqallibal qulub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika”

”Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu”

Aamiin...

(Hadist Riwayat at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Hakim dishahihkan oleh adz-Dzahabi)

Jumat, 04 Maret 2011

Mempertanyakan “Ngaji dengan Sururi”

Berikut ini adalah fatwa Syeikh Al Albani -rahimahullah- yang kami jumpai dalam buku Al As-ilah al Syamiyyah yang disusun oleh Syeikh Ali Al Halabi -hafizhohullah- halaman 38-41, terbitan al Dar al Atsariyyah, Yordania cetakan pertama tahun 1430 H atau 2009 M.

Tanya:

“Kami adalah sejumlah penuntut ilmu. Kami berkenalan dengan beberapa pemuda yang baik. Mereka memberikan kepada kami pengajian tentang akidah, fikih dan hal-hal yang kami butuhkan. Demikian berlangsung selama beberapa waktu lamanya hingga akhirnya sampailah sebuah isu bahwa sebagian mereka menyebut kami ‘sururi’ padahal kami tidak tahu siapa itu sururi dan apa makna dari sururi.

Akhirnya, kami merasa ragu-ragu dan kami merasa bahwa kami telah masuk ke dalam sebuah sistem. Demikian itu dikarenakan orang yang mengajari kami tersebut setelah pengajian selesai pergi dengan sangat sembunyi-sembunyi kemudian datang menemui kami dengan membawa berbagai perintah yang baru.

Sebenarnya kami merasa bosan dengan instruksi-instruksi tersebut yang bisa dipastikan menggunakan kalimat ‘Lakukanlah demikian’, ‘Jangan berbuat demikian’ dst.

Akhirnya keluhan kami sampai kepada mereka namun tentu kami tidak diperbolehkan untuk menentang ataupun mendiskusikan sebuah instruksi.

Kami mendengar bahwa mereka memakai baiat dan mereka itu mendakwahkan pemikiran sururi. Kami juga dikejutkan oleh kenyataan bahwa semua berita tentang kami baik masalah besar ataupun masalah kecil ternyata ada pada mereka.

Mereka juga ‘membicarakan’ para ulama yang telah dikenal semisal Ali al Halabi dan lainnya dan menuduh mereka telah melakukan pencurian ilmiah dst.

Kami ingin tahu tentang mereka, siapakah mereka? Bagaimanakah jalan mereka dalam beragama?

Jawaban Syeikh Muhammad Nashiruddin al Albani:

“Sururi adalah pengikut Muhammad bin Surur. Mereka adalah orang-orang yang terikat dengan sistem. Berdasarkan interaksiku dengan mereka, aku menilai mereka sebagai shufiyyah ‘ashriyyah (sufi masa kini).

Orang-orang sufi masa silam di hadapan guru-guru tarekat bagaikan budak. Oleh karena itu, guru tarekat menyebut orang-orang yang belajar tarekat dengan sebutan murid (yang artinya orang yang menginginkan ridha gurunya, pent).

Oleh sebab itu, orang-orang yang belajar tarekat tidak boleh melakukan aktivitas apapun tanpa seizin guru tarekatnya.
Di kota Damaskus terdapat pimpinan tarekat Naqsyabandiyyah bernama Syeikh Ahmad Kaftaru. Orang ini mendidik jamaah pengajiannya agar memiliki ketundukan sempurna dan membabi buta kepada sang guru. Anggota jamaah pengajiannya tidak boleh mengadakan perjalanan jauh sampai mendapatkan izin dari syeikh tersebut. Bahkan tidak boleh mengadakan bisnis apapun ataupun menikah kecuali dengan izin syeikh tersebut. Maka syeikh adalah segalanya untuk melakukan segalanya.

Adapun metode sembunyi-sembunyi yang anda sebutkan dalam pertanyaan anda maka dakwah dengan metode sembunyi-sembunyi itu tidak ada dalam Islam terlebih lagi di masa saat ini. Sekarang ini orang kafir menyampaikan kekafirannya dengan terang-terangan, lalu apa yang menghalangi kita untuk berdakwah dengan terang-terangan?!

ونصيحتي لهؤلاء أن لا يحضروا جلساتهم
وإن آنستم منهم رشدا و استفدتم منهم علما فصاحبوهم ولكن لا تتحزبوا معهم ولا تفتنوا بهم
وعليكم أن تحضروا الدروس عند من ترون فيهم اتباعا للكتاب والسنة فهو خير لكم – إن شاء الله –

Aku nasihatkan kepada para penuntut ilmu agar tidak mengikuti pengajian mereka (orang-orang sururi).

Namun jika kalian yakin dengan adanya kebenaran dari mereka dan kalian mendapatkan faidah berupa ilmu dari pengajian mereka maka kalian boleh berkawan dengan mereka namun jangan mau terikat hizbiyyah bersama mereka dan jangan terfitnah (baca:terkecoh) dengan mereka (sehingga akhirnya mengikuti kesesatan mereka, pent).

Kalian berkewajiban untuk menghadiri pengajian yang diberikan oleh orang-orang yang kalian nilai mengikuti al Qur’an dan sunnah. Itulah yang lebih baik bagi kalian, insya Allah.
Sampai di sini fatwa Syeikh Al Albani.

***

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari fatwa di atas:

Pertama:

Karena demikian mengikat gerak gerik anggota pengajiannya sengatlah tepat jika berbagai gerakan dakwah (baca: harokah) yang ada di medan dakwah saat ini disebut sebagai shufiyyah ‘ashriyyah.

Dalam dalam sufi, murid yang baik adalah murid yang memiliki ketaatan kepada guru sebagaimana ketaatan jenazah di hadapan orang-orang yang memandikannya. Sedangkan orang-orang yang terikat dengan berbagai berbagai gerakan dakwah saat ini akan dinilai sebagai anggota yang loyal ketika memiliki ketaatan yang membabi buta kepada amir, imam jamaah, qiyadah, naqib dan murabbi. Sehingga untuk menikah dengan perempuan yang sudah terikat dengan pengajian semacam ini langkah awalnya adalah meminta izin dan restu murabbi dulu baru datang ke orang tua si perempuan. Sungguh ini adalah suatu ajaran aneh yang tidak pernah dikenal oleh syariat.

Kedua:

Syeikh Al Albani membolehkan dengan bersyarat untuk bersahabat dan mengambil manfaat keilmuan dari orang sururi.

Bagaimana lagi jika guru ngaji tersebut cuma dituduh sururi padahal nyatanya bukan? Layakkah jika pengajiannya secara mutlak dilarang untuk diikuti?

“Berpikirlah yang jernih, wahai saudaraku. Lihatlah perbedaan antara fatwa orang yang berilmu dan fatwa orang yang merasa dirinya berilmu sungguh akan kita jumpai keutamaan ilmu.”

http://ustadzaris.com/