عن أبي هريرة قال: قال رسول الله : ((أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم وأفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة الليل)) رواه مسلم
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib (lima waktu) adalah shalat malam.’”[1]
Hadits yang mulia ini menunjukkan dianjurkannya berpuasa pada bulan Muharram, bahkan puasa di bulan ini lebih utama dibandingkan bulan-bulan lainnya, setelah bulan Ramadhan.[2]
Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:
- Puasa yang paling utama dilakukan pada bulan Muharram adalah puasa ‘Aasyuura’ (puasa pada tanggal 10 Muharram), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dan memerintahkan para sahabat radhiallahu ‘anhuma untuk melakukannya[3], dan ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang keutamaannya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa ini menggugurkan (dosa-dosa) di tahun yang lalu.”[4]
- Lebih utama lagi jika puasa tanggal 10 Muharram digandengankan dengan puasa tanggal 9 Muharram, dalam rangka menyelishi orang-orang Yahudi dan Nashrani, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disampaikan kepada beliau bahwa tanggal 10 Muharram adalah hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka beliau bersabda, “Kalau aku masih hidup tahun depan maka sungguh aku akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram).”[5]
- Adapun hadits “Berpuasalah pada hari ‘Aasyuura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya”[6], maka hadits ini lemah sanadnya dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dianjurkannya berpuasa pada tanggal 11 Muharram.[7]
- Sebagian ulama ada yang berpendapat di-makruh-kannya (tidak disukainya) berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai orang-orang Yahudi, tapi ulama lain membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandengkan dengan puasa sehari sebelumnya.[8]
- Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan puasa tanggal 10 Muharram adalah karena pada hari itulah Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis salam dan umatnya, serta menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya, maka Nabi Musa ‘alaihis salam pun berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada-Nya, dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu karena alasan ini, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kita lebih berhak (untuk mengikuti) Nabi Musa ‘alaihis salam daripada mereka.”[9] Kemudian untuk menyelisihi perbuatan orang-orang Yahudi, beliau menganjurkan untuk berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram.[10]
- Hadits ini juga menunjukkan bahwa shalat malam adalah shalat yang paling besar keutamaannya setelah shalat wajib yang lima waktu.[11]
Sebagai Motivasi
Semoga kita terdorong untuk melakukan puasa Asyura. Cukup ayat ini sebagai renungan. Allah Ta’ala berfirman,
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ
“(Kepada mereka dikatakan): "Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu".” (QS. Al Haqqah: 24)
Mujahid dan selainnya mengatakan, ”Ayat ini turun pada orang yang berpuasa. Barangsiapa meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena Allah, maka Allah akan memberi ganti dengan makanan dan minuman yang lebih baik, serta akan mendapat ganti dengan pasangan di akhirat yang kekal (tidak mati).”[25] Inilah balasan untuk orang yang gemar berpuasa.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Sumber :
http://manisnyaiman.com
http://rumaysho.com/
Penulis :
Ustadz Abdullah Taslim, M.A
Muhammad Abduh Tuasikal
Catatan Kaki :
[1] Hadits shahih riwayat Muslim (no. 1163).
[2] Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarhu Riyadhis Shalihin (3/341).
[3] Dalam hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 1900) dan Muslim (1130).
[4] Hadits shahih riwayat Muslim (no. 1162).
[5] Hadits shahih riwayat Muslim (no. 1134).
[6] Hadits riwayat Ahmad (1/241), al-Baihaqi (no. 8189) dan lain-lain, dalam sanadnya ada perawi yang bernama Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, dan dia sangat buruk hafalannya (lihat Taqriibut Tahdziib, hal. 493), oleh karena itu Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini lemah dalam Dha’iful Jaami’ (no. 3506).
[7] Lihat kitab Bahjatun Nazhirin (2/385).
[8] Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin rahimahullah dalam as-Syarhul Mumti’ (3/101-102).
[9] Semua ini disebutkan dalam hadits shahih riwayat al-Bukhari (3216) dan Muslim (1130).
[10] Lihat keterangan Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarhu Riyadhis Shalihin (3/412).
[11] Lihat kitab Bahjatun Nazhirin (2/329).
z