Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam kitab beliau, AL-Aqidah Al-Wasithiyyah,
“Dan telah kami sebutkan bahwasanya diantara unsur iman kepada Allah adalah mengimani berita yang Allah sampaikan melalui kitab-Nya, juga berita yang Allah sampaikan melalui sabda Rasul-Nya shallallahu’alaihi wasallam yang mutawatir dan berita-berita yang disepakati (kebenarannya) oleh para ulama terdahulu. Dan diantara (berita) tersebut menyebutkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala berada diatas langit, bersemayam diatas’Arsy-Nya dan tinggi diatas makhluk-Nya. Allah Subhanah senantiasa bersama makhluk-Nya dimanapun mereka berada dan mengetahui segala sesuatu yang mereka kerjakan. Sebagaimana hal ini Allah sebutkan dalam firman-Nya,
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Hadid :4)
Dan ayat ini (Allah bersama kalian dimanapun kalian berada) tidaklah bermakna Allah bercampur-baur dengan hamba-Nya. Karena makna seperti ini tidak bisa diterima dari sisi kaidah bahasa. Bahkan rembulan yang menjadi salah satu tanda atas kebesaran Allah, dimana ia adalah makhluk kecil diantara makhluk-makhluk ciptaan-Nya juga berada diatas langit. Ia pun selalu bersama dengan musafir maupun yang bukan musafir dimanapun mereka berada. Sementara Allah berada diatas ‘Arsy dan Dia juga dekat dengan hamba-Nya, senantiasa mengawasi, mengetahui apa yang mereka kerjakan dan sifat-sifat lainnya yang memiliki makna rububiyyah. Dan kalimat yang Allah sebutkan ini (yaitu Allah berada diatas ‘Arsy dan juga senantiasa bersama kita) adalah kalimat yang benar tidak perlu diselewengkan maknanya (kepada makna yang lain).”
***
Penjelasan:
Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah menjelaskan perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah diatas,
“Sang Penulis (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -pent) rahimahullah telah mengkhususkan dua pembahasan, yaitu bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy dan tentang kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya, dengan penjelasan yang mampu menghilangkan kejanggalan. Terkadang ada beberapa permasalahan yang tampaknya bertentangan antara kedua hal tersebut yang menyebabkan timbulnya kerancuan. Ada orang yang menyangka bahwa sifat tersebut merupakan sifat makhluk dan sesungguhnya Allah berada di tengah-tengah makhluk-Nya. Jika demikian, bagaimana mungkin Allah berada di atas makhluk-Nya, bersemayam di atas ‘Arsy namun Dia juga berada dekat dengan makhluk-Nya, tanpa adanya campur-baur?
Jawaban dari kerancuan ini -sebagaimana yang telah disebutkan oleh Penulis (Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah -pent) rahimahullah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang:
Sudut pandang pertama
Sesungguhnya pemahaman (yang keliru) semacam ini tidak sesuai dengan (kaidah) bahasa Arab yang dengan bahasa itulah Al-Quran diturunkan. Sesungguhnya, kata مع dalam bahasa Arab menunjukkan kebersamaan secara mutlak dan tidak menunjukkan makna adanya percampuran, tidak pula persekutuan, maupun persentuhan.
Engkau boleh saja mengatakan, “ زوجتي معي (Istriku ada bersamaku),” sedangkan engkau berada di sebuah tempat dan istrimu berada di tempat lain. Engkau juga boleh saja mengatakan, “ مازلنا نسير والقمر معنا” (Kami senantiasa berjalan sedangkan rembulan bersama kami)” padahal saat itu rembulan berada di langit dan engkau bersama dengan para musafir maupun yang bukan musafir di mana pun mereka semua berada.
Jika kalimat tersebut sesuai dengan hakikat rembulan sementara dia adalah makhluk yang kecil, maka bagaimana mungkin hakikat semisal itu (yaitu, tentang makna ma’iyyah/kebersamaan) tidak pantas diperuntukkan bagi Sang Khalik yang tentunya jauh lebih agung dibandingkan apa pun jua?
Sudut pandang kedua
Sesungguhnya pendapat ini (yang mengingkari bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy namun juga berada dekat dengan makhluk-Nya -pent) telah menyelisihi kesepakatan umat terdahulu dari kalangan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in, serta para tabi’ut tabi’in. Mereka semua adalah generasi terbaik umat ini sekaligus menjadi teladan. Ketiga generasi utama tersebut telah bersepakat bahwa sesungguhnya Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, berada tinggi di atas makhluk-Nya, di tempat yang benar-benar tinggi dari makhluk-Nya.
Mereka pun bersepakat bahwa sesungguhnya ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala berada bersama makhluk-Nya. Sebagaimana mereka menafsirkan firman Allah “وهو معكم (Dan Dia berada bersama kalian)” dengan penafsiran tersebut.
Sudut pandang ketiga
Sesungguhnya pendapat keliru tentang keberadaan Allah ini telah menyelisihi fitrah yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk makhluk-Nya yang Dia tancapkan dalam fitrah para makhluk-Nya. Maka, sungguh makhluk Allah telah dikaruniai fitrah untuk menetapkan ketetapan ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas makhluk-Nya. Makhluk Allah pun menghadapkan diri mereka kepada Allah, ke arah atas, di kala kesulitan dan bencana menimpa. Mereka tidak menghadap ke kanan maupun ke kiri, tanpa ada seorang pun yang mengajarkan mereka untuk melakukan itu, karena itu semua merupakan fitrah yang telah dikaruniakan Allah bagi makhluk-Nya.
Sudut pandang keempat
Sesungguhnya pendapat yang keliru tersebut telah menyelisihi berita yang disampaikan oleh Allah dalam kitab-Nya (yaitu Al-Quran, pent). Telah diriwayatkan pula secara mutawatir dari Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas ‘Arsy, berada tinggi di atas makhluk-Nya, dan Dia bersama dengan mereka di mana pun mereka berada.
Yang dimaksud dengan nash yang mutawatir adalah nash yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang diyakini tidak mungkin bersepakat untuk berdusta di antara mereka, dari periwayat pertama hingga periwayat terakhir. Ayat Al-Quran dan hadits tentang keberadaan Allah ini sangat banyak jumlahnya. Di antaranya adalah ayat yang telah disebutkan oleh Penulis (Ibnu Taimiyyah, pent) rahimahullah.
***
artikel muslimah.or.id
Diterjemahkan dari kitab Syarah Al-’Aqidah Al-Washithiyyah li Syeikhil Islam Ibni Taimiyyah, yang berisi penjelasan dari Syaikh Al-’Allamah Muhammad Khalil Haras, Syaikh Al-’Allamah Muhammad Ash-Shalih Al-Utsaimin, dan Syaikh Al-’Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, hlm. 456–457, cetakan Dar Ibnul Jauzi.
Penerjemah: Ummu Asiyah Athirah dan sedikit tambahan dari redaksi.
Murajaah: Ust Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal.
http://muslimah.or.id/
Selengkapnya...
Kamis, 30 Desember 2010
Jika Masih Ada yang Bertanya-tanya “Di manakah Allah”
Rabu, 29 Desember 2010
Setengah Iblis
Waspadalah akan manusia setengah Iblis
Tolak syariah bicara sok kritis
Sering dengan nada sinis
Sebut ukhti tekstualis
Padahal mereka cuma mengais
Dari sampah pikiran kafir najis
Mereka lancang bicara
Jilbab itu budaya…
Jadi cuma produk manusia
Tapi ukhti harus waspada
Karena itu hanya tipu daya belaka
Mereka sendiri malu pake koteka
Dengan nylekit
Mereka bilang ‘poligami amit-amit’
Hanya bikin hati sakit
Hasilnya, suami pergi tanpa pamit
Selingkuh pun terjadi tidak sedikit
Hingga perzinaan pun dilakukan di gang sempit
Mereka sibuk melombakan kefasikan
Mulai dari kontes ratu-ratuan
Obral aurat dijual murahan
Iman dan akhlak bukan ukuran
Layaknya di pasar hewan
Yang dinilai hanya keelokan dan kemontokan
[Disalin dari sebuah tulisan yang saya tidak tahu pasti siapa penulisnya, jazahullahu khoiron].
Artikel www.ustadzaris.com
Selengkapnya...
Selasa, 28 Desember 2010
Sahabatku … Semoga Engkau Mengetahui Hak-hak Ini
Saudaraku yang semoga dirahmati Allah. Sungguh persahabatan merupakan suatu karunia dari Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah yang artinya,“Lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara” (Ali Imron : 103). Ini adalah nikmat Allah yang sangat agung. Maka seharusnya kita menjaganya dengan memperhatikan hak-hak di antara sahabat. Pembahasan berikut, berisi sebagian hak-hak persahabatan yang seharusnya diperhatikan oleh orang-orang yang mengikat tali tersebut.
Bersahabatlah karena Allah
Ingatlah wahai saudaraku -semoga Allah menunujuki kita untuk taat kepada-Nya-, bahwa tujuan kita bersahabat adalah senantiasa untuk mengaharap ridho Allah Ta’ala. Dan janganlah sekali-kali persahabatan tersebut dijadikan untuk mendapatkan kepentingan dunia semata.
Persahabatan yang dilandaskan saling cinta karena Allah itulah yang akan mendapatkan manisnya iman, sebagaimana Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Ada tiga perkara yang apabila seseorang memilikinya akan mendapatkan manisnya iman, yaitu Allah dan Rosul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, dia mencintai seseorang tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah, dan dia tidak suka kembali kepada kekufuran setelah Allah membebaskan darinya sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam api.” (HR. Bukhari)
Di samping itu, persahabatan seperti inilah yang akan kekal hingga hari kiamat nanti, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Teman-teman akrab pada hari (kiamat) nanti sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.”(QS. Az Zukhruf : 67).
Imam Ibnu Katsir rohimahulloh mengatakan bahwa setiap persahabatan yang dilandasi cinta karena selain Allah, maka pada hari kiamat nanti akan kembali dalam keadaan saling bermusuhan. Kecuali persahabatannya dilandasi cinta karena Allah ‘azza wa jalla, inilah yang kekal selamanya. (Tafsir Ibnu Katsir)
Maka perhatikanlah wahai saudaraku, sudah benarkah niat kita dalam bersahabat?! Apakah persahabatan tersebut hanya untuk menyelesaikan urusan duniawi semata?!! Setelah urusan tersebut selesai, kita meninggalkan sahabat kita!! Ingatlah, persahabatan yang benar adalah persahabatan yang dilandasi cinta karena Allah, yaitu seseorang mencintai sahabatnya karena tauhid yang dia miliki, pengagungan dia kepada Allah, dan semangatnya dalam mengikuti sunnah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Berbuat Itsar-lah pada Sahabatmu
Di antara hak terhadap sesama yang dianjurkan adalah mendahulukan sahabatnya dalam segala keperluan (baca : itsar) dan perbuatan ini dianjurkan (mustahab).
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala yang artinya,”Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan” (QS. Al Hasyr : 9).
Kaum Anshor yang terlebih dahulu menempati kota Madinah, mereka mendahulukan saudara mereka dari kaum Muhajirin dalam segala keperluan, padahal mereka sendiri membutuhkannya.
Sungguh sangat menakjubkan, seorang sahabat Anshor yang memiliki dua istri ingin menceraikan salah satu istrinya. Kemudian setelah masa ‘iddahnya berakhir dia ingin menikahkannya dengan sahabatnya dari kaum muhajirin. Adakah bentuk itsar yang lebih daripada ini?!! (Aysarut Tafaasir, Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi)
Perbuatan itsar ini hanya berlaku untuk urusan duniawi (seperti mendahulukan saudara kita dalam makan dan minum). Sedangkan dalam masalah ketaatan (perkara ibadah), perbuatan ini terlarang. Karena maksud dari ibadah adalah pengagungan kepada Allah Ta’ala. Maka barangsiapa yang mendahulukan saudaranya dalam hal ini, berarti dia telah meninggalkan pengagungan terhadap Allah Ta’ala yang dia sembah. Oleh karena itu, kita tidak diperbolehkan mendahulukan saudara kita (itsar) untuk menempati shaf pertama dalam sholat berjama’ah, sedangkan kita di shaf belakang. (Lihat Al Wajiz fii Iidhohi Qowa’id Al Fiqhi Al Kulliyati)
Bantulah Sahabatmu yang Berada dalam Kesulitan
Misalnya ada saudara kita yang membutuhkan bantuan pinjaman uang. Maka berusahalah untuk menolongnya dengan memberi pinjaman hutang padanya. Karena pemberian hutang yang pertama kali merupakan kebaikan. Sedangkan pemberian hutang kedua kalinya adalah sedekah. Sebagaimana dalam hadits riwayat Ibnu Majah, Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Barangsiapa yang memberi hutang kepada saudaranya kedua kalinya, maka dia seperti bersedekah padanya.”
Jagalah Kehormatan Sahabatmu
Wahai saudaraku, jagalah kehormatan sahabatmu, karena Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda pada khutbah ketika haji Wada’ yang artinya,”Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram.” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Di antara bentuk menjaga kehormatan saudara kita adalah menjaga rahasianya yang khusus diceritakan pada kita. Rahasia tersebut adalah amanah dan kita diperintahkan oleh Allah untuk selalu menjaga amanah. Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Apabila seseorang membicarakan sesuatu padamu, kemudian dia menoleh kanan kiri, maka itu adalah amanah.”(HR. Abu Daud dalam sunannya). Perbuatan seperti ini saja dilarang, apalagi jika sahabatmu tersebut memintamu untuk tidak menceritakannya pada orang lain. Maka yang demikian jelas lebih terlarang. (Huququl Ukhuwah, Syaikh Sholeh Alu Syaikh).
Semoga dengan mengamalkan hak-hak ini, kita akan menjadi orang-orang yang akan mendapatkan naungan Allah di akherat kelak, di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Amin.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Artikel Buletin At Tauhid yang terbit setiap Jum’at di sekitar kampus UGM, Yogyakarta
http://ainuamri.blogspot.com/
Selengkapnya...
Minggu, 26 Desember 2010
Apakah 'Aisyah Berniat Memerangi 'Ali dalam Perang Jamal ?
Oleh : Asy-Syaikh Yusuf bin ’Abdillah bin Yusuf Al-Wabil hafidhahullah.
Di antara fitnah yang terjadi setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ’anhu adalah terjadinya perang Jamal yang terkenal antara ‘Ali bin Abi Thalib dengan ‘Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair radliyallaahu ‘anhum. Kronologi peristiwa ini adalah ketika terbunuhnya ‘Utsman, maka orang-orang mendatangi ‘Ali di Madinah dimana mereka berkata kepadanya : ”Ulurkan tanganmu, kami akan berbaiat kepadamu”. ‘Ali berkata : “Tunggu dulu, sampai orang-orang bermusyawarah”.Maka sebagian di antara mereka berkata : “Apabila orang-orang kembali ke negerinya masing-masing etelah terbunuhnya ‘Utsman, sementara itu belum ada seorang pun yang menggantikan kedudukannya (sebagai khalifah), niscaya akan terjadi perselisihan dan kerusakan umat”. Mereka terus-menerus membujuk ‘Ali agar mau menerima baiat, dan akhirnya ‘Ali pun menerimanya. Di antara orang yang membaiatnya itu adalah Thalhah dan Az-Zubair radliyallaahu ‘anhuma. Kemudian, mereka berdua pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah ‘umrah, dan di sana mereka bertemu dengan ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa. Setelah membicarakan masalah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan, mereka pergi ke Bashrah untuk menuntut ‘Ali agar menyerahkan orang yang telah membunuh ‘Utsman [1] ; akan tetapi ‘Ali tidak memenuhi permintaan mereka. Hal itu dikarenakan ‘Ali masih menunggu para wali dari keluarga ‘Utsman untuk menyelesaikan perkara kepadanya; yaitu, apabila telah dapat ditetapkan orang yang membunuh ‘Utsman, maka akan dijatuhkan hukum qishash padanya. Maka mereka pun (yaitu ‘Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair dengan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum) berbeda pendapat dengan sebab ini. Sementara itu, orang-orang yang tertuduh sebagai pembunuh ‘Utsman – yaitu mereka yang menentang ‘Utsman - merasa khawatir bahwa ‘Ali, ‘Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair bersepakat untuk menghukum bunuh mereka. Maka mereka pun mengobarkan peperangan antara dua kelompok tadi [2].
Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan ‘Ali bahwasannya antara dia dan ‘Aisyah akan timbul permasalahan. Dalam sebuah hadits dari Abu Raafi’ bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada ‘Ali bin Abi Thalib :
إنه سيكون بينك وبين عائشة أمر. قال : أنا يا رسول الله ؟. قال : نعم. قال : فأنا أشقاهم يا رسول الله ؟. قال : لا، ولكن إذا كان ذلك، فارددها إلى مأمنها.
“Bahwasannya antara kamu dan ‘Aisyah nanti akan ada satu permasalahan”. ’Ali bertanya : ”Saya kah wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : ”Ya”. ’Ali kembali bertanya : ”Apakah saya orang yang celaka (dalam permasalahan itu) ya Rasulullah ?”. Beliau menjawab : ”Tidak, akan tetapi jika hal itu nanti terjadi, maka kembalikanlah ia (’Aisyah) ke tempatnya yang aman”.[3]
Dan hal yang menunjukkan bahwasannya ’Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair tidak keluar untuk mengadakan peperangan (terhadap ’Ali), melainkan mereka hanya bertujuan untuk mendamaikan (perselisihan) di antara kaum muslimin adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari jalan Qais bin Abi Haazim, ia berkata :
لما بلغت عائشة رضي الله عنها بعض ديار بني عامر، نبحت عليها الكلاب. فقالت : أي ماء هذا ؟. قالوا : الحوأب. قالت : ما أظنني إلا راجعة. فقال لها الزبير : لا بعد، تقدمي فيراك الناس فيصلح الله ذات بينهم. فقالت : ما أظنني إلا راجعة، سمعت رسول ٰلله صلى الله عليه وسلم يقول : كيف بإحداكن إذا نبحتها كلاب الحوأب
”Ketika ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa sampai di sebagian perkampungan Bani ’Amir, tiba-tiba anjing-anjing (di tempat tersebut) menggonggong. Berkata ’Aisyah : ”Perairan apakah ini ?”. Mereka pun menjawab : ”Al-Hauab” [4]. ’Aisyah berkata : ”Aku kira aku harus kembali pulang”. Lalu Az-Zubair berkata kepadanya : ”Tidak, bahkan engkau harus maju hingga manusia melihatmu dan (dengan itu) Allah akan mendamaikan (perselisihan) di antara mereka”. ’Aisyah berkata : ”Namun aku kira aku harus kembali, karena aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Bagaimana keadaan salah seorang di antara kalian apabila anjing-anjing menggonggong kepadanya ?”.[5]
Dan dalam riwayat Al-Bazzar dari Ibnu ’Abbas, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berkata kepada istri-istrinya :
أيتكن صاحبة الجمل الأدبب، تخرج حتى تنبحها كلاب الحوأب، يقتل عن يمينها وعن شمالها قتلى كثيرة، وتنجو من بعد ما كادت
”Siapakah di antara kalian yang mempunyai onta adbab [6], lantas ia keluar (dengan mengendarainya) sehingga anjing-anjing Hauab menggonggong kepadanya. Banyak orang yang terbunuh di samping kanan dan kirinya, dan dia sendiri selamat setelah sebelumnya hampir terbunuh”.[7]
Ibnu Taimiyyah berkata :
إن عائشة لم تخرج للقتال، وإنما خرجت بقصد الإصلاح بين المسلمين، وظنت أن في خروجها مصلحة للمسلمين، ثم تبين لها فيما بعد أن ترك الخروج كان أولى، فكانت إذا ذكرت خروجها، تبكي حتى تبل خمارها، وهكذا عامة السابقين ندموا على ما دخلوا فيه من القتال، فندم طلحة والزبير وعلي رضي الله عنهم أجمعين.
ولم يكن يوم الجمال لهؤلاء قصد في القتال، ولكن وقع الاقتتال بغير اختيارهم، فإنه لما تراسل عليا وطلحة والزبير، وقصدوا الاتفاق على المصلحة، وأنهم إذا تمكنوا، طلبوا قتلة عثمان أهل الفتنة، وكان علي غير راض بقتل عثمان، ولا معينا عليه، كما كان يحلف، فيقول : والله ما قتلت عثمان ولا مالأتُ على قتله. وهو الصادق البار في يمينه، فخشي القتلة أن يتفق علي معهم على إمساك القتلة، فحملوا على عسكر طلحة والزبير، فظن طلحة والزبير أن عليا حمل عليهم، فحملوا دفعا عن أنفسهم، فظن علي أنهم حملوا عليه، فحمل دفعا عن نفسه، فوقعت الفتنة بغير اختيارهم، وعائشة راكب، لا قاتلت، ولا أمرت بالقتال، وهكذا ذكره غير واحد من أهل المعرفة بالأخبار
”Sesungguhnya ’Aisyah tidak keluar untuk berperang, melainkan dengan tujuan untuk mendamaikan kaum muslimin. Dia mengira bahwa keluarnya itu akan membawa kemaslahatan bagi kaum muslimin. Namun yang tampak olehnya setelah itu bahwa seandainya ia tidak keluar maka hal itu lebih baik. Oleh karena itu, jika ia teringat keluarnya (menuju Bashrah) itu, ia menangis hingga membasahi kerudungnya.[8] Demikian pula halnya dengan kaum muslimin terdahulu, mereka merasa menyesal karena terlibat peperangan itu. Thalhah, Az-Zubair, dan ’Ali radliyallaahu ’anhum; mereka semua juga merasa menyesal.
Dan peristiwa Jamal itu pada mulanya tidak meraka maksudkan untuk berperang, akan tetapi peperangan itu terjadi di luar kehendak mereka. Ketika ’Ali, Thalhah, dan Az-Zubair saling surat menyurat dan berkeinginan mencari kesepakatan untuk mencapai kemaslahatan, dan ketika mereka telah bertekad mencari pencetus fitnah pembunuh ’Utsman; ’Ali dalam keadaan tidak ridla dengan terbunuhnya ’Utsman dan tidak pula membantu membunuhnya sebagaimana diucapkan dalam sumpahnya : ”Demi Allah, aku tidak membunuh ’Utsman dan tidak pula berkomplot membunuhnya” – sedang ’Ali itu orang yang jujur dan benar sumpahnya. Maka, para pembunuh itu takut apabila ’Ali bersepakat dengan mereka untuk menangkap para pembunuh itu. Lalu, mereka menghasut laskar Thalhah dan Az-Zubair. Kemudian Thalhah dan Az-Zubair mengira bahwa ’Ali telah menyerang mereka, lalu keduanya membela diri. Begitu juga ’Ali mengira bahwa mereka berdua telah menyerangnya, lalu ia pun membela diri. Maka terjadilah fitnah (peperangan) tanpa diinginkan oleh mereka. Dan pada waktu itu, ’Aisyah sedang naik kendaraan (onta). Tidak ikut berperang, tidak pula memerintahkan berperang. Demikianlah yang dikemukakan oleh para ahli ma’rifah tentang sejarah”.[9]
Selesai ditulis oleh Abul-Jauzaa’, hari Sabtu ba’da ’Asar, 15.50, 15 Nopember 2008.
Dari buku Asyraathus-Saa’ah karya Yusuf bin ’Abdillah bin Yusuf Al-Wabil, Daar Ibnil-Jauziy, hal. 98-102 dengan beberapa tambahan.
[1] Abu Bakr bin Al-‘Arabiy mengemukakan pendapatnya dalam kitanya Al-‘Awaashim minal-Qawaashim, bahwasannya perginya mereka ke Bashrah hanyalah untuk mendamaikan kaum muslimin. Ia mengatakan :
هذا هو الصحيح، لا شيء سواه، وبذلك وردت صحاح الأخبار
“Inilah yang benar, tidak ada lagi selain itu. Dan demikianlah berita-berita yang shahih”.
[2] Lihat perincian penjelasan tersebut dalam Fathul-Bari 13/54-59.
[3] Musnad Al-Imam Ahmad 2/393 – beserta hamisy (catatan pinggir) Muntakhab Kanzil-’Ummaal.
Hadits ini adalah hasan. Lihat Fathul-Bari 13/55.
Al-Haitsami berkata : ”Diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzar, dan Ath-Thabarani. Para perawinya adalah terpercaya” [Majma’uz-Zawaaid 7/234].
[4] Al-Hauab adalah sebuah tempat yang terletak dekat Bashrah. Ia merupakan salah satu mata air bagi bangsa Arab di jaman Jahimiyyah. Tempat ini berada di jalan yang dilalui orang-orang yang datang dari Makkah ke Bashrah. Tempat ini disebut Hauab sebagai nisbat kepada Abu Bkr bin Kilaab Al-Hauab. Atau dinisbatkan kepada Al-Hauab binti Kalb bin Wabrah Al-Qadla’iyyah.
Lihat : Mu’jamul-Buldaan 2/314 dan catatan kaki Muhibbuddin Al-Khaathib atas kitab Al-’Awaashim minal-Qawaashim hal. 148.
[5] Mustadrak Al-Hakim 3/120.
Ibnu Hajar berkata : “Sanadnya sesuai syarat As-Shahih”. Lihat : Fathul-Bari 13/55.
Al-Haitsami berkata : ”Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, dan Al-Bazzar; rijalnya Ahmad adalah rijal Ash-Shahih” [Majma’uz-Zawaaid 7/234].
Hadits tersebut tercantum dalam Musnad Al-Imam Ahmad 6/52 dengan hamisy (catatan pinggir)-nya Mutakhab Kanzil-’Ummaal.
[6] Al-Adbab artinya yang banyak bulunya di bagian muka. Lihat : An-Nihayah oleh Ibnul-Atsir 2/96.
[7] Fathul-Bari 13/55.
Ibnu Hajar berkata : “Para perawinya terpercaya”.
Hadits “Al-Hauab” tersebut diingkari oleh Al-Imam Abu Bakr bin Al-‘Arabiy dalam kitabnya Al-‘Awaashim minal-Qawaashim (hal. 161) dimana hal itu diikuti oleh Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathiib dalam catatan kaki kitab Al-‘Awaashim. Beliau menyebutkan alasannya bahwa hadits ini tidak terdapat dalam kitab-kitab Islam yang mu’tabar.
Akan tetapi hadits itu shahih. Dishahihkan oleh Al-Haitsami dan Ibnu Hajar sebagaimana yang telah lewat (penyebutannya). Al-Hafidh berkata dalam Al-Fath (13/55) ketika mengomentari hadits Al-Hauab : “Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Ya’laa. Al-Bazzar, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Sanadnya sesuai dengan syarat Ash-Shahih”.
Al-Albani menshahihkannya dalam Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahihah, dan ia membantah pihak-pihak yang mencela keshahihan hadits ini; serta ia jelaskan para imam yang telah mengeluarkan hadits tersebut.
Lihat : Silsilah Ash-Shahihah no. 475.
[8] Az-Zaila’i berkata :
وقد أظهرت عائشة الندم، كما أخرجه ابن عبد البر في ((كتاب الاستعاب)) عن ابن أبي عتيق - وهو عبد الله بن محمد بن عبد الرحمن بن أبي بكر الصديق - قال : قالت عائشة لابن عمر : يا أبا عبد الرحمن، ما منعك أن تنهاني عن مسيري ؟. قال : رأيت رجلا غلبت عليك - يعني : ابن الزبير -. فقالت : أما والله، لو نهيتني ما خرجت
“Telah nampak rasa penyesalan pada diri ‘Aisyah, sebagaimana sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam kitab Al-Isti’ab dari Ibnu Abi ‘Atiq – ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Bakr Ash-Shiddiq – ia berkata : ‘Aisyah pernah berkata kepada Ibnu ‘Umar : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, apa yang mencegahmu untuk melarangku pergi dalam perjalananku (menuju Bashrah) ?”. Ibnu ‘Umar berkata : “Aku melihat seorang laki-laki yang telah menguasai dirimu – yaitu Ibnuz-Zubair”. ‘Aisyah berkata : “Jika saja – demi Allah – engkau melarangku, niscaya aku tidak akan pergi” [Nashbur-Rayah 4/69-70] – Abul-Jauzaa’.
Adz-Dzahabi berkata :
وكانت تحدث نفسها أن تدفن في بيتها فقالت إني أحدثت بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم حدثا ادفنوني مع أزواجه فدفنت بالبقيع رضي الله عنها قلت تعني بالحدث مسيرها يوم الجمل فإنها ندمت ندامة كلية وتابت من ذلك على أنها ما فعلت ذلك إلا متأولة قاصدة للخير كما اجتهد طلحة بن عبيد الله والزبير بن العوام وجماعة من الكبار رضي الله عن الجميع .......قالت عائشة إذا مر ابن عمر فأرونيه فلما مر بها قيل لها هذا ابن عمر فقالت يا أبا عبد الرحمن ما منعك أن تنهاني عن مسيري قال رأيت رجلا قد غلب عليك يعني ابن الزبير
”Dahulu ‘Aisyah berkeinginan untuk dikuburkan di dalam rumahnya, kemudian beliau berkata : ‘Sesungguhnya aku telah berbuat kesalahan sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kuburkanlah aku bersama istri-istri beliau lainnya di kuburan Baqi’’. Aku (yaitu Adz-Dzahabi) berkata : “Yang beliau maksud dengan kesalahan ialah kepergiannya pada tragedi perang Jamal, karena sesungguhnya beliau amat menyesali kepergiannya itu, dan beliau bertaubat darinya. Padahal beliau melakukannya atas dasar ijtihad dan bertujuan baik, sebagaimana Thalhah dan Az-Zubair bersama beberapa pembesar sahabat juga telah berijtihad, semoga Allah senantiasa meridhai mereka semua.” (Kemudian Imam Adz-Dzahabi menukilkan dari sebuah kisah, yaitu) pada suatu saat ‘Aisyah berpesan : ”Bila Ibnu Umar lewat, hendaknya kalian tunjukkanlah dia kepada aku”. Dan ketika Ibnu Umar telah melintas, maka dikatakan kepada ’Aisyah : ”Inilah Ibnu Umar” ; maka ia pun berkata kepadanya: “Wahai Abu Abdirrahman, apa yang menghalangimu untuk mencegahku dari kepergianku (pada tragedi perang Jamal)?” Beliau menjawab : “Aku melihat bersamamu seorang lelaki yang telah menguasai dirimu, yaitu Ibnu Zubair.” [Siyaru A’alamin- Nubalaa’ 2/324 no. 193; Maktabah Al-Misykah] – Abul-Jauzaa’.
[9] Minhajus-Sunnah 2/185.
[pada kitab terbitan Universitas Muhammad bin Su’ud, cetakan I/1406, , tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim : 4/316-317 – Abul-Jauzaa’]
sumber : http://abul-jauzaa.blogspot.com/
Selengkapnya...
Kamis, 23 Desember 2010
Utang Piutang
UTANG PIUTANG
Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Saya pernah berhutang daging kepada penjual daging seharga 6 franc. Kemudian hutang tersebut berlangsung cukup lama, dimana saat itu 1 franc sama dengan 35 riyal Yaman. Dan sekarang 1 franc sama dengan 135 riyal Yaman. Dan pedagang daging itu meminta saya supaya melunasi hutang berdasarkan pada nilai tukar terakhir. Apakah saya harus melunasi berdasarkan pada nilai tukar terdahulu atau yang terakhir? Tolong beritahu kami, mudah-mudahan Anda sekalian mendapatkan pahala.
Jawaban
Jika kenyataannya seperti yang disebutkan, maka Anda harus membayar kepada tukang daging itu berdasarkan pada nilai tukar yang berlaku pada saat pembayaran, bukan pada saat pembelian daging.
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Fatwa Nomor 3065]
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Ada seseorang yang berhutang kepada orang lain. Orang tersebut sudah dari awal berniat untuk tidak mengembalikan hutang tersebut. Dan setelah Allah memberinya petunjuk, dia mencari orang yang memberinya hutang itu agar dia dapat membayar hutangnya, tetapi juga tidak menemukannya, lalu apa yang harus dia perbuat?
Ada seseorang yang berhutang kepada banyak orang dan dia bermaksud untuk mengembalikan hutang kepada masing-masing orang tersebut, tetapi dia lupa kepada siapa saja dia dulu pernah berhutang, lalu apa yang harus dilakukan orang itu?
Jawaban
Pertama : Orang yang berhutang itu harus membayar hutangnya jika dia menemukan orang tersebut atau bisa juga dia membayar hutangnya itu kepada ahli waris orang tersebut jika dia sudah meninggal dunia dengan disertai taubat dan permohonan ampunan atas apa ytang dia lakukan.
Kedua
Dia harus berusaha keras untuk mengetahui orang-orang yang dulu dia pernah berhutang kepada mereka, lalu membayar hutang itu kepada mereka atau kepada ahli waris mereka jika mereka sudah meninggal.
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
Pertanyaan ke-2 dari Fatwa Nomor 13376]
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Apakah orang yang berhutang boleh meminta orang yang memberi hutang agar membebaskan pembayaran sisa hutang yang masih dia tanggung, jika dia berada dalam kesulitan? Dan jika orang yang memberi hutang itu berkenan untuk membebaskan pembayaran sisa hutang tersebut, apakah orang yang berhutang dalam keadaan seperti ini akan lepas dari pertanyaan mengenai hutang tersebut pada hari Kiamat kelak? Lalu apa kata-kata yang tepat untuk dikatakan oleh orang yang memberi hutang kepada orang yang berhutang agar orang yang berhutang itu lepas dari hutangnya?
Jawaban
Jika orang yang berhutang itu kaya dan mampu untuk membayar hutangnya, maka dia harus segera melunasi hutangnya jika sudah jatuh tempo. Dan diharamkan baginya untuk menunda-nunda pelunasan hutangnya. Dan tidak diperbolehkan dalam keadaan seperti itu, orang yang berhutang meminta agar hutangnya dibebaskan darinya. Sebab, hal itu termasujk dalam permintaan diluar kebutuhan. Tetapi jika orang yang behutang itu dalam keadaan kesulitan dan dia tidak memiliki harta yang dapat dipergunakan untuk melunasi hutangnya atau membayar sebagiannya, maka dia boleh meminta kepada orang yang memberi hutang untuk membebaskan pembayaran hutang yang dia tidak mampu melunasinya, atau ditangguhkan waktu pembayarannya sehingga dia mampu melunasinya. Dan jika orang yang memberi hutang itu membebaskan dirinya dari pelunasan hutangnya, maka dia telah terlepas dari kewajiban membayar hutang tersebut.
Apapun ungkapan yang memberi pengertian gugurnya hutang dari orang yang berhutang, seperti ungkapanmu, "Aku bebaskan dirimu dari hutangmu atau hutang yang masih tersisa padamu". Atau "Kamu bebas dari hutangmu". Atau "Aku anggap tidak ada hutangmu padaku. "Atau "Aku anggap lunas hutangmu". Atau "Uangku yang ada padamu sekarang menjadi milikmu". Dan ungkapan-ungkapan semisal lainnya yang dipahami sebagai pembebasan hutang. Semua ungkapan tersebut cukup untuk membebaskan orang yang berhutang dari hutangnya.
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Pertanyaan ke-4 dari Fatwa Nomor 19886]
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Saya pernah meminjam sejumlah uang kepada seseorang dan saya sempat terlambat dalam jangka waktu yang lama. Saya lihat, pemberi hutang itu merasa keberatan atas keterlambatan saya dan tidak menyukainya. Apa boleh jika saya memberi hadiah tertentu kepadanya setelah saya melunasi hutang saya kepadanya, hanya sebatas hadiah semata. Dan niat saya, hadiah tersebut hanya sebagai ganti atas perasaan kesalnya. Apakah yang demikian itu termasuk riba?
Jawaban
Jika Anda membayar hutang, lalu Anda memberi tambahan tertentu pada hutang tersebut, dari hati yang tulus dan tanpa ada persyaratan sebelumnya dari pemberi hutang untuk melakukan hal tersebut, atau Anda memberi hadiah kepadanya secara suka rela karena merasa terlambat membayar hutang, maka yang demikian itu adalah suatu hal yang baik dan tidak menjadi masalah. Hal tersebut didasarkan pada apa yang ditegaskan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana beliau pernah meminjam seekor unta muda dari seseorang, lalu beliau mengembalikan berupa unta pilihan lagi bagus seraya berucap :
خيا الناس احسنهم قضاء
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya" [1]
Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.
[Pertanyaan ke-7 dari Fatwa Nomor 19446]
[Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_______
Footnote
[1]. HR.Malik II/680, Asy-Syafi'i di dalam kitab Ar-Risalah hal. 544 no. 1606 (Tahqiq : Ahmad Syakir), Ahmad II/377, 393, 416, 431, 456, 476, dan 509 IV/127, VI/390, Al-Bukhari III/61, 83-84, 139, 140, Muslim XI/36-38 (Muslim bi Syarh An-Nawawi), Abu Dawud III/641-642 no. 3346, At-Tirmidzi III/607-609 no. 1316-1318, An-Nasa'i VII/291-292, 318 no. 4617-4619, 4693, Ibnu Majah II/8709 no. 2423, Ad-Darimi II/254, Al-Baihaqi V/351, 353, VI/21, Al-Ashbahani di dalam kitab Al-Hiyah VII/263, VII/263, VIII/280-281, Al-Baghawi VIII/194 no.2137
http://almanhaj.or.id/
Selengkapnya...
Adab Berhutang
ADAB BERHUTANG
Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc
“Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ?” ucap salah seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka beliau menjawab : “Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?”
Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah persepsi dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali seorang muslim memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga diapun terlihat taat ke masjid, melakukan hal-hal yang sunat, seperti ; shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia terkadang mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak dan jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan, agar sebagai muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim dalam mu’amalahnya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka seyogyanya juga harus muslim juga dalam mu’amalahnya dengan manusia. Allah berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)” [Al-Baqarah : 208]
Oleh karenanya, dialog murid terkenal Imam Abu Hanifah tadi layak dicerna dan dipahami. Seringkali zuhud diterjemahkan dengan pakaian lusuh, makanan sederhana, atau dalam arti kening selalu mengkerut dam mata tertunduk, supaya terlihat sedang tafakkur. Akan tetapi, kalau sudah berhubungan dengan urusan manusia, maka dia tidak menghiraukan yang terlarang dan yang tercela.
Hutang-pihutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan bahan kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-pihutang merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan mu’amalat. Di dalam Al-Qur’an, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah hutang-pihutang ini, dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan seseorang yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.
HUTANG HARUS DIPERSAKSIKAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al-Baqarah : 282]
Mengenai ayat ini, Ibnul Arabi rahimahullah di dalam kitab Ahkam-nya menyatakan : “Ayat ini adalah ayat yang agung dalam mu’amalah yang menerangkan beberapa point tentang yang halal dan haram. Ayat ini menjadi dasar dari semua permasalahan jual beli dan hal yang menyangkut cabang (fikih)” [1]
Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan” [2]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Maka tulislah …” maksudnya adalah tanda pembayaran untuk megingat-ingat ketika telah datang waktu pembayarannya, karena adanya kemungkinan alpa dan lalai antara transaksi, tenggang waktu pembayaran, dikarenakan lupa selalu menjadi kebiasaan manusia, sedangkan setan kadang-kadang mendorongnya untuk ingkar dan beberapa penghalang lainnya, seperti kematian dan yang lainnya. Oleh karena itu, disyari’atkan untuk melakukan pembukuan hutang dan mendatangkan saksi" [3]
“Maka tulislah…”, secara zhahir menunjukkan, bahwa dia menuliskannya dengan semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan hakim, apabila suatu saat perkara hutang-pihutang ini diangkat kepadanya. [4]
BOLEHKAH BERHUTANG?
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan syari’at,dan merupakan salah satu bentuk realisasi dari hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Baragsiapa yang melapangkan seorang mukmin dari kedurhakaan dunia, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melapangkan untuknya kedukaan akhirat”
Para ulama mengangkat permasalahan ini, dengan memperbandingkan keutamaan antara menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih utama?
Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syari’at, akan tetapi dalam sudut kebutuhan yang dharurat, sesungguhnya orang yang berhutang selalu berada pada posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia berhutang. Sehingga menghutangkan disebutkan lebih utama dari sedekah, karena seseorang yang diberikan pinjaman hutang, orang tersebut pasti membutuhkan. Adapun bersedekah, belum tentu yang menerimanya pada saat itu membutuhkannya.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata kepada Jibril : “Kenapa hutang lebih utama dari sedekah?” Jibril menjawab, “Karena peminta, ketika dia meminta dia masih punya. Sedangkan orang yang berhutang, tidaklah mau berhutang, kecuali karena suatu kebutuhan”. Akan tetapi hadits ini dhaif, karena adanya Khalid bin Yazid Ad-Dimasyqi. [5]
Adapun hukum asal berhutang harta kepada orang lain adalah mubah, jika dilakukan sesuai tuntunan syari’at. Yang pantas disesalkan, saat sekarang ini orang-orang tidak lagi wara’ terhadap yang halal dan yang haram. Di antaranya, banyak yang mencari pinjaman bukan karena terdesak oleh kebutuhan, akan tetapi untuk memenuhi usaha dan bisnis yang menjajikan.
Hutang itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hutang baik. Yaitu hutang yang mengacu kepada aturan dan adab berhutang. Hutang baik inilah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; ketika wafat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berhutang kepada seorang Yahudi dengna agunan baju perang. Kedua, hutang buruk. Yaitu hutang yang aturan dan adabnya didasari dengan niat dan tujuan yang tidak baik.
ETIKA BERHUTANG
1. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan tabi’at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang yang mengerti membalas budi.
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. [6]
2. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tertera dalam surat Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia telah memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut, saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.
كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللَّهُ بِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian” [7]
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي
“Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya” [8]
3. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.
a. Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b. Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c. Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
"Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya” [9]
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas [10] Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan azam untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang berazam pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang baqa (kekal)?
4. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang meminjamkan dengan harga lebih mahal dari biasanya.
5. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوْا اْلأَمَاناَتِ إِلىَ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيْراً
" Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat". [An-Nisa : 58]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah : “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang” [HR Bukhari no. 2390]
Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.
a. Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata. :
أَنَّ رَجُلًا تَقَاضَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَغْلَظَ لَهُ فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُهُ فَقَالَ دَعُوهُ فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا وَاشْتَرُوا لَهُ بَعِيرًا فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ وَقَالُوا لَا نَجِدُ إِلَّا أَفْضَلَ مِنْ سِنِّهِ قَالَ اشْتَرُوهُ فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
"Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya”. Mereka (para sahabat) berkata : “Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari untanya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling baik dalam pembayaran” [11]
Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20
b. Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْم
“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman” [12]
Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. :
لَيُّ الوَاجِدِ يَحِلُّ عُقُوْبَتَه ُوَعِرْضه
"Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) keehormatannya”.
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan ‘engkau telah menunda pebayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya” [13]
c.. Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ
“Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya” [14]
d. Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.
Hasan berkata, “Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh memerdekakan, menjual atau membeli” [15]
Bahkan Dawud berkata, “Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia tidak diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu dilakukan, maka dikembalikan” [16]
Kemungkinan –wallahu a’lam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi melunasinya.
6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
7. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan solusi terakhir setelah semuanya terbentur.
8. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ
"Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya” [17]
9. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh ditolak
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ
“Menunda pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu kezhaliman. Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka hendaklah dia menurutinya. [18]
10. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. [19]
BAGI YANG MENGHUTANGKAN AGAR MEMBERI KERINGANAN KEPADA YANG BERHUTANG
Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan dari yang menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi pemberian pinjamannya tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu pembayaran. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan tujuan yang sangat baik ini dikotori dengan mengambil keuntungan dibalik kesusahan yang berhutang.
Di antara yang dapat dilakukan oleh yang menghutangkan kepada yang berhutang ialah.
1. Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
Misalnya, dengan uang satu juta rupiah yang dipinjamkannya tersebut, dia dapat beramal dengan kebaikan berikutnya, seperti meringankan pembayaran si penghutang, atau dengan boleh membayarnya dengan jumlah di bawah satu juta rupiah, atau bisa juga mengizinkan pembayarannya dilakukan dengan cara mengangsur, sehingga si penghutang merasa lebih ringan bebannya.
2. Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
Si pemberi pinjaman dapat pula berbuat baik degan memberi kelonggaran waktu pembayaran, sampai si penghutang betul-betul sudah mampu melunasi hutangnya.
Dari Hudzaifah Radhyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Suatu hari ada seseorang meninggal. Dikatakan kepadanya (mayit di akhirar nanti). Apa yang engkau perbuat? Dia menjawab. :
كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فَأَتَجَوَّزُ عَنْ الْمُوسِرِ وَأُخَفِّفُ عَنْ الْمُعْسِرِ فَغُفِرَ لَهُ
"Aku melakukan transaksi, lalu aku menerima ala kadarnya bagi yang mampu membayar (hutang) dan meringankan bagi orang yang dalam kesulitan. Maka dia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)". [20]
3. Pemberi pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan cara membebaskan hutang, sehingga si penghutang tidak perlu melunasi pinjamannya.
Beginilah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih. Jika mereka ingin memberi pemberian, maka mereka melakukan transaksi jual beli terlebih dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya atau dia pinjamkan, kemudian dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua kebahagian dan akan menambah pahala bagi yang memberi.
Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli onta dari Jabir bin Abdullah dengan harga yang cukup mahal. Setibanya di Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran dan menghadiahakn onta yang telah dibeli tersebut kepada Jabir.
Contoh kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu dirham. Lalu dia keluar menuju masjid dan bertemu dengan Utsman. Thalhah berkata, “Uangmu telah cukup, maka ambillah!”. Namun Utsman menjawab : “Dia untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga muruah (martabat)mu”.
Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu merasa bahwa saudara-saudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya : “Mereka malu dengan hutangnya kepadamu”, dia (Qais) pun menjawab, “Celakalah harta, dapat menghalangi saudara untuk menjenguk saudaranya!”, Kemudian dia memerintahkan agar mengumumkan : “Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia telah lunas”. Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena banyaknya orang yang menjenguk. [21]
Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa memahami, bahwa Islam menginginkan kaum Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup mereka dengan mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Dalam permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya selalu demawan menginfakkan harta Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dititipkan kepadanya kepada jalan-jalan kebaikan. Di sisi lain, seorang yang fakir, hendaklah hidup dengan qana’ah dan ridha dengan apa yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya.
Semoga kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang, dianugerahkanNya ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang halal dan baik.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnotes.
[1]. Ahkamul Qur’an, Ibnul Arabi, Beirut, Darul Ma’rifah, 1/247
[2]. Tafsir Quranil Azhim, 3/316
[3]. Ahkamul Qur’an, Ibnu Katsir, Madinah, Maktabah Jami’ Ulum wal Hikam, 1993, 1/247
[4]. Ibid
[5]. Sunan Ibnu Majah, no. 2431
[6]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 1416-1995, hal. 2/51
[7]. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305
[8]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394
[9]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387
[10]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[11]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390
[12]. Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427
[13]. Ibid, no. 2401
[14]. Ibid, no. 2402
[15]. Fathul Bari (5/62)
[16]. Ibid (5/54)
[17}. HR Abu Dawud, Al-Buyu, Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain
[18]. HR Bukhari, Al-Hawalah, no. 2288
[19]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2405
[20]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2391
[21].Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah, Tahqiq Ali Hasan bin Abdul Hamid, Oman, Dar Ammar, cet II, 1415-1994 hal. 262-263
http://almanhaj.or.id/
Selengkapnya...
Sabtu, 18 Desember 2010
Pesan cinta lewat sms
_______________
18/12/2010 15:18
Bismillah
bapak ibu dalem nyuwun
pandonganipun
panjenengan, InsyaAlloh
Aisy enggal nggadah
adik, alhamdulillah
sakmeniko sampun 2
bulan 10 hari
Maturnuwun
_________________
18/12/2010 15:26:29
Alhamdulillah, semoga
Allah selalu menyayangimu
kamu sekeluarga
_________________
SubhanAlloh bapak ibu, maturnuwun sanget, air mataku menetes, kekhawatiranku sirna, kupikir akan ada hujatan, cemo'ohan, penyesalan...
ternyata...
SubhanAlloh, Alhamdulillah, Allahu akbar
balasan doa yg bapak ibu berikan bagai air sungai yg menyejukkan jiwa
Ya Alloh
Berikanlah kesehatan pada bapak ibuku
Berkahilah usia mereka
Rahmatilah kehidupan mereka
Simpankan utk mereka rumah yg indah di jannah-Mu
Amin Allahumma Amin
Selengkapnya...
Senin, 13 Desember 2010
Tanda-Tanda Baligh untuk Anak Laki-Laki dan Perempuan
Tanda-tanda baligh untuk laki-laki antara lain :
1. Ihtilam, yaitu keluarnya mani baik karena mimpi atau karena lainnya.
Dalilnya antara lain adalah :
a) Firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاةِ الْعِشَاءِ ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ * وَإِذَا بَلَغَ الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum mencapai ”hulm” (ihtilaam) di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai ”hulm” (ihtilaam/usia baligh), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin” [QS. An-Nuur : 59].
Segi pendalilan dari ayat ini adalah bahwa hulm (ihtilam) dijadikan batas kewajiban bagi seorang anak untuk meminta ijin di semua waktu ketika ia hendak memasuki kamar orang tuanya. Ini adalah asal hukum dalam minta ijin (yaitu minta ijin sebelum masuk). Berbeda halnya ketika ia belum mencapai hulm, maka ia hanya dibebankan meminta ijin di tiga waktu saja, dan tidak mengapa baginya jika ia masuk (tanpa ijin) di selain tiga waktu tersebut.
b) Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ’anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda :
غسل يوم الجمعة على كل محتلم، وسواك، ويمس من الطيب ما قدر عليه
”Mandi pada hari Jum’at (sebelum menunaikan shalat Jum’at) adalah kewajiban bagi setiap orang yang telah ihtilam; demikian pula bersiwak dan memakai wewangian semampunya” [HR. Al-Bukhari no. 880 dan Muslim no. 846-7].
Ihtilaam dijadikan batas taklif dalam syari’at. Begitu pula dengan hadits-hadits di bawah :
c) Dari Ali (bin Abi Thaalib) ’alaihis-salaam, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda :
رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل
”Diangkat pena (tidak dikenakan kewajiban) pada tiga orang, yaitu : orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal” [HR. Abu Dawud no. 4403 dan At-Tirmidzi no. 1423; shahih].
d) Dari Mu’adz radliyallaahu ’anhu :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعثه إلى اليمن وأمره أن يأخذ من كل حالم دينارا
”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam mengutusnya ke Yaman dan memerintahnya untuk mengambil dari setiap orang yang telah ihtilam satu dinar” [HR. An-Nasa’i no. 2450, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra no. 19155, dan Ahmad no. 21532; shahih].
Para ulama telah sepakat bahwa ihtilam merupakan tanda kedewasaan bagi anak laki-laki dan perempuan. Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وقد أجمع العلماء على أن الاحتلام في الرجال والنساء يلزم به العبادات والحدود وسائر الأحكام
“Para ulama telah sepakat/ijma’ bahwasannya ihtilaam pada laki-laki dan perempuan mewajibkan dengannya (untuk diberlakukannya) ibadah, huduud, dan seluruh perkara hukum” [Fathul-Baariy, 5/277].
2. Tumbuhnya Rambut Kemaluan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini.
Madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa tumbuhnya rambut kemaluan bukan merupakan tanda baligh secara mutlak [lihat Raddul-Muhtaar 5/97, Al-Bahrur-Raaiq 3/96, dan Syarh Fathil-Qadiir 9/276].
Madzhab Hanabilah dan satu riwayat dari Abu Yusuf dari madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh secara mutlak [lihat Al-Muharrar 1/347, Al-Furuu’ 4/312, Al-Inshaaf 5/320, Al-Mubdi’ 4/332, Syarhul-Muntahaa 4/560, dan Raddul-Muhtaar 5/97].
Madzhab Malikiyyah terpecah menjadi dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh secara mutlak, dan inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab [lihat Asy-Syarhul-Kabiir 3/293 – tercetak bersama Haasyiyyah Ad-Daasuqiy]. Pendapat kedua mengatakan bahwa ia merupakan tanda baligh yang menyangkut hak-hak anak Adam dalam beberapa hukum seperti qadzaf (menuduh wanita baik-baik telah berbuat zina), potong tangan, dan pembunuhan. Adapun yang menyangkut hak-hak kepada Allah ta’ala, maka ia bukan sebagai tanda baligh [lihat Mawaahibul-Jaliil 5/59 dengan catatan pinggirnya : At-Taaj wal-Ikliil 5/59].
Madzhab Syafi’iyyah berpendapat bahwa tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh untuk orang kafir. Adapun bagi muslimin, maka mereka berbeda pendapat. Satu pendapat mengatakan bahwa ia merupakan tanda baligh sebagaimana orang kafir, dan pendapat lain – dan ini yang shahih dalam madzhab – mengatakan bahwa ia bukan tanda baligh [lihat Mughnil-Muhtaaj 2/167, Raudlatuth-Thaalibiin 4/178, Al-Muhadzdzab 1/337-338, dan Al-Wajiiz 1/176].
Pendapat yang rajih dari keempat madzhab tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh secara mutlak bagi muslim atau kafir, baik menyangkut hak Allah atau hak anak Adam. Adapun dalil yang dijadikan hujjah antara lain adalah :
a) Dari ’Athiyyah, ia berkata :
عرضنا على النبي صلى الله عليه وسلم يوم قريظة فكان من أنبت قتل ومن لم ينبت خلي سبيله فكنت ممن لم ينبت فخلي سبيلي
“Kami dihadapkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hari Quraidhah (peristiwa pengkhianatan Bani Quraidhah), di situ orang yang sudah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh maka aku dibiarkan” [HR. At-Tirmidzi no. 1584, An-Nasa’i no. 3429, dan yang lainnya; shahih].
b) Dari Samurah bin Jundub bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اقتلوا شيوخ المشركين واستبقوا شرخهم
”Bunuhlah orang-orang tua dari kalangan kaum musyrikiin dan biarkanlah syark”. [Abu Dawud no. 2670 dan At-Tirmidzi no. 1583; dla’if]. Syarkh adalah anak-anak yang belum tumbuh bulu kemaluannya.
Pembedaan antara orang kafir dan orang muslim adalah pembedaan yang sangat lemah. Telah shahih dari beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam larangan membunuh anak-anak orang kafir yang bersamaan beliau memerintahkan untuk membunuh orang-orang yang telah tumbuh rambut kemaluannya – sehingga dapat dipahami bahwa tumbuhnya rambut kemaluan merupakan tanda baligh bagi mereka. Hukum baligh ini bersifat umum lagi mutlak. Oleh karena itu jika seorang imam menangkap dan menghukum seorang pelaku bughat dari kalangan muslimin, maka ia pun hanya boleh membunuh mereka yang telah baligh, tidak pada anak-anak. Dan tanda baligh ini dapat diketahui salah satunya dengan tumbuhnya rambut kemaluan pada mereka.
Begitu juga dengan pendapat Malikiyyah yang membedakan antara hal Allah dan hak anak Adam. Jika dikatakan bahwa syari’at telah melarang membunuh anak-anak dalam peperangan, maka ini merupakan ketentuan yang datang dari Allah yang harus dipenuhi oleh manusia (kaum muslimin). Tidak bisa dikatakan bahwa menjalankan perintah tersebut adalah sebagai pemenuhan hak anak Adam, bukan pemenuhan hak Allah.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
وفي هذا بيان أن الإنبات علم على البلوغ وعلى أنه علم في حق أولاد المسلمين والكفار وعلى أنه يجوز النظر الى عورة الأجنبي للحاجة من معرفة البلوغ وغيره
”Dan dalam hal ini terdapat penjelasan bahwa tumbuhnya rambut kemaluan adalah tanda balighnya seseorang, bagi anak-anak kaum muslimin dan orang-orang kafir; dan juga menunjukkan bolehnya melihat aurat orang lain bila diperlukan untuk mengetahui baligh dan tidaknya seseorang serta untuk yang lainnya [lihat Tuhfatul-Maulud bi Ahkaamil-Maulud oleh Ibnul-Qayyim hal. 210].
3. Mencapai Usia Tertentu.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Di antara pendapat-pendapat tersebut antara lain :
a) Madzhab Syafi’iyyah [Mughni-Muhtaaj 2/165, Raudlatuth-Thaalibiin 4/178, dan Al-Muhadzdzab 1/337-338], Hanabilah [Al-Muharrar 1/347, Al-Furuu’ 4/312, Al-Inshaaf 5/320, Al-Mubdi’ 4/332, dan Syarhul-Muntahaa 4/560]; pendapat yang dipilih Ibnu Wahb dari madzhab Malikiyyah [As-halul-Madaarik 2/159 dan Mawaahibul-Jaliil 5/59], Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan dari Hanafiyyah, serta satu riwayat dari Abu Hanifah [Al-Bahrur-Raaiq 3/96 dan Syarh Fathil-Qadiir 9/276] – yaitu lima belas tahun untuk laki-laki dan perempuan.
b) Delapan belas tahun untuk laki-laki dan tujuh belas tahun untuk perempuan [Al-Bahrur-Raaiq 3/96 dan Syarh Fathil-Qadiir 9/276].
c) Madzhab Malikiyyah, ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan delapan belas tahun untuk laki-laki dan perempuan [Ashalul-Madaarik 3/159], sembilan belas tahun, tujuh belas tahun, dan enam belas tahun [Mawaahibul-Jaliil 5/59 dan Haasyiyyah Ad-Dasuuqiy 3/293].
d) Ibnu Hazm berpendapat sembilan belas tahun [Al-Muhalla, permasalahan no. 119].
Dalil yang dianggap paling shahih dan sharih oleh ulama yang memberikan batasan usia yang dibawakan dalam permasalahan ini adalah hadits yang dibawakan oleh pendapat pertama (lima belas tahun) dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma, ia berkata :
عرضني رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم أحد في القتال. وأنا ابن أربع عشرة سنة. فلم يجزني. وعرضني يوم الخندق، وأنا ابن خمس عشرة سنة. فأجازني.
قال نافع: فقدمت على عمر بن عبدالعزيز، وهو يومئذ خليفة. فحدثته هذا الحديث. فقال: إن هذا لحد بين الصغير والكبير. فكتب إلى عماله أن يفرضوا لمن كان ابن خمس عشرة سنة. ومن كان دون ذلك فاجعلوه في العيال.
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud, yang ketika itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian beliau menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai lima belas tahun. Beliau pun memperbolehkanku”.
Naafi’ berkata : ”Aku datang kepada ’Umar bin ’Abdil-’Aziz yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, lalu aku beri tahu tentang hadits tersebut. Kemudia ia berkata : ’Sungguh ini adalah batasan antara kecil dan besar’. Maka ’Umar menugaskan kepada para pegawainya untuk mewajibkan bertempur kepada orang yang telah berusia lima belas tahun, sedangkan usia di bawahnya mereka tugasi untuk mengurus keluarga orang-orang yang ikut berperang” [HR. Al-Bukhari no. 2664, Muslim no. 1868, Ibnu Hibban no. 4727-4728, dan yang lainnya].
Namun, hadits ini pun tidak menunjukkan secara sharih bahwa usia lima belas tahun adalah batas usia baligh. Hadits ini masih mengandung kemungkinan bahwa pelarangan Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam bukan karena faktor baligh, namun karena masih kecilnya Ibnu ’Umar sehingga tidak dipandang mempunyai kemampuan/kecakapan untuk berperang. Ini terlihat dari ijtihad ’Umar bin ’Abdil-’Aziz yang hanya menandakan usia tersebut sebagai batas besar dan kecil untuk ikut berperang. Bukan baligh dan tidak baligh.
Pendapat yang rajih dalam permasalahan ini adalah tidak ada batasan usia tertentu untuk baligh. Dan inilah pendapat yang dikutkan Ibnul-Qayyim rahimahullah, dimana beliau berkata :
وليس لوقت الاحتلام سن معتاد بل من الصبيان من يحتلم لاثنتي عشرة سنة ومنهم من يأتي عليه خمس عشرة وست عشرة سنة وأكثر من ذلك ولا يحتلم
”Untuk waktu ihtilaam tidak ada batas usianya, bahkan anak-anak yang berusia dua belas tahun bisa ihtilaam. Ada juga yang sampai lima belas tahun, enam belas tahun, dan seterusnya namun belum ihtilaam” [Tuhfatul-Maudud hal. 208].
Kemudian beliau melanjutkan :
وقال داود وأصحابه لا حد له بالسن إنما هو الاحتلام وهذا قول قوي
”Dawud (Adh-Dhahiriy) dan shahabat-shahabatnya berkata : ’Tidak ada batasan tertentu untuk usia baligh. Batas yang benar hanyalah ihtilam’. Ini adalah pendapat yang kuat” [idem, hal. 209].
Tanda-tanda baligh untuk perempuan antara lain :
Adapun tanda balighnya anak perempuan bisa sama seperti laki-laki, namun ditambah dengan keempatnya, yaitu haidl, berkembangnya alat-alat untuk berketurunan, serta membesarnya buah dada. Para ulama telah ijma’ bahwasannya haidl merupakan tanda baligh bagi seorang wanita. Al-Haafidh berkata :
وقد أجمع العلماء على أن الحيض بلوغ في حق النساء
“Para ulama telah sepakat/ijma’ bahwasannya haidl merupakan tanda baligh bagi wanita” [Fathul-Baariy, 5/277].
Kesimpulan :
Batas usia baligh bagi anak laki-laki dan perempuan adalah ihtilam. Khusus, bagi anak perempuan, atau ia telah mengalami haidl. Namun apabila ia sulit mengetahui apakah orang tersebut telah ihtilam (atau bagi anak perempuan ia terlambat haidl - atau bahkan tidak mengalami haidl sama sekali), maka tanda balighnya diambil dari tumbuhnya rambut kemaluan.
Bila anak sudah mengalami salah satu tanda di atas, maka ia telah baligh yang dengan itu ia telah sampai pada usia taklif. Wajib baginya mengerjakan ibadah dan seluruh amalan wajib. Adapun sebelum itu, maka perintah hanyalah sebagai pembiasaan dan menjadikannya suka. Wallaahu a’lam.
Abu Al-Jauzaa’ Al-Bogoriy – 1430 H.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/
Selengkapnya...
Minggu, 12 Desember 2010
Istri Al-Qadhi Syuraih Yang Menyejukkan Hati
Sebaris kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi seorang istri yang ingin menjadi perhiasan terindah dunia dan bidadarinya akhirat yaitu wanita shalihah. Semoga melalui kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi seseorang yang mendambakan keluarga sakinah mawadah wa rahmah yang diridhai oleh Allah ‘Azza wa jalla
Ia menceritakan pengalamannya: “Ketika aku menikahi Zainab binti Hudair aku berkata dalam hati: Aku telah menikah dengan seorang wanita Arab yang paling keras dan paling kaku tabiatnya. Aku teringat tabiat wanita-wanita bani Tamim dan kerasnya hati mereka. Aku berkeinginan untuk menceraikannya. Kemudian aku berkata (dalam hati): “Aku pergauli dulu (yaitu menikah dan berhubungan dengannya), jika aku dapati apa yang aku suka, aku tahan ia. Dan jika tidak, aku ceraikan ia.”
Kemudian datanglah wanita-wanita bani Tamim mengantarkannya. Dan setelah ditempatkan dalam rumah, aku berkata: “Wahai fulanah, sesungguhnya menurut sunnah apabila seorang wanita masuk menemui suaminya hendaklah si suami shalat dua rakaat dan si istri juga shalat dua rakaat.”
Akupun bangkit mengerjakan shalat kemudian aku menoleh ke belakang ternyata ia ikut shalat di belakangku. Seusai shalat para budak-budak wanita pengiringnya datang dan mengambil pakaianku dan memakaikan padaku pakaian tidur yang telah dicelup dengan za’faran.
Dan tatkala rumah sudah kosong, aku mendekatinya dan aku ulurkan tanganku kepadanya. Ia berkata: “Tahan dulu (sabar dulu).”
Aku berkata dalam hati: “Satu malapetaka telah menimpa diriku.” (yakni musibah telah menimpa dirinya)
Lalu ia memuji Allah kemudian memanjatkan shalawat atas Nabi r lalu berkata: “Aku adalah seorang wanita Arab. Demi Allah, aku tidak pernah melangkah kecuali kepada perkara yang diridhai Allah. Dan engkau adalah lelaki asing, aku tidak mengenali perilakumu (yakni aku belum mengenal tabiatmu).
Beritahulah kepadaku apa saja yang engkau suka hingga aku akan melakukannya dan apa saja yang engkau benci hingga aku bisa menghindarinya.”
Aku berkata kepadanya: “Aku suka begini dan begini (Syuraih menyebutkan satu persatu perkataan, perbuatan, makanan dan segala sesuatu yang disukainya) dan aku benci begini dan begini (Syuraih menyebutkan semua perkara yang ia benci).”
Ia berkata lagi: “Beritahukan kepadaku siapa saja anggota keluargaku yang engkau suka bila ia mengunjungimu?”
Aku (Syuraih) berkata: “Aku adalah seorang qadhi, aku tidak suka mereka (anggota keluargamu) membuatku bosan.”
Maka akupun melewati malam yang paling indah, dan aku tidur tiga malam bersamanya. Kemudian aku keluar menuju majelis qadha’, dan aku tidak melewati satu hari melainkan hari itu lebih baik daripada hari sebelumnya.
Tibalah waktu kunjungan mertua.
Yaitu genap satu tahun (setelah berumah tangga).
Aku masuk ke dalam rumahku. Aku dapati seorang wanita tua sedang menyuruh dan melarang.
Aku bertanya: “Hai Zainab, siapakah wanita ini?”
Istriku menjawab: “Ia adalah ibuku.”
“Marhaban”, sahutku.
Ia (ibu mertua) berkata: “Bagaimana keadaanmu hai Abu Umayyah?”
“Alhamdulillah baik-baik saja”, jawabku.
“Bagaimana keadaan istrimu?” Tanyanya.
Aku menjawab: “Istri yang paling baik dan teman yang paling cocok. Ia mendidik dengan baik dan membimbing adab dengan baik pula.”
Ia berkata: “Sesungguhnya seorang wanita tidak akan terlihat dalam kondisi yang paling buruk tabiatnya kecuali pada dua keadaan: Apabila sudah punya kedudukan di sisi suaminya dan apabila telah melahirkan anak. Apabila engkau melihat sesuatu yang tak mengenakkan padanya pukul saja. Karena, tidaklah kaum lelaki memperoleh sesuatu yang lebih buruk dalam rumahnya selain wanita warhaa’ (yaitu wanita yang tidak punya kepandaian dalam melakukan tugasnya).
Syuraih berkata: “Ibu mertuaku datang setiap tahun sekali kemudian ia pergi sesudah bertanya kepadaku tentang apa yang engkau sukai dari kunjungan keluarga istrimu ke rumahmu?”
Aku menjawab pertanyaannya: “Sekehendak mereka!” Yaitu sesuka mereka saja.
Aku hidup bersamanya selama dua puluh tahun, aku tidak pernah sekalipun mencelanya dan aku tidak pernah marah terhadapnya.”
Dikutip dari buku,” Agar Suami Cemburu Padamu”
Buku ini bisa menjadi bekal bagi seorang istri untuk menjadi wanita perhiasan dunia dan bidadarinya akhirat. Pembahasannya yang akurat dan sesuai dengan hadits-hadits Rasulullah dapat menjadi kesan tersendiri bagi pembaca.
http://an-naba.com/
Selengkapnya...
Tangisan Umar bin Khaththab -radyallahu ‘anhu-
Bagi Umar bin Khaththab, al-Qur`anul Karim mempunyai kedudukan tersendiri dalam kehidupannya. Sebab ia masuk ke dalam Islam setelah ia mendengar lantunan bacaan surat Thaha. Keislamannya membawa kemuliaan bagi Islam dan kaum muslimin. Berapa banyak riwayat yang telah kita dengar yang menjelaskan tentang kisah kekuatan dan kesungguhannya dalam membela agama Allah, kecemburuannya terhadap perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah, kezuhudannya, wara`nya, keadilannya, serta kerendahan hatinya.
Adapun tentang keadaannya di saat bersama al-Qur`an tidak ragukan lagi. Beliau adalah seorang laki-laki yang senantiasa memahami ayat-ayatnya, menangis ketika membacanya, bersegera untuk membacanya, dan sangat perhatian terhadap bacaan al-Qur`anul Karim. Inilah sebagian atsar beliau ketika membaca al-Qur`an :
Dari Abdullah bin Syaddad –radhiyallahu `anhu- berkata, “Aku pernah mendengar isak tangis Umar, padahal ketika itu aku berada di shaf paling belakang pada shalat shubuh. Ketika itu ia sedang membaca surat :
إِنَّمَا أَشْكُوْا بَثِّيْ وَحُزْنِيْ إِلَى اللهِ
“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. (QS. Yusuf: 86)
Dia terus menangis hingga air matanya mengalir di atas kedua selangkangnya.”
Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata, “Dalam riwayat lain disebutkan bahwa itu terjadi ketika shalat Isya dan itu menunjukkan bahwa Umar bin al-Khaththab terus mengulang-ulang ayat tersebut.”
Dari Hisyam bin Husain –radhiyallahu `anhu- ia berkata, “Umar bin al-Khaththab pernah membaca al-Qur`an dan melewati satu ayat yang membuatnya sangat ketakutan (dalam beberapa riwayat lain membuatnya menangis terisak-isak), hingga ia limbung ke tanah dan tidak keluar dari rumahnya sehari atau dua hari. Maka orang-orang pun mengunjunginya dan menyangka ia sedang sakit.”
Dari Abi Ma`mar –radhiyallahu `anhu- menuturkan, “Umar bin al-Khaththab pernah membaca surat Maryam, kemudian ia sujud seraya berkata dalam sujudnya, “Aku telah bersujud lantas di mana tangisannya?” Itu ketika beliau membaca ayat :
خَرُّوْا سُجَّداً وَبُكِيّاً
“…..maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58)
Umar bin al-Khaththab –radhiyallahu `anhu- senantiasa menghidupkan al-Qur`an dalam setiap tingkah lakunya dan di mana iapun berada. Beliau pernah melewati rumahnya seorang pendeta, kemudian beliau memanggilnya, “Wahai pendeta!, (tatkala pendeta tersebut keluar) Umar memandangnya dengan penuh keprihatinan dan kemudian menangis.”
“Apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Amirul Mukminin?” Tanya pendeta tersebut.
Lalu Umar menjawab, “Aku teringat dengan firman Allah Ta’ala yang berbunyi :
عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً
“Bekerja keras lagi kepayahan. Memasuki api yang sangat panas (naar).” (QS. Al-Ghaasyiyah : 3-4)
Wahai Pendeta, ayat inilah yang membuat aku sekarang menangis.
Umar bin al-Khaththab –radhiyallahu `anhu- senantiasa memberi peringatan dengan al-Qur`an dan menasehati manusia dengan ayat-ayatnya. Dan pengaruhnya sangat berbekas di dalam hati karena disampaikan oleh orang yang benar-benar ikhlas (dalam menyampaikannya), dan itu dapat kita saksikan melalui sebuah kisah yang dinukil oleh Ibnu Katsir –rahimahullah- ketika beliau menafsirkan awal surat al-Mukmin.
Beliau –rahimahullah- berkata, “Seorang laki-laki pemberani dari Syam pernah digiring ke hadapan Umar bin al-Khaththab –radhiyallahu `anhu-. Namun Umar bin al-Khaththab enggan menemuinya, dan bertanya kepada para shahabatnya, ‘Apa yang telah dilakukan oleh si fulan?’ Mereka semua menjawab, ‘Ia senantiasa meminum khamr.’ Kemudian Umar bin al-Khaththab memanggil sekretarisnya seraya berkata, “Tulislah, dari Umar bin al-Khaththab kepada Fulan bin Fulan, semoga salam sejahtera senantiasa terlimpahkan kepadamu. Di hadapanmu Aku memuji Allah Yang mengampuni dosa dan menerima taubat lagi keras hukumanNya; Yang mempunyai karunia. Tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepadaNya-lah kembali (semua makhluk).”
Kemudian beliau berkata kepada para shahabatnya, “Berdo`alah kepada Allah untuk saudara kalian, semoga ia menerima surat (nasehat) ini dengan hati yang tulus dan semoga Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosanya.”
Tatkala surat tersebut sampai kepada laki-laki itu, iapun segera membaca surat tersebut dan mengulang-ulang bacaannya. Kemudian laki-laki tersebut berkata,
“Yang mengampuni dosa dan menerima taubat lagi keras hukumanNya; Yang mempunyai karunia. Tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepadaNya-lah kembali (semua makhluk). (QS. Al-Mukmin : 3).
Allah Ta’ala telah mengingatkanku akan adzabNya yang amat pedih, dan menjanjikan kepadaku untuk mengampuni dosa-dosaku.” Ia terus mengulang-ulang kalimat tersebut dalam dirinya hingga kedua matanya bercucuran dengan air mata. Kemudian ia menghentikan minuman khamrnya dan memperbaiki keislamannya. Ketika berita tersebut sampai kepada Umar bin al-Khaththab ia berkata, “Demikianlah, jika kalian melihat saudara kalian terperosok dalam kehinaan (kemaksiatan) maka ingatkanlah ia (dengan kitab Allah Ta’ala.-pent.), dan berdo`alah kepada Allah Ta’ala untuknya semoga Dia mengampuni dosa-dosanya. Dan janganlah kalian menjadi penolong-penolong syeitan dalam menyesatkannya.”
Dikutip dari buku “Mengapai Syafa’at al-Qur’an” penulis: Manshur bin Muhammad al-Muqrin, Abdullah bin Ibrahim al-Luhaidan, Daar An-Naba’
http://an-naba.com/
Selengkapnya...
Menangis ketika Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat
Jennifer, seorang remaja putri berasal dari Kanada, sudah lebih dari tiga pekan ingin mengenal ajaran Islam. Ia sedang mencari hakikat Islam yang sesungguhnya. Ketika itu ia berusia 18 tahun. Namun ia tidak seperti umumnya gadis keturunan Kanada.
Saya (Penulis) ingin mengetahui sejauh mana pengenalan wanita ini terhadap ajaran Islam.
Saya bercerita kepada wanita itu seputar al-Quran al-Karim. Al-Quran itu adalah sebuah kitab mukjizat yang seluruh jagat raya ini membenarkan bahwa Islam adalah agama yang benar.
Al-Quran tidak pernah mengalami perubahan semenjak lebih 1400 tahun yang lalu. Tulisan al-Quran, baik di Mesir, di Amerika, di Cina dan di Jepang adalah sama.
Saya mengajaknya berbicara seputar pembahasan kebenaran Islam dari sisi ilmiah yang berkaitan dengan dunia. Setelah melalui beberapa perbandingan di luar kebiasaan dalam hal teknologi dan beberapa cabang ilmu kontemporer serta mengajukan beberapa perantara riset ilmiah yang bersangkutan. Kemudian menjelaskan bahwa kebenaran semua teknologi itu sudah ada di dalam kitabullah semenjak Rasulullah diutus di padang pasir Mekkah.
Saya menyampaikan kepadanya tentang tantangan Allah kepada penduduk jazirah Arab untuk menandingi Allah. Mereka ditantang untuk membuat sebuah kitab seperti al-Quran, karena mereka memiliki keahlian dalam berbahasa dan memiliki kata-kata yang indah. Ternyata mereka tidak mampu menandingi keagungan al-Quran ini.
Beberapa hari kemudian, wanita itu kembali bertanya tentang Islam kepada saya, dan ia ingin mengetahui jawabannya. Sampailah pertanyaannya itu seputar hari raya kaum Muslimin. Lalu saya menjawab dan menjelaskan kepadanya bagaimana kaum Muslimin merayakan hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul ‘Adhha.
Lalu saya katakan kepada wanita itu, “Aku ingin, anda memeluk Islam!”
Wanita itu menjawab, “Ya, aku mengerti.”
Saya berkata dan hatinya penuh kegembiraan sembari memuji Allah, “Benarkah ?”
Wanita itu menjawab, “Benar.”
Kemudian saya meminta nomor teleponnya, dan ia memberikan nomor tersebut.
Pada pertemuan berikutnya, saya katakan kepadanya, “Sebelumnya telah aku jelaskan kepada anda bagaimana caranya agar dapat dengan mudah memeluk Islam. Dan sekarang tinggal pelaksanaan saja.”
Saya telah menjelaskan kepadanya makna dua kalimat syahadat dengan bahasa Inggris. Kemudian saya berkata kepadanya, “Ikutilah bacaanku !”
(Asyhadu….Alla…. Ilaha….Illa… Allah).
Lalu wanita itu mengikuti bacaan itu dengan suara sedikit demi sedikit menjadi jelas. Lalu saya membacakan kepadanya, (Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah), lalu wanita itu mengucapkan kalimat itu dengan suara yang jauh lebih jelas, sampai ia menangis dengan suara yang amat keras.
Saya bertanya kepadanya, “Apa yang menyebabkan anda menangis. Apakah anda bersedih ?”
Wanita itu menjawab, “Air mataku bukan air mata kesedihan.”
Saya bertanya kepadanya, “Kalau begitu, kenapa anda menangis? Demi Allah, sekarang anda berada dalam kebaikan yang amat besar. Anda telah dipilih Allah untuk memperjuangkan Islam di tengah-tengah jutaan manusia yang meninggalkan ajaran islam, dan di antara kaum Muslimin yang tidak berpegang teguh terhadap agama mereka. Lalu tahukah anda penyebab tangisan itu ?” Ia menjawab sambil terus menangis, “Aku tidak mengerti.”
Saya menjelaskan bagaimana Allah memuliakannya dengan nikmat tersebut. Allah telah mengampuni segala dosa-dosanya sebelum ia memeluk Islam. Saya sendiri memintanya agar memohon kepada Allah untuk mengampuni segala dosa-dosanya. Wanita itu tidak begitu mendengarkan ucapan saya karena ingin segera mulai belajar shalat. Hal itu sangat ditekuninya sampai ia dapat menerima ajaran Islam dengan jelas tentang aturan shalat.
Setelah berselang beberapa lama, wanita itu datang untuk kembali berdialog. Saya bertanya, “Kenapa dahulu anda menangis ?”
Ia menjawab, “Aku tidak tahu mengapa aku melakukan hal itu. aku tidak bisa mengetahui kenapa aku sampai menangis. Aku merasakan hal yang aneh. Aku telah merasakan kebahagiaan dalam hatiku. Aku merasakan ketentraman dan rasa cinta. Dan aku telah merasakan ajaran Islam yang sesungguhnya.”
Demi Allah, banyak sekali di antara kita yang tidak merasakan hal yang demikian. Bahkan terkadang ada yang telah membaca al-Qur’an, namun tidak mempercayainya. Allah telah menjadikan al-Quran itu sebagai penyembuh setiap hati yang sakit. Dan telah menjadikan Islam sebagai solusi segala kesulitan yang dihadapi manusia. Betapa mengagumkan ketika perasaan yang demikian itu timbul di dalam dada setiap Muslim yang baru memeluk agama Islam.
Marilah kita memohon kepada Allah Ta’ala agar Allah Ta’ala mengampuni segala dosa-dosanya dan memaafkan segala kesalahannya serta menjaga perjalannya menuju Islam. janganlah kita melupakannya setiap permohonan baik kita kepada Allah.[1]
Dikutip dari “Ketika Hidayah Menyapa” penulis Khalid Abu Shalih
Berisi kisah-kisah nyata wanita-wanita muallaf dari berbagai Negara dalam mendapatkan hidayah dari Allah Ta’ala melalui caraNya yang khas. Kisah-kisah ini bias menjadi pelajaran berharga untuk meningkatkan keimanan dan istiqamah dalam DienNya
[1] Sumber, “Mauqiq Iza’ah Thariqah Al-Islam.”
http://an-naba.com/
Selengkapnya...
Jumat, 10 Desember 2010
Hukum Mencium Tangan dan Membungkukkan Badan
Tanya: “Ustadz benarkah bahwa mencium tangan orang dan membungkukkan badan maka hal tersebut bukanlah syariat Islam melainkan ajaran kaum feodalis? Jika demikian, mohon dijelaskan. Jazakumullah”.
Jawab:
Ada beberapa hal yang ditanyakan:
Pertama, masalah cium tangan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan,
“Tentang cium tangan dalam hal ini terdapat banyak hadits dan riwayat dari salaf yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadits tersebut shahih dari Nabi. Oleh karena itu, kami berpandangan bolehnya mencium tangan seorang ulama (baca:ustadz atau kyai) jika memenuhi beberapa syarat berikut ini.
1. Cium tangan tersebut tidaklah dijadikan sebagai kebiasaan. Sehingga pak kyai terbiasa menjulurkan tangannya kepada murid-muridnya. Begitu pula murid terbiasa ngalap berkah dengan mencium tangan gurunya. Hal ini dikarenakan Nabi sendiri jarang-jarang tangan beliau dicium oleh para shahabat. Jika demikian maka tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan yang dilakukan terus menerus sebagaimana kita ketahui dalam pembahasan kaedah-kaedah fiqh.
2. Cium tangan tersebut tidaklah menyebabkan ulama tersebut merasa sombong dan lebih baik dari pada yang lain serta menganggap dirinyalah yang paling hebat sebagai realita yang ada pada sebagai kyai.
3. Cium tangan tersebut tidak menyebabkan hilangnya sunnah Nabi yang sudah diketahui semisal jabat tangan. Jabat tangan adalah suatu amal yang dianjurkan berdasarkan perbuatan dan sabda Nabi. Jabat tangan adalah sebab rontoknya dosa-dosa orang yang melakukannya sebagaimana terdapat dalam beberapa hadits. Oleh karena itu, tidaklah diperbolehkan menghilangkan sunnah jabat tangan karena mengejar suatu amalan yang status maksimalnya adalah amalan yang dibolehkan (Silsilah Shahihah 1/159, Maktabah Syamilah).
Akan tetapi perlu kita tambahkan syarat keempat yaitu ulama yang dicium tangannya tersebut adalah ulama ahli sunnah bukan ulama pembela amalan-amalan bid’ah.
Kedua, membungkukkan badan sebagai penghormatan
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَنْحَنِى بَعْضُنَا لِبَعْضٍ قَالَ « لاَ ». قُلْنَا أَيُعَانِقُ بَعْضُنَا بَعْضًا قَالَ لاَ وَلَكِنْ تَصَافَحُوا
Dari Anas bin Malik, Kami bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apakah sebagian kami boleh membungkukkan badan kepada orang yang dia temui?”. Rasulullah bersabda, “Tidak boleh”. Kami bertanya lagi, “Apakah kami boleh berpelukan jika saling bertemu?”. Nabi bersabda, “Tidak boleh. Yang benar hendaknya kalian saling berjabat tangan” (HR Ibnu Majah no 3702 dan dinilai hasan oleh al Albani).
Dari uraian di atas semoga bisa dipahami dan dibedakan antara amalan yang dibolehkan oleh syariat Islam dan yang tidak diperbolehkan.
http://ustadzaris.com/
Selengkapnya...
Hukum Wanita Memakai Celana Panjang
Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullah ditanya, “Apa hukum memakai celana panjang bagi para wanita ketika bukan di hadapan suaminya?
Beliau rahimahullah menjawab,
Tidak boleh bagi seorang wanita di hadapan selain suaminya untuk mengenakan celana seperti itu karena jika ia mengenakan seperti itu maka itu akan menampakkan bentuk lekuk tubuhnya.Padahal para wanita diperintahkan untuk mengenakan pakaian yang menutupi seluruh badannya[1]. Wanita adalah biang fitnah (mudah menggoda yang lainnya). Segala sesuatu yang menampakkan bentuk lekuk tubuhnya diharamkan untuk ditampakkan pada pria atau pada wanita dan selainnya, kecuali pada suaminya. Suaminya boleh saja melihat dirinya, yaitu pada seluruh badannya. Wanita boleh saja menggunakan celana panjang yang longgar atau yang sempit sekali pun, atau semacamnya. Wallahu a’lam.
[Syaikh Ibnu Jibrin, An Nukhbah minal Fatawa An Nisaiyah[2]]
Syaikh Sulaiman bin ‘Abdillah Al Maajid ketika ditanya masalah ini menjawab,
“Jika celana tersebut longgar dan menutupi hingga lutut, maka boleh dikenakan di hadapan para wanita dan mahromnya. Adapun jika celana tersebut sempit, maka tidak boleh ditampakkan pada wanita lainnya kecuali pada suaminya saja. Wallahu a’lam.”[3]
***
Fatwa ini kami sertakan untuk menjawab pertanyaan Ummu Shafiyyah di kolom konsultasi Rumaysho.com di sini. Semoga bermanfaat.
Prepared after Zhuhur in Riyadh, KSA, 25 Dzulhijjah 1431 H (01/12/2010)
By: Muhammad Abduh Tuasikal
www.rumaysho.com
Selengkapnya...
Doakanlah Saudaramu di Saat Dia Tidak Mengetahuinya
Inilah mungkin yang banyak dilupakan oleh banyak orang atau mungkin belum diketahui. Padahal di antara do’a yang mustajab (terijabahi/terkabul) adalah do’a seorang muslim kepada saudaranya.
Berikut kami bawakan beberapa hadits yang shahih yang dibawakan oleh Bukhari dalam kitabnya Adabul Mufrod. Bukhari membawakan bab dalam kitabnya tersebut: Bab278- Do’a Seseorang kepada Saudaranya di Saat Saudaranya Tidak Mengetahuinya. Semoga bermanfaat.
Dari Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
"إن دعوة الأخ في الله تستجاب"
“Sesungguhnya do’a seseorang kepada saudaranya karena Allah adalah do’a yang mustajab (terkabulkan).“
(Shohih secara sanad)
Hadits kedua
Dari Shofwan bin ‘Abdillah bin Shofwan –istrinya adalah Ad Darda’ binti Abid Darda’-, beliau mengatakan,
قدمت عليهم الشام، فوجدت أم الدرداء في البيت، ولم أجد أبا الدرداء. قالت: أتريد الحج العام ؟ قلت : نعم. قالت: فادع الله لنا بخير؛ فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول
“Aku tiba di negeri Syam. Kemudian saya bertemu dengan Ummud Darda’ (ibu mertua Shofwan, pen) di rumah. Namun, saya tidak bertemu dengan Abud Darda’ (bapak mertua Shofwan, pen). Ummu Darda’ berkata, “Apakah engkau ingin berhaji tahun ini?” Aku (Shofwan) berkata, “Iya.”
Ummu Darda’ pun mengatakan, “Kalau begitu do’akanlah kebaikan padaku karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,”
: "إن دعوة المرء المسلم مستجابة لأخيه بظهر الغيب، عند رأسه ملك موكل، كلما دعا لأخيه بخير، قال: آمين، ولك بمثل". قال: فلقيت أبا الدرداء في السوق، فقال مثل ذلك، يأثر عن النبي صلى الله عليه وسلم.
“Sesungguhnya do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.”
Shofwan pun mengatakan, “Aku pun bertemu Abu Darda’ di pasar, lalu Abu Darda’ mengatakan sebagaimana istrinya tadi. Abu Darda’ mengatakan bahwa dia menukilnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Shohih) Lihat Ash Shohihah (1399): [Muslim: 48-Kitab Adz Dzikr wad Du’aa’, hal. 88]
Hadits ketiga
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, beliau berkata bahwa seseorang mengatakan,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَلِمُحَمَّدٍ وَحْدَنَا
“Ya Allah ampunilah aku dan Muhammad saja!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
لَقَدْ حَجَبْتَهَا عَنْ نَاسٍ كَثِيرٍ
“Sungguh engkau telah menyempitkan do’amu tadi dari do’a kepada orang banyak.”
(Shohih) Lihat Al Irwa’ (171): [Bukhari: 78-Kitab Al Adab, 27-Bab kasih sayang terhadap sesama manusia dan terhadap hewan ternak, dari Abu Hurairah]
Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits-hadits di atas
Pertama: Islam sangat mendorong umatnya agar dapat mengikat hubungan antara saudaranya sesama muslim dalam berbagai keadaan dan di setiap saat.
Kedua: Do’a seorang muslim kepada saudaranya karena Allah di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang sangat utama dan do’a yang akan segera terijabahi (mustajab). Orang yang mendo’akan saudaranya tersebut akan mendapatkan semisal yang didapatkan oleh saudaranya.
Ketiga: Ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’a seorang muslim kepada suadaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya.
Keempat: Malaikat tidaklah mengaminkan do’a selain do’a dalam kebaikan.
Kelima: Sebagaimana terdapat dalam hadits ketiga di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari Arab Badui di mana dia membatasi rahmat Allah yang luas meliputi segala makhluk-Nya, lalu dibatasi hanya pada dirinya dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.
Inilah beberapa pelajaran berharga dari hadits di atas. Janganlah lupakan saudaramu di setiap engkau bermunajat dan memanjatkan do’a kepada Allah, apalagi orang-orang yang telah memberikan kebaikan padamu terutama dalam masalah agama dan akhiratmu. Ingatlah ini!
Semoga Allah selalu menambahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com Selengkapnya...