Di antara hal yang sebaiknya diperhatikan oleh pemberi nasihat adalah hendaknya ia menjaga kehormatan dirinya, tidak mengerahkan segala ilmunya, dan tidak memberikan (nasihat) kepada mereka yang tidak mampu menerimanya atau tidak menginginkannya.
Adapun hikmah di balik hal tersebut adalah agar ia tidak memberikan nasihatnya kecuali pada tempat yang sesuai dan pada waktu yang baik untuk memberikan nasihat padanya. Adapun bila kondisi dan situasinya tidak sesuai atau para pendengarnya menyingkir darinya dan tidak menginginkan pembicaraannya, maka seyogyanya ia tidak memberikan nasihatnya. Contohnya, para pendengar sedang dalam walimah pernikahan dimana saat itu mereka sedang tenggelam dalam percakapan serius dan saling memberikan salam (kepada para tamu).
Namun, apabila kondisi tempatnya memungkinkan dan para pendengarnya telah siap mendengarkan nasihatnya, maka bolehlah ia memberikannya walaupun ada sebagian dari mereka yang disibukkan dengan hal-hal lain.
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma bahwasannya ia berkata :
وَلَا أُلْفِيَنَّكَ تَأْتِي الْقَوْمَ وَهُمْ فِيْ حَدِيْثٍ مِنْ حَدِيْثِهِمْ، فَتَقُصُّ عَلَيْهِمْ، فَتَقْطَعُ عَلَيْهِمْ حَدِيْثَهُمْ فَتُمِلُّهُمْ، وَلَكِنْ أَنْصِتْ، فَإِذَا أَمَرُوْكَ فَحَدِّثْهُمْ وَهُمْ يَشْتَهُوْنَهُ
“Janganlah aku mendapatkan kamu mendatangi suatu kaum sedang mereka dalam pembicaraannya, lalu kamu memberikan kisahmu pada mereka dan memotong pembicaraan mereka dengannya, maka kamu telah membuat mereka bosan. Tapi, duduk dan diamlah. Apabila mereka memintamu untuk berbicara, maka berbicaralah kepada mereka sedang mereka mendengarkannya”.[1]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam penjelasannya terhadap perkataan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma tersebut :
وفيه كراهة التحديث عند من لا يقبل عليه؛ والنهي عن قطع حديث غيره، وأنه لا ينبغي نشر العلم عند من لا يحرص عليه ويحدث من يشتهي بسماعه لأنه أجدر أن ينتفع به
“Bahwasannya makruh bercakap-cakap dengan siapa yang kurang respon terhadap percakapan kita dan larangan memotong pembicaraan orang lain. Sesungguhnya tidak seharusnya menyebarkan ilmu kepada orang yang tidak menginginkannya. Namun sebaiknya hanya bercakap-cakap dengan siapa yang ingin mendengarkannya, karena hal tersebut lebih pantas dan lebih memberikan manfaat”.[2]
Al-Khathiib Al-Baghdadiy rahimahullah telah membuat suatu bab dalam kitabnya, Al-Jaami’, dengan judul bab كراهة التحديث لمن لا يبتغيه وان من ضياعه بذله لغير اهليه - Karaahatut-Tahdiits liman Laa Yabtaghiihi wa Anna Dlayaa’ahu Badzlahu lighairihi Ahlihi (Tidak Disukai Berbicara kepada Orang yang Tidak Menginginkannya dan Bahwa yang Termasuk dari Menyia-Nyiakannya adalah Jika yang Berbicara Bukan Ahlinya), kemudian menyebutkan di dalamnya beberapa riwayat.
Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan dengan sanadnya sendiri dari Masruq bahwasannya ia berkata :
لا تنشر بزك الا عند من يبغيه قال عبدالله قال ابي يعني الحديث
“Janganlah kamu menyebarkan kelebihanmu kecuali kepada orang yang menginginkannya”.
‘Abdullah berkata : Telah berkata bapakku (Al-Imam Ahmad rahimahullah) : “Yaitu al-hadiits”.[3]
Lalu ia meriwayatkan dengan sanadnya sendiri dari Mutharrif rahimahullah bahwasannya ia berkata :
لا تطعم طعامك من لا يشتهيه أي لا تحدث بالحديث من لا يريده
“Janganlah kamu memberikan makanan kepada orang yang tidak menginginkannya, yaitu janganlah kamu bercakap-cakap dengan suatu obrolan dengan orang lain yang tidak menginginkannya”.[4]
Telah diriwayatkan dari Al-Mughiirah rahimahullah bahwasannya ia berkata :
اني لاحتسب في منعي الحديث كما تحتسبون في بذله
“Sesungguhnya aku telah merasa cukup puas dalam hal menahan percakapanku seperti halnya kalian merasa puas dengan mengeluarkannya”.[5]
Demikianlah, sehingga jelaslah bagi kita dari semua penjelasan dan riwayat yang telah lewat bahwasannya seorang da’i harus memiliki telinga yang peka dan mengerti apa yang diucapkan oleh mulutnya. Kalau tidak, maka pembicaraannya akan seperti kapas yang terbang kesana-kemari tidak ada artinya.
Maka, kedudukan ilmu dan nasihat akan dipandang remeh pada manusia apabila mereka melihat orang yang sering memberikannya dalam posisi yang dibenci, seperti berpalingnya manusia darinya atau umpatan mereka terhadapnya. Bahkan, sebagian mereka sudah berlebihan dengan berkata :
يَسْتَوْجِبُ الصَّفْعَ فِي الدُّنْيَا ثَمَانِيَةٌ
لَا لُوْمَ فِيْ وَاحِدٍ مِنْهُمْ إِذَا صَفَعَا
“Yang berhak ditampar di dunia ada delapan,
tidak terhina orang yang menampar salah satu di antara mereka.
kemudian dikatakan :
وَمُتْحِفٌ بِحَدِيْثٍ غَيْرَ سَامِعِهِ
وَدَاخِلٌ فِيْ حَدِيْثٍ اثْنَيْنِ مُنْدَفِعًا
“Dan yang banyak berbicara tanpa pendengarnya
dan seorang yang ikut dalam pembicaraan dua orang yang sedang asyik”.[6]
Tidak termasuk dalam bahasan ini adalah seorang yang melihat orang lain dalam keadaan melakukan kemunkaran lalu ia ingin mengingkari mereka dengan sebuah nasihat yang ia ucapkan untuk mereka. Maka orang seperti ini tidak dicela apabila ia ingin merubah kemunkaran, khususnya jika dalam lingkup kebijaksanaan; dan ia tidak dikecam apabila mereka membenci nasihatnya dan mengingkarinya.
Kondisi seperti ini berbeda dengan kondisi sebelumnya, dimana itu adalah kondisi dengan maksud mengingkari, sedangkan yang sebelumnya adalah kondisi memberikan nasihat secara umum.
[Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd hafidhahullah].