”Yaa muqallibal qulub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika”

”Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu”

Aamiin...

(Hadist Riwayat at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Hakim dishahihkan oleh adz-Dzahabi)

Jumat, 12 November 2010

“Petir Saraf” Pemicu Ayan

Minggu, 04 Juli 2010
Selain kejang, seorang yang tidak merespons sesuatu juga ciri lain epilepsi.

“Adi, ayo main bola lagi...!”. Tentu sebagian dari Anda masih ingat kalimat iklan kesehatan yang sempat mucul di layar kaca pada awal dekade 1990-an itu.

Kalimat itu diucapkan seorang anak yang mengajak temannya bernama Adi yang notabene penderita epilepsi.

Iklan kemudian ditutup dengan penjelasan ibu Adi bahwa epilepsi bukan penyakit menular dan bukan penyakit turunan. Sampai saat ini epilepsi memang masih dianggap kutukan. Karena bukan menular, juga bukan keturunan. Kambuhnya penyakit ini pun ibarat gempa yang tidak bisa diprediksi kapan terjadi.

Tengok saja yang terjadi pada 20 Mei siang silam, seorang bernama Atin menjadi korban akibat ditabrak seorang pengendara mobil yang mendadak epilepsinya kambuh. Akhirnya Atin yang ketika itu sedang jalan santai di Senayan, tidak mampu diselamatkan nyawanya.

Namun menurut Mursyid Bustami, SpS (K), KIC, dokter spesialis saraf dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo kembali menegaskan bahwa stigma masyarakat seperti itu tidaklah benar. Epilepsi bukan penyakit yang misterius apalagi kutukan.

Penyakit ini terjadi karena cetusan listrik yang berlebihan di otak seseorang. Akibatnya manifestasi berupa gerakan abnormal.

Jika gerakan abnormal dengan tipe yang sama tersebut terjadi dua kali, maka dengan bantuan alat bernama elektro encephalo graphy atau EEG memastikan bahwa orang itu menderita epilepsi.

Gejala epilepsi bermacammacam. Dapat terjadi secara parsial atau hanya terjadi pada salah satu bagian tubuh penderita.

Seperti tangan yang tidak terkontrol gerakannya selama satu sampai dua menit. Bisa juga berupa kejang-kejang.

“Kalau kejang-kejang, orang biasa mengenalnya dengan ayan. Namun sebenarnya gejalanya juga bisa yang lain, misalnya diare terus atau orang yang seperti melamun dan tidak menerima respons apapun dari luar,” urai Mursyid.

Mursyid menjelaskan, dalam otak manusia sebenarnya terdapat gelombang-gelombang listrik yang iramanya terjadi secara teratur. Pada penderita epilepsi, gelombang tersebut diibaratkan berubah menjadi petir. Itulah yang menyebabkan timbulnya gejala.

Ditambahkannya, penyebab berubahnya gelombang listrik yang teratur menjadi petir pada penderita epilepsi dapat digolongkan dalam dua hal.

Pertama yang disebut epilep si simptomatik. Dan yag kedua disebut epilepsi idiopatik. Epilepsi simptomatik, penyebabnya jelas.

Contohnya, penderita yang didera dua penyakit yang mengganggu jaringan otak, yakni tumor otak atau orang yang baru sembuh dari stroke.

“Penderita ini ada kelainan pembuluh darah di otaknya, Jadi, itu sebagai generator munculnya kejang- kejang itu,” ungkap Mursyid.

Sedangkan epilepsi idiopatik, penyebabnya tidak dapat dijelaskan secara struktural. Dengan kata lain, struktur otak dinyatakan normal dengan menggunakan EEG. Akan tetapi, jika diperiksa lebih lanjut dengan magnetic resonance imaging (MRI), akan terlihat bahwa proses kerja otak penderita terganggu.

Sehingga yang terjadi adalah gangguan fisiologis. “Kalau dikasih obat masih timbul kejang, maka dianjurkan pemeriksaan MRI.

Jangan-jangan ada kelainan di pembuluh otaknya, misalnya tumor,” tambah dia. Dengan mengetahui penyebab munculnya bangkitan listrik yang abnormal tadi, sangat dianjurkan bagi penderita epilepsi menjauhi pemicunya. Khususnya untuk epilepsi idiopatik, misalnya sangat dibutuhkan kondisi emosional yang stabil.

Sebab, bila mereka merasa terlalu bahagia atau sedih, lecutan listrik berlebih di saraf bisa terjadi. Selain itu, kondisi fisik juga sangat mempengaruhinya. Misalnya kurang tidur, terlambat makan, dapat mencetuskan serangan.

“Karena ka lau terlambat makan asupan gula yang dibutuhkan otak tidak ada. Sehing ga membuat tidak stabil,” ujar Mursyid. Hidup Normal Setelah ditemukan penyebabnya, baru dapat direncanakan program terapinya.

Sampai saat ini, terapi yang diyakini dapat menyembuhkan penderita epilepsi baru berupa terapi obat minum. Menurut Mursyid, sedikitnya 20 persen kasus epilepsi dapat disembuhkan dengan terapi ini Sementara hanya sekitar 10 persen saja yang dinyatakan tidak dapat disembuhkan.

Pada epilepsi yang tidak dapat disembuhkan meski telah dicoba berbagai macam obat, disebut inractable epilepsi. Sementara sebagian kasus penderita yang lainnya terkontrol dengan obat. Yaitu, bisa dikenda li kan pemunculan serangannya de ngan mengonsumsi obat.

“Syaratnya pengobatan dalam epilepsi itu harus minum obat secara teratur. Se suai jadwal, tidak boleh berhenti.

Saat memulai terapi obat, dia harus minum obat selama minimal dua tahun bebas kejang, bebas serangan, bebas bangkitan,” tuturnya. Dengan bukti tersebut, Mursyid mengatakan, epilepsi bukanlah penyakit yang tidak bisa disembuhkan.

Contohnya pada Gadis, sebut saja demikian namanya. Perempuan berusia 27 tahun ini mampu menyelesaikan pendidikannya di perkuliahan dengan baik. Bahkan, kata Mursyid, tidak lama lagi dia segera menikah.

Padahal Gadis diadiagnosa menderita epilepsi idiopatik (tanpa disertai tumor atau infeksi otak) ketika duduk di sekolah menengah. Sejak saat itu, dia menjalani terapi obat hingga selama dua tahun. Dimulai dari dosis tinggi hingga dikurangi secara bertahap. Dan kini Gadis total tidak lagi mengonsumsi obat.

Gadis hanyalah potret kecil penderita epilepsi yang mampu beraktivitas dan berkarya layaknya orang normal. Selain dia, terdapat sederet nama figur dunia. Sebut saja novelis ternama Agatha Christie, negarawan asal Inggris Winston Churchill, atau fisikawan Isaac Newton.

“Mereka bisa hidup normal karena memang penderita epilepsi bisa hidup normal dan berpikir normal,” tegas Mursyid.

Serangan Mendadak Meski demikian, serangan epilepsi memang tidak bisa diprediksi. Bahkan si penderita tidak menyadari serangan itu akan datang. Alhasil penanganan penderita epilepsi yang kambuh butuh kehati-hatian.

Misalnya, ketika seorang anak dan dia sedang bermain di lapangan, kata Mursyid, ikuti saja permainannya.

Tapi kita yang membuat lapangan permainannya sehingga mudah dipantau. Kemudian, jangan pernah memberi minum ketika dia kejangkejang. “Soalnya dia dalam posisi tidak sadar, tidak akan bisa minum.

Salah-salah malah tersedak,” ujar dia. Kemudian, aturlah dan pindahkanlah si penderita itu ke posisi aman sehingga dia bertindak abnormal yang mungkin mencelakainya.

Misalnya, ketika itu di rumah, segeralah lindungi kepala si penderita bila kejang dengan bantal. Atau misalnya terjadi di pinggir jalan, geserlah ke pinggir jalan. Selanjutnya, tidak perlu mengekang atau menahan kejang si penderita.

Karena kekangan itu justru membuat tubuhnya sakit ketika kembali sadar. Toh, serangan itu hanya terjadi satu hingga dua menit. Biasanya serangan itu diikuti hipersekresi air liur.

Sehingga saat kejang mulai mereda, terjadi produksi air liur yang berlebihan dan napas yang tersengal-sengal.

Mursyid menekankan bahwa air liur penderita epilepsi tidaklah berbahaya apalagi menular. “Bila sudah mulai reda, badannya dimiringkan agar ludahnya tidak tersedot ke pernapasannya. Bila sudah sadar baru diberi air minum,” terang Mursyid.

Mursyid mengimbuhkan, penerimaan masyarakat di luar negeri terhadap penderita epilepsi sudah terbuka. Mereka tidak lagi mengolok atau menganggap rendah orangorang yang hidup dengan epilepsi.

“Bahkan kalau di sana penderita epilepsi diberi identitas sehingga ketika dia pergi orang bisa tahu dan bisa membantu bila kambuh,” papar dia.

Sayangnya, cara itu belum dipraktikkan di Indonesia. Padahal kasus penderita epilepsi lebih banyak terjadi di negara berkembang seperti di Indonesia.
im suryani


http://www.koran-jakarta.com/