”Yaa muqallibal qulub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika”

”Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu”

Aamiin...

(Hadist Riwayat at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Hakim dishahihkan oleh adz-Dzahabi)

Kamis, 25 November 2010

Kumis Pak Raden

Di antara ajaran kebersihan yang dituntunkan oleh Islam adalah memangkas kumis. Bahkan Syeikh Said al Qohthoni Sholat al Mukmin 1/22 menegaskan bahwa hukum memotong kumis itu wajib berdasarkan hadits,

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا ».

Dari Zaid bin Arqom, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang tidak memotong sebagian kumisnya maka dia bukan bagian dari kami” (HR Ahmad no 19292, Syeikh Syu’aib al Arnauth mengatakan, “Sanadnya Shahih”).
Inilah pendapat yang lebih kuat dibandingkan pendapat yang mengatakan bahwa hukum potong kumis adalah dianjurkan mengingat hadits di atas.

Sebagian orang demikian semangat untuk melaksanakan kewajiban ini sampai-sampai mereka cukur habis kumisnya sehingga tidak tersisa satu helai pun. Tepatkah tindakan semacam ini?

Jawabannya terdapat dalam hadits berikut ini:

عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ ضِفْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ لَيْلَةٍ فَأَمَرَ بِجَنْبٍ فَشُوِىَ وَأَخَذَ الشَّفْرَةَ فَجَعَلَ يَحُزُّ لِى بِهَا مِنْهُ – قَالَ – فَجَاءَ بِلاَلٌ فَآذَنَهُ بِالصَّلاَةِ – قَالَ – فَأَلْقَى الشَّفْرَةَ وَقَالَ « مَا لَهُ تَرِبَتْ يَدَاهُ ».قال : وكان شاربه قد وفى فقال له : ( أقصه لك على سواك ؟ ) أو : ( قصه على سواك )

Dari al Mughirah bin Syu’bah, “Aku dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertamu di tempat seseorang pada suatu malam. Beliau meminta lambung kambing yang dibakar. Beliau lantas mengambil pisau dan memotong daging kambing tersebut dengan pisau. Tak lama setelah itu Bilal datang untuk memberi tahu bahwa waktu shalat sudah tiba. Nabi lantas meletakkan pisau dan bersabda, “Mengapa Bilal berbuat seperti itu, celakalah dia”. al Mughirah berkata, “Kumis Bilal lebat maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal, ‘Aku akan memotong kumismu dengan beralaskan kayu siwak atau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Potonglah kumismu dengan beralaskan kayu siwak’ (HR Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyyah dan dinilai shahih oleh al Albani dalam Mukhtashar Syamail no 140).

Celaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Bilal dalam hadits di atas dikarenakan beliau tidak suka perbuatan Bilal yang mengganggu acara makan beliau padahal waktu shalat masih sangat longgar karena jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti makan di tengah jalan tentu akan menyakiti hati dan perasaan yang sedang menjamu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Yang dimaksud memotong kumis dengan beralaskan kayu siwak adalah kayu siwak diletakkan di bawah kumis baru kumisnya dipotong dengan maksud agar bibir tidak terganggu karena sedang memotong kumis.

Dalam al Mawahib al Muhammadiyyah termaktub, “Hadits tersebut menunjukkan dianjurkan membantu orang lain untuk memotong kumis dan mengajarinya cara memotong kumis. Hendaknya tidak berlebih-lebihan dalam memangkas kumis (baca: menggerok atau memangkas habis kumis) bahkan cukup dipangkas hingga merahnya bibir atas itu terlihat jelas. Karena jika yang diharapkan seluruh kumis terpangkas habis tanpa ada yang tersisa satupun tentu tidak perlu kayu siwak diletakkan di bawah kumis. Jelas fungsi kayu siwak di bawah kumis untuk menunjukkan bahwa yang dipangkas adalah rambut kumis yang melewati batang kayu siwak” (al Mawahib al Muhammadiyyah bi Syarh al Syamail al Muhammadiyyah 1/385, cetakan Dar al Kutub al Ilmiyyah).

Perlu diperhatikan bahwa tidak memangkas habis kumis adalah suatu hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan sebagaimana dalam hadits di atas.
Yahya bin Syaraf an Nawawi mengatakan, “Adapun memotong kumis maka hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Dianjurkan memotong kumis dimulai dari sebelah kanan. Memotong kumis bisa dilakukan sendiri, boleh juga dengan meminta bantuan orang lain karena hal itu pun juga bisa mewujudkan yang dimaksudkan tanpa merusak muruah (kehormatan). Lain halnya dengan mencukur bulu ketiak dan bulu di sekita kemaluan (yaitu tidak boleh dengan meminta bantuan orang lain, pent).

Menurut pendapat yang paling kuat tentang batasan kumis yang perlu dipotong adalah dengan memangkasnya hingga pinggiran bibir atas terlihat jelas dan tidak perlu memangkas habis kumis hingga tidak tersisa sedikitpun.

Sedangkan riwayat yang berbunyi
( أَحْفُوا الشَّوَارِب )

“Pangkas habislah kumis” maka maknanya yang tepat adalah pangkas habislah rambut kumis yang melebihi dua bibir (al Minhaj, Syarh Muslim 1/414, Syamilah).
Al Albani berkata, “Yang dimaksud oleh hadits adalah bersungguh-sungguh memotong kumis yang menutupi bibir bukan mengerok kumis seluruhnya. Memotong habis kumis adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah amaliah (praktek Nabi). Oleh karena itu, ketika Imam Malik ditanya tentang orang yang memangkas habis kumisnya beliau berkata, “Aku berpandangan bahwa orang tersebut perlu dihukum dengan dipukuli”. Imam Malik juga berkata kepada orang yang mengerok kumisnya, “Ini adalah bid’ah yang muncul di tengah-tengah banyak orang” (Riwayat Baihaqi 1/151, lihat Fathul Bari 10/285).

Oleh karena itu, Imam Malik memiliki kumis yang banyak. Ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau menjawab, ‘Zaid bin Aslam telah bercerita kepadaku dari Amir bin Abdullah bin az Zubair bahwa Umar jika marah memelintir kumisnya dan kumisnya nampak membesar’ (Riwayat Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir dengan sanad yang shahih)” (Adab al Zifaf hal 137, al Maktab al Islami).

http://ustadzaris.com/