Surat Al ‘Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Qur’an yang banyak dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah dihafal. Namun sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat memahaminya. Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ
”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].
Iman yang Dilandasi dengan Ilmu
Dalam surat ini Allah ta’ala menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].
Kriteria pertama, yaitu beriman kepada Allah. Dan keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim wajib (fardhu ‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah, dan lain sebagainya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ
”Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih).
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
يَجِبُ أَنْ يَطْلَبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَهُ
”Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa membuat dirinya mampu menegakkan agama.” [Al Furu’ 1/525].
Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan, misalnya yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak lain dikarenakan seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan sehingga ia perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah ta’ala berfirman,
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
”Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Asy Syuura: 52).
Mengamalkan Ilmu
Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu kecuali jika dia berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut. Maksudnya, seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya tersebut menjadi suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan amalnya.
Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah
لاَ يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلاً حَتىَّ يَعْمَلَ بِعِلْمِهِ فَإِذَا عَمِلَ بِهِ صَارَ عَالِمًا
”Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh sampai dia dapat mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah dia menjadi seorang alim” (Dikutip dari Hushul al-Ma’mul).
Perkataan ini mengandung makna yang dalam, karena apabila seorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka (pada hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak ada perbedaan antara dia dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan ilmunya.
Oleh karena itu, seorang yang berilmu tapi tidak beramal tergolong dalam kategori yang berada dalam kerugian, karena bisa jadi ilmu itu malah akan berbalik menggugatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يَسْأَلَ عَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ
,
”Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).
Berdakwah kepada Allah
Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah ta’ala, adalah tugas para Rasul dan merupakan jalan orang- orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)
“Katakanlah, “inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).
Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan Allah. Simak firman Allah ta’ala berikut,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat : 33).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Bukhari nomor 2783).
Oleh karena itu, dengan merenungi firman Allah dan sabda nabi di atas, seyogyanya seorang ketika telah mengetahui kebenaran, hendaklah dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan mengajak mereka untuk memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar.
Sangat aneh, jika disana terdapat sekelompok orang yang telah mengetahui Islam yang benar, namun mereka hanya sibuk dengan urusan pribadi masing-masing dan “duduk manis” tanpa sedikit pun memikirkan kewajiban dakwah yang besar ini.
Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
”Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian, hingga ia senang apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang juga ia senangi.” (HR. Bukhari nomor 13).
Jika anda merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan.
Bersabar dalam Dakwah
Kriteria keempat adalah bersabar atas gangguan yang dihadapi ketika menyeru ke jalan Allah ta’ala. Seorang da’i (penyeru) ke jalan Allah mesti menemui rintangan dalam perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal ini dikarenakan para dai’ menyeru manusia untuk mengekang diri dari hawa nafsu (syahwat), kesenangan dan adat istiadat masyarakat yang menyelisihi syari’at [Hushulul ma’mul hal. 20].
Hendaklah seorang da’i mengingat firman Allah ta’ala berikut sebagai pelipur lara ketika berjumpa dengan rintangan. Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ (٣٤)
”Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka” (QS. Al-An’am : 34).
Seorang da’i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah ta’ala menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang artinya),
”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman :17).
Pada akhir tafsir surat Al ‘Ashr ini, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,
فَبِالِأَمْرَيْنِ اْلأَوَّلِيْنَ، يُكَمِّلُ اْلإِنْسَانُ نَفْسَهُ، وَبِالْأَمْرَيْنِ اْلأَخِيْرِيْنَ يُكَمِّلُ غَيْرَهُ، وَبِتَكْمِيْلِ اْلأُمُوْرِ اْلأَرْبَعَةِ، يَكُوْنُ اْلإِنْسَانُ قَدْ سَلِمَ تعل مِنَ الْخُسَارِ، وَفَازَ بِالْرِبْحِ [الْعَظِيْمِ]
”Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan amal), manusia dapat menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal yang terakhir (berdakwah dan bersabar), manusia dapat menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut, manusia dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar” [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menyempurnakan keempat hal ini, sehingga kita dapat memperoleh keuntungan yang besar di dunia ini, dan lebih-lebih di akhirat kelak. Amiin.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id
Selengkapnya...
Rabu, 18 Juli 2012
Tafsir surat Al - Ashr : Membebaskan Diri dari Kerugian
Tazkiyatun Nufus
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
{ إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ }
“Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah, dan fitnah bagi umatku adalah harta.”
(HR. Tirmidzi dalam Silsilah Ash Shohihah, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
{ إِنَّ الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ وَعَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ }
“Dunia itu terlaknat dan segala yang terkandung di dalamnya pun terlaknat, kecuali orang yang berdzikir kepada Allah, yang melakukan ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim atau penuntut ilmu syar’i.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah. Dalam Shohihul Jami’, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Perlu kiranya kita merenungkan hadits ini dengan seksama, di golongan manakah diri kita berada, apakah kita termasuk golongan yang mendapat rahmat dan terjauh dari laknat ataukah sebaliknya diri kita justru termasuk orang-orang yang mendapat laknat, menjadi budak dunia dikarenakan sebagian besar aktivitas kita atau bahkan seluruhnya hanya bertujuan untuk meraih kenikmatan dunia yang fana ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencela orang-orang yang tunduk pada dunia dan semata-mata tujuannya adalah mencari dunia dalam sabda beliau:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيصَةِ تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْلَةِ
“Celakalah budak dinar (uang emas), celakalah budak dirham (uang perak), celakalah budak khamishah (pakaian yang cantik) dan celakalah budak khamilah (ranjang yang empuk).”
(HR. Bukhari)
Inilah celaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang kesehariannya menjadi budak harta dan berbagai kesenangan dunia. Renungkanlah dengan penuh kejujuran dan jawablah di golongan manakah diri kita berada? Apakah kita termasuk orang yang menjadi budak dunia ataukah orang yang tujuan hidupnya adalah beribadah kepada Allah? Renungkanlah sekali lagi hal ini!
Artikel www.muslim.or.id
Selengkapnya...
Rabu, 11 Juli 2012
Renungan
masa yang lalu tidak usah disedihkan ia sudah berlalu yang tinggal hanya pertanggungjawaban.....
masa sekarang ini masih diberi pada kita apa yang kita manfaatkan atau sebaliknya....
masa depan bukan milik kita....
tapi masa sekarang akan memberi kesan pada masa depan
♥ Teratak Bonda ♥
Selengkapnya...
Hidayah
sudah banyak sekali cara kita untuk menyadarkan seseorang yang kita cintai, untuk merubah sifat seseorang yang sangat disayangi. Akan tetapi, segala cara dan upaya kita, ternyata tidak mampu untuk merubahnya menjadi seseorang yang baik. Sebenarnya apa yang salah dengan upaya kita, bagaimanakah caranya agar kita dapat merubah seseorang?
sesungguhnya hidayah atau petunjuk hanyalah milik Allah, bagaimana pun upaya kita untuk merubah seseorang, bagaimana pun kerja keras kita untuk menyadarkan seseorang, maka itu tidak ada artinya jika Allah tidak menghendaki hidayah kepadanya, orang tersebut tidak akan berubah sampai Allah memberikannya hidayah.
Allah berfirman yang artinya "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS Al Qashash: 56).
Ibnu katsir mengatakan mengenai tafsir ayat ini, “Allah mengetahui siapa saja dari hambanya yang layak mendapatkan hidayah, dan siapa saja yang tidak pantas mendapatkannya”.
Sebagaimana Allah Ta’ala menjadikan kelapangan dada dan ketenangan jiwa dalam menerima syariat Islam merupakan ciri orang yang mendapat petunjuk dari-Nya, dan kesempitan serta terbelenggunya jiwa merupakan pertanda orang yang tersesat dari jalan-Nya.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan keburukan/siksa kepada orang-orang yang tidak beriman” (QS al-An’aam:125).
maka berdoa kepada Allah ta’ala agar Dia senantiasa memberikan kepada kita istiqomah hingga akhir hayat. Bahkan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah doa,
“Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik ”
artinya “Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, Hakim, dishahihkan oleh Adz Dzahabi, lihat pula Shahihul Jami’)
teruntuk saudariku yg disana, semoga Allah Ta'ala memberimu taufik dan hidayah hingga berjalan diatas Al Quran dan Sunnah, Aamiin
sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah
~Batam, 4 juli 2012~
Selengkapnya...
Darul Islam (Negara Islam)
para ulama berpendapat, bahwa yang menjadi patokan adalah nampaknya sebagian besar hukum-hukum Islam. Lalu, ‘apa yang dimaksud dengan hukum Islam tersebut?’ ‘Apakah yang dimaksud adalah amalan pemerintahnya yang berupa hukum had dan semisalnya?’ Ataukah amalan penduduknya yang berupa syi’ar-syi’ar Islam?’
Berikut ini beberapa dalil yang digunakan sebagai rujukan untuk men-definisi-kan Darul Islam dan Darul Kufr, beserta penjelasan para ulama mengenainya:
Hadits Anas bin Malik
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيْرُ إِذَا طَلَعَ اْلفَجْرُ، فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِلاَّ أَغَارَ
“Dulu Rasulullah menyerang, jika telah terbit fajar. Jika mendengar adzan, maka beliau menahan diri dan jika tidak mendengar adzan, maka beliau menyerang.” [HR. Al Bukhaari (610) & Muslim (1365)]
Imam Al Qurthubi رحمه الله berkata dalam kitabnya Al Jami’ li Ahkamil Qur-an (6/225),
قاَلَ أَبُوْ عُمَرَ: وَلاَ أَعْلَمُ اخْتِلاَفاً فِيْ وُجُوْبِ اْلاَذاَنِ جُمْلِةً عَلَى أَهْلِ المِصْرِ، لِاَنَّ اْلاَذَانَ هُوَ اْلعَلاَمَةُ الدَالَةُ اْلمُفَرِّقَةُ بَيْنَ دَارِ اْلاِسْلاَمِ وَدَارِ اْلكُفْرِ، وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثَ سَرِيَّةً قَالَ لَهُمْ: (إِذَا سَمِعْتُمْ اْلاَذَانَ فَأَمْسِكُوْا وَكَفُوْا وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوْا اْلاَذاَنَ فَأَغِيْرُوْا – أَوْ قَالَ – فشنوا الغارة).
“Abu ‘Umar berkata, ‘Dan aku tidak mengetahui adanya perbedaan tentang wajibnya adzan, karena adzan ialah pertanda yang menunjukkan perbedaan antara Darul Islam dan Darul Kufr. Dahulu Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam jika mengutus pasukan, maka beliau bersabda kepada mereka, ‘Jika kalian mendengar adzan, maka tahanlah, jangan menyerang. Dan jika kalian tidak mendengar adzan, maka seranglah –atau- mulailah serangan.”
Syaikhu `l Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata dalam Majmu’ Fatawa (22/65),
فَإِنَّ الْأَذَانَ هُوَ شِعَارُ دَارِ الْإِسْلَامِ الَّذِي ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ ((النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعَلِّقُ اسْتِحْلَالَ أَهْلِ الدَّارِ بِتَرْكِهِ فَكَانَ يُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَنْظُرُ فَإِنْ سَمِعَ مُؤَذِّنًا لَمْ يُغِرْ وَإِلَّا أَغَارَ))
“Sesungguhnya adzan adalah syi’ar Negara Islam sebagaimana telah ditetapkan dalam hadits shahih, bahwa Nabi shallallaahu alaihi wasallam menghalalkan penduduk negeri dengan sebab meninggalkan adzan, dulu beliau shalat shubuh, kemudian memperhatikan, jika mendengar suara adzan, maka beliau tidak menyerang dan jika tidak, maka beliau menyerang.”
Hadits ‘Isham Al Muzani
كَانَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثَ السَّرِيَ يَقُوْلُ إِذَا رَأَيْتُمْ مَسْجِدًا أَوْسَمِعْتُمْ مُنَادِيًا فَلاَ تَقْتُلُوْا أَحَدًا
“Dahulu Nabi jika mengutus pasukan, maka beliau bersabda, ‘Jika kalian melihat masjid atau mendengar adzan, maka jangan membunuh seorangpun.” [HR. Ahmad (3/448), At Tirmidzy (1545) dan beliau mengatakan 'Hadits hasan gharib', Abu Dawud (2635), Syaikh Al Albani melemahkannya dalam Dha'if Sunan Abu Dawud (202)]
Imam Asy Syaukani رحمه الله berkata dalam kitabnya Nailul Authar (8/51-55),
فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ مُجَرَّدَ وُُجُوْدِ اْلمَسْجِدِ فِيْ اْلبَلَدِ كَافٍ فِيْ اْلاِسْتِدْلاَلِ بِهِ عَلَى إِسْلاَمِ أَهْلِهِ وَإِنْ لَمْ يُسْمَعُ مِنْهَمْ الآذَانُ لِأَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُِ سِرَايَاهُ بِاْلإِكْتِفَاءِ بِأَحَدِ اْلأَمْرَيْنِ إِمَّا وُجُوْدِ مَسْجِدٍ أَوْ سِمَاعِ اْلآذَانِ
“Hadits ini menunjukkan, bahwa sekedar keberadaan sebuah masjid di suatu negeri sudah cukup menjadi dalil atas ke-Islaman penduduknya, walaupun belum didengar adzan dari mereka karena Nabi shallallaahu alaihi wasallam memerintahkan pasukan-pasukannya agar mencukupkan dengan salah satu dari dua hal, adanya masjid atau mendengar adzan.”
Syaikhu `l Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata dalam Majmu’ Fatawa (18/282),
وَكَوْنُ الْأَرْضِ دَارَ كُفْرٍ وَدَارَ إيمَانٍ أَوْ دَارَ فَاسِقِينَ لَيْسَتْ صِفَةً لَازِمَةً لَهَا ؛ بَلْ هِيَ صِفَةٌ عَارِضَةٌ بِحَسَبِ سُكَّانِهَا فَكُلُّ أَرْضٍ سُكَّانُهَا الْمُؤْمِنُونَ الْمُتَّقُونَ هِيَ دَارُ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ وَكُلُّ أَرْضٍ سُكَّانُهَا الْكُفَّارُ فَهِيَ دَارُ كُفْرٍ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ
“Dan keberadaan negeri ialah negeri kafir, iman atau fasiq bukanlah sifat yang senantiasa melekat padanya, akan tetapi merupakan sifat yang ada berdasarkan penduduknya. Setiap jengkal bumi yang penduduknya beriman dan bertaqwa, maka negeri itu adalah negeri para wali Allah pada waktu itu dan setiap jengkal bumi yang penduduknya kafir, maka negeri itu adalah negeri kafir pada waktu itu.”
Kesimpulannya, suatu negara disebut Darul Islam, jika penduduknya menegakkan syi’ar-syi’ar Islam, seperti adzan, shalat jum’at, shalat jama’ah, hari raya (‘Iedu `l Fitri & ‘Iedu `l Adha) secara umum dan menyeluruh.
Sedang, suatu negara disebut Darul Kufr, jika penduduknya menegakkan syi’ar-syi’ar kufur dan tidak menegakkan syi’ar-syi’ar Islam secara umum dan menyeluruh.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa beliau (6/104-105) [Syarhu Tsalatsati `l Ushul]
وَبَلَدُ الشِّرْكِ هُوَ الَّذِيْ تُقَامُ فِيْهِ شَعَائِرُ اْلكُفْرِ وَلاَ تُقَامُ فِيْهِ شَعَائِرُ اْلإِسْلاَمِ كَالْأَذَانِ وَالصَّلاَةِ جَماعَةٍ، وَاْلأَعْياَدِ، وَاْلجُمْعَةِ عَلَى وَجْهٍ عامٍ شَامِلٍ، وَإِنَمَا قُلْنَا : عَلَى وَجْهٍ عَامٍ شَامِلٍ لِيَخْرُجَ مَا تُقَامُ فِيْهِ هَذِهِ الشَّعَائِرُ عَلَى وَجْهٍ مَحْصُوْرٍ كَبِلاَدِ اْلكُفَّارِ الَّتِي} فِيْهَا أقليات مُسْلِمَة فَإِنَّهَا لاَ تَكُوْنُ بِلاَدُ إِسْلاَمٍ بِمَا تُقِيْمُهُ اْلأقليات المسلمة فِيْهَا مِنْ شَعَائِرِ اْلإِسْلاَمِ، أَمَّا بِلاَدُ اْلإِسْلاَمِ فَهِيَ البِلاَدُ الَّتِيْ تُقَامُ فِيْهَا هَذِِهِ الشَّعَائِرُ عَلَى وَجْهٍ عَامٍ شَامِلٍ.
“Dan negara syirik adalah yang ditegakkan di dalamnya syi’ar-syi’ar kufur dan tidak ditegakkan di dalamnya syi’ar-syi’ar Islam, seperti adzan, shalat jama’ah, ‘Ied, dan shalat jum’at, secara umum dan menyeluruh. Kita katakan, ‘Secara umum dan menyeluruh’ untuk mengeluarkan (dari definisi ini) negara yang ditegakkan syi’ar-syi’ar Islam secara terbatas, seperti negara-negara kafir yang di dalamnya ada minoritas muslim, maka yang demikian tidak menjadi Negara Islam disebabkan minoritas muslim tersebut menegakkan sebagian syi’ar-syi’ar Islam. Adapun Negara Islam adalah negara yang ditegakkan di dalamnya syi’ar-syi’ar Islam ini secara umum dan menyeluruh.”
Maka, dalam men-definisi-kan Darul Islam dan Darul Kufr ini pula, marilah kita kembali kepada Al Qur-an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Marilah kita mencari dalil, kemudian kita meyakininya. Jangan meyakini dulu, baru kemudian cari dalil!!!
اِسْتَدِلَّ ثُمَّ اِعْتَقِدْ ، وَلاَ تَعْتَقِدْ ثُمَّ تَسْتَدِلَّ
“Carilah dalil, kemudian yakini! Jangan yakini, baru mencari dalil!”
sumber : http://tashfiyah.or.id/
Selengkapnya...
Kamis, 05 Juli 2012
me-rindu-mu
Rasa rindu yang menggebu
Membuncah dalam kalbu
Menggiring waktu
Kembali bertemu
Salahkah aku?
Egoiskah aku?
Begitu sangat mengharapmu
Aaah
Hatiku kelabu
~Batam, 5 juli 2012~