”Yaa muqallibal qulub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika”

”Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu”

Aamiin...

(Hadist Riwayat at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Hakim dishahihkan oleh adz-Dzahabi)

Rabu, 09 Maret 2011

Qana’ah Sifat Mulia yang Harus di Miliki Para Istri

Sikap qana’ah atau menerima apa adanya (nrimo) pada masalah kebendaan (duniawi) dalam kehidupan suami istri sangat dibutuhkan.Terutama bagi seorang istri tanpa adanya sifat qana’ah maka bisa dibayangkan bagaimana susahnya seorang suami.Setiap tiba dirumah maka yang terdengar adalah keluhan-keluhan, belum punya ini belum punya itu, ingin beli perhiasan, pakaian baru, sepatu baru, jilbab baru,perkakas rumah tangga, furniture, dan lain-lainnya.

Alhamdulillah bila sang suami memiliki banyak harta apabila tidak maka yang terjadi adalah pertengkaran dan perselisihan melihat kedudukan suami dengan sebelah mata karena gaji yang kecil .Terkadang keluar keluhan bila si Fulan bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar mengapa engkau tidak???sehingga impian membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah warrahmah semakin jauh.Hati menjadi resah dan gundah lalu hilanglah rasa syukur, baik kepada suami maupun kepada Allah.Bila hal ini sudah menimpa pada seorang istri maka waspadalah ya ukhti,….sesungguhnya engkau telah membebani suamimu diluar kemampuannya.

Engkau telah membuatnya terlalu sibuk dengan dunia untuk memenuhi segala keinginanmu. Berapa banyak kaum suami yang meninggalkan majelis ilmu syar’i demi mengejar uang lemburan? sebelum menikah rajin datang ke tempat majelis ilmu setelah menikah jarang terlihat lagi, mungkin tadinya datang setiap minggu sekarang frekuensinya menjadi sebulan dua kali atau sekali bahkan mungkin tidak datang lagi!!! Atau berapa banyak kaum suami yang rela menempuh jalan yang diharamkan Allah Ta’ala demi membahagiakan sang istri tercinta.Yang terakhir ini banyak ditempuh oleh para suami yang minim sekali ilmu agamanya sehingga demi ”senyuman sang istri” rela ia menempuh jalan yang dimurkai-Nya.Wal’iyyadzu billah.

Duhai, para istri…engkau adalah sebaik-baik perhiasan diatas muka bumi ini bila engkau memahami dienmu. Maka jadilah wanita dan istri yang shalihah,itu semua bisa dicapai bila engkau mampu mengendalikan hawa nafsumu, bergaul hanya dengan kawan-kawan yang shalihah dan berilmu,dan tutuplah matamu bila engkau melihat sesuatu yang tidak mungkin bisa engkau raih, lihatlah kebawah masih banyak yang lebih menderita dan lebih miskin hidupnya dibandingkan engkau. Maka akan kau temui dirimu menjadi orang yang mudah mensyukuri nikmat-Nya.

Sifat qana’ah ibarat mutiara yang terpendam di bawah laut, barangsiapa yang bisa mengambilnya dan memilikinya maka beruntunglah ia.Seorang istri yang memiliki sifat qana’ah ini maka dapat membawa ketentraman dan kedamaian dalam rumah tangganya. Suami merasa sejuk berdampingan denganmu, rasanya akan enggan ia menjauh darimu.

Betapa bahagianya para suami yang memiliki istri yang qana’ah, para istri bisa memiliki sifat ini bila ia mau berusaha sekuat tenaga dan berdo’a kepada Allah semata. Ya, Allah janganlah kau jadikan dunia satu-satunya keinginan utama kami, amin.Wallahu’alam bishawwab.

Bumi Allah, Sydney.
Ummu Raihanah

http://jilbab.or.id/
Selengkapnya...

Jumat, 04 Maret 2011

Tahdziir dan Tabdii’ Berantai Ala MLM (Awas Sururi!!!)

Oleh: Al-Ustadz Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja, M.A

Fenomena yang sangat menyedihkan yang didapati oleh penulis dari sebagian saudara-saudara kita yang hobinya mentahdzir dan menghajr adalah kurang jujur dalam menebarkan fatwa. Padahal sudah berapa banyak ustadz yang telah mereka gelari dengan ‘Al-Kadzdzaab/pendusta”. Akan tetapi sikap kurang jujur ini akhirnya mereka lakukan sendiri. Fenomena yang menyedihkan tersebut adalah fenomena “Menyembunyikan Fatwa”. Jika mereka mau jujur dan gentleman tentunya mereka menampilkan fatwa yang juga berseberang dengan mereka, apalagi yang bertanya adalah mereka sendiri.

Imam Waqii’ pernah berkata :
أَهْلُ الْعِلْمِ يَكْتُبُوْنَ مَا لَهُمْ وَمَا عَلَيْهِمْ وَأَهْلُ الأَهْوَاءِ لاَ يَكْتُبُوْنَ إِلاَّ مَا لَهُمْ

“Para ahli ilmu mereka menuliskan apa yang mendukung mereka dan apa yang bertentangan dengan mereka, adapun ahlul ahwaa (pengikut hawa nafsu) maka mereka tidak menuliskan kecuali yang mendukung mereka” (Sunan Ad-Daaruquthni 1/27 no 36)

Dahulu tatkala musim jihad di Ambon maka sebagian saudara kita ada yang kurang percaya dengan fatwa Syaikh Al-’Utsaimin yang disebarkan oleh Yayasan As-Sofxxx di Jakarta yang menyatakan bahwa jihad di Ambon bukanlah fardu ‘ain, karena yayasan tersebut adalah yayasan bid’ah (menurut mereka). Maka akhirnya sebagian mereka bertanya langsung kepada syaikh Al-’Utsaimin dengan pertanyaan yang lengkap dan panjang lebar dan sangat rinci. Namun ternyata jawaban syaikh Al-’Utsaimin adalah sama, dan akhirnya fatwa tersebut hilang tidak terlihat sama sekali.

Yang penulis bahas di sini bukanlah hukum jihad di Ambon, bisa jadi fatwa syaikh Al-’Utsaimiin adalah salah dan keliru, akan tetapi sikap saudara-saudara kita yang terlewat batas hingga akhirnya yang tidak menyatakan jihad fardhu ‘ain ditahdziir, bahkan diantara mereka ada yang berani mengecap orang yang tidak berangkat jihad sebagai munafiq!!???. Mereka tidak memandang bahwasanya khilaf tentang hukum jihad di Ambon adalah khilaf yang mu’tabar karena syaikh Robii’ dan syaikh Muqbil telah diselisihi oleh mayoritas ulamaa kibaar, sehingga mereka akhirnya membangun baroo’ bagi orang yang menyelisihi mereka. Lantas bagaimana dengan orang-orang yang mengikuti pendapat syaikh Al-’Utsaimiin yang telah mereka tanyakan sendiri..??!!

Demikian juga tatkala kita menghadapi permasalahan mengambil dana dari yayasan Ihyaa At-Turoots. Karena inilah yang menjadi permasalahan utama, bukan masalah apakah yayasan Ihyaa At-Turoots ini hizbi atau tidak, karena mayoritas yang ditahdziir dan dikatakan sururi adalah orang-orang yang tidak mengambil dana sama sekali, akan tetapi kena getahnya terseret arus tahdzir gaya MLM, yaitu barang siapa yang tidak mentahdziir si fulan maka dia juga sururi??!!. Jika kita sepakat bahwasanya Ihyaa At-Turoots adalah yayasan hizbi maka apakah yang mengambil dana otomatis menjadi sururi?, inilah permasalahannya.!!. lantas apakah orang yang tidak mengambil dana akan tetapi tidak mentahdzir orang yang mengambil dana juga dihukumi dengan hukum yang sama yaitu sururi??!! Inilah permasalahan kita, tahdzir gaya MLM yang telah dilakukan oleh saudara-saudara kita.

Tersebutlah ada seorang ustadz fadhil –hafdzohullah- yang getol membahas dimana-mana tentang sururi, dan menuduh saudara-saudaranya sebagai sururi. Ketika sampai kepada beliau bahwasanya Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbaad merekomendasi yayasan Ihyaa At-Turoots, maka dengan mudahnya ia berkata, “Kalau syaikh Abdul Muhsin tahu tentang hakekat AT-Turots maka ia akan mentahdzir at-Turots, dan kita tidak tahu bagaimana bentuk pertanyaan yang disampaikan firanda kepada Syaikh Abdul Muhsin”.

Sering penulis (Firanda) berkata, “Aku sangat berharap jika sang ustadz fadhil bertanya langsung kepada Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbaad dan menjelaskan dengan lengkap, agar ia tidak menuduh firanda miskin dengan tuduhan yang tidak-tidak”.

Dan Alhamdulillah sang ustadz fadhil hampir setahun dua kali dimudahkan oleh Allah untuk bisa mengunjungi kota Madinah… akan tetapi ternyata beliau belum berkesempatan untuk bertanya langsung kepada Syaikh Abdul Muhsin.

Akan tetapi Allah tetap memberi kemudahan kepada sang ustadz hafidzohullah untuk bisa bertanya kepada Syaikh Ubaid yang ma’ruuf menyatakan bahwa Ihyaa At-Turoots adalah yayasan hizbiyah.

Maka sang ustadz pun bertanya, “Wahai syaikh, sebagian orang menyatakan bahwa Ihyaa At-Turots sudah berubah?”, maka syaikh berkata, “Ihyaa At-Turoots belum berubah, masih menyimpang, akan tetapi jika meminta bantuan dari mereka hendaknya tidak, namun jika mereka yang memberikan maka tidak mengapa”

Demikianlah kira-kira pertanyaan dan jawaban, akan tetapi pertanyaan dan jawaban ini dihadiri oleh beberapa ikhwah, dan saya rasa sang ustadz fadhil tetap tidak lupa jawaban syaikh tersebut. Namuuuun… mana fatwa tersebut…??, bukankah rekamannya ada pada sang ustadz, atau pada teman sang ustaadz???, kami ingin mendengar langsung fatwa tersebut…

Penulis sangat berharap sang ustadz setelah mendengar fatwa tersebut akan berubah membaik, akan tetapi ternyata tidak maka beliau semakin mengisi kajian di mana-mana untuk membicarakan dan menuduh saudara-saudaranya sebagai sururi. fatwa telah disembunyikan…..

Fatwa syaikh Ubaid Al-Jaabiri hafidzohullah

Alhamdulillah dalam kesempatan yang lain ada sebagian ustadz yang lain -dari saudara-saudara kita yang suka mentahdzir- berksempatan untuk bertanya kepada Syaikh Ubaid Al-Jaabiri hafidzohullah. Namun seperti biasa… fatwa tersebut lenyap…disembunyikan…

Namun penulis berhasil mendapatkan rekamannya. Fatwa tersebut sebagai berikut :
(قال السائل) : الشيخ هل يجوز الدراسة في معهد من يأخذون مال إحياء التراث والاستماع إلى إذاعتهم؟
(فأجاب الشيخ بقوله) : أقول : الجمعيات أو الجماعات المنحرفة إذا قدَّمَتْ عوناً في السلفيين فهذا العون له حالتان؛
إحداهما أن يكون مشروطاً بأن ينشروا الأفكار المنحرِفة مثل أفكار سيد قطب والمودودي والبنَّا وغيرهم من دعاة الضلال والانحراف، فهذا العون لا يجوز القبول له
والمدارسُ التي تدرِّس هذه الأفكار وتُلبس الحق بالباطل فلا تجوز الدراسة فيها، يعني نهاية الدارس الضلالُ أو التشويش والحيرة فيصبح مضطرباً لا يميِّز بين حق وباطل والغث والسمين والصحيح والسقيم.
الثاني : أن يقدِّموا عوناً غير مشروط. يبنون مسجداً أو مدرسةً أو معهداً ويأتون بكتب على السنة غير مخلوطة ويطلبون من أهل السنة أن يختاروا الأئمةَ والمؤذنين والمعلِّمين منهم ولا تتدخل هذه الجهة المنحرفةُ من جماعة أو فرد في أمر أهل السنة، إنما تُقدِّم لهم العون المطلق فقط، هذا لا مانع من قبوله. ويدخل تحت هذا المعهدُ الذي ذكرتَ يدخل في نفس التقسيم، وهذا دليلُه قوله صلى الله عليه وسلم ((إن الله لَيُؤَيِّدُ هذا الدين بالرجل الفاجر)).
ولا شك عندنا أن الاستعفاف أفضل والاستغناء لقوله صلى الله عليه وسلم ((من يستغنِ يُغنه الله ومن يستعففْ يُعِفَّه الله ومن يتصبر يصبره الله))، نعم لكن كثير من تجمعات أهل السنة من قرى ومُدُن وأحياء الفقرُ فيهم هو السائد، فهم محتاجون إلى من يبني لهم مسجداً أو مدرسة ويعيِّن لهم إماماً يعلِّمهم دينَ الله ويفَقِّهُهم فيه، فإذا قُدِّم لهم عونٌ غير مشروط من جهة منحرفة فلا مانع من قبوله إن شاء الله تعالى
(قال السائل) : لكن -يا شيخنا- الذي عرفنا من هؤلاء أنهم يمكرون لأهل السنة
(قال الشيخ) : هذا لا شك فيه أن معك في هذا، ولهذا أنا فصّلتُ، وأُضيفُ هنا إذا عرفتم مكرهم فكُفُّوا عن قبول العون، هذا معروف. لكن قَدْ وُجِدَ أيضاً في بعض الأحيان ما يمكرون، إذا وجدوا أهلَ السنة أقوياء، لكن إذا وُجد منهم مكرٌ كُفَّ عن قبول عونهم، فيقال : نحن قبلنا عونكم بدون شروط. إذا وُجد أنهم يبعثون دسائس ويبثون من خلالها أفكارًا تَحْرف المسلمين عن منهج الحق فنحن نكف عنهم، نكف عن ما لديهم. فصلاتنا في الفضاء خيرٌ من صلاتنا في مسجدٍ يُؤسّس على الضلالة، أو يؤسَّس أولَّ مرةٍ على هدى ثم بعد ذلك يغلِب عليه الضلالُ والبدعة والانحراف ويصبح وكراً للأفكار الهدَّامة والمناهج المنحرفة.

Penanya (Ustadz xxxx –hafidzohullah-) berkata :

Syaikh apakah boleh belajar di ma’had (pondok) nya orang-orang yang mengambil harta dari (Yayasan) Ihyaa At-Turoots?

Syaikh menjawab :

“Aku katakan : Yayasan-yayasan atau jama’ah-jama’ah yang menyimpang jika memberi bantuan kepada salafiyin maka bantuan tersebut memiliki dua kondisi :

Pertama : Bantuan tersebut disertai persyaratan agar mereka (para salafiyin yang menerima bantuan-pen) menyebarkan pemikiran-pemikiran menyimpang seperti pemikiran Sayyid Quthb, Al-Mauduudi, Al-Bannaa, dan selain mereka dari kalangan para dai kesesatan dan penyimpangan, maka bantuan tersebut tidak boleh diterima.

Dan madrosah-madrosah yang mengajarkan pemikiran-pemikiran ini dan mencampur adukan antara kebenaran dan kebatilan maka tidak boleh belajar di madrosah-madrosah tersebut. Yaitu (karena) ujung dari orang yang belajar (di madrosah-madrosah tersebut-pen) adalah kesesatan atau kacaunya pemikiran dan kebingungan, maka jadilah ia orang yang bimbang (goncang) tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, antara baik dan yang buruk, antara yang sehat dan yang berpenyakit.

Kedua : Mereka memberi bantuan tanpa ada persyaratan. Mereka membangun mesjid atau sekolah atau pondok, dan mereka membawa buku-buku di atas sunnah tanpa tercampur (dengan bid’ah-pen), dan mereka meminta Ahlus Sunnah untuk memilih para imam, para muadzin, dan para guru dari kalangan Ahlus Sunnah. Dan lembaga yang menyimpang ini -baik dalam bentuk jama’ah atau perorangan- tidak ikut campur dalam urusan Ahlus Sunnah. Mereka hanya memberikan bantuan secara mutlak, maka tidak ada larangan untuk menerima bantuan mereka. Dan ma’had yang kau tanyakan termasuk dalam perincian ini. Dan dalil untuk hal ini (bolehnya mengambil dana dari lembaga menyimpang jika tanpa syarat-pen) adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Sesungguhnya Allah benar-benar akan menolong agama ini dengan seorang yang fajir”,

Dan tidak diragukan bahwasanya isti’faaf dan istignaa (tidak membutuhkan dan tidak meminta bantuan orang lain-pen) lebih afdhol karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Barang siapa yang berusaha mencukupkan diri maka Allah akan mencukupkan dirinya, dan barang siapa yang berusaha menjaga dirinya maka Allah akan menjaganya, dan barang siapa yang berusaha menyabarkan dirinya maka Allah akan membuatnya sabar”. Akan tetapi, banyak dari kumpulan Ahlus Sunnah dari kampung atau di kota atau di desa yang dimana kefakiranlah yang tersebar pada mereka, maka mereka membutuhkan orang yang membangunkan masjid bagi mereka, atau membangunkan sekolah, dan menunjuk buat mereka seorang imam yang mengajarkan kepada mereka agama Allah dan membuat mereka faqih dalam agama. Maka jika diberikan kepada mereka bantuan tanpa persayaratan dari lembaga yang menyimpang maka tidak ada larangan untuk menerimanya insyaa Allah ta’aalaa”

Sipenanya berkata : “Akan tetapi syaikh, yang kami ketahui dari mereka bahwasanya mereka membuat makar terhadap Ahlus Sunnah”

Syaikh berkata : “Hal ini tidak diragukan, dan aku sependapat denganmu tentang hal ini, oleh karenanya aku rinci (jawabanku-pen). Dan di sini aku tambahkan, jika kalian mengetahui makar mereka maka jangan terima bantuan mereka, hal ini sudah jelas. Akan tetapi sunnguh telah didapatkan juga dalam sebagian waktu mereka tidak berbuat makar, jika mereka mendapati Ahlus Sunnah dalam kondisi kuat. Akan tetapi jika didapati dari mereka adanya makar maka jangan menerima bantuan mereka, dan dikatakan (kepada mereka) : “Kami menerima bantuan kalian tanpa ada persyaratan”. Jika didapati dari mereka bahwasanya mereka mengirim tipu muslihat dan mereka menyelipkan diantara sela-sela tipuan tersebut pemikiran-pemikiran yang menyimpangkan kaum muslimin dari manhaj mereka yang benar maka kami tidak menerima bantuan mereka. Kita sholat di tempat terbuka lebih baik daripada kita sholat di sebuah mesjid yang dibangun di atas kesesatan, atau pertama kalinya dibangun di atas petujuk kemudian setelah itu dikuasai oleh kesesatan, bid’ah, dan penyimpangan dan akhirnya menjadi sarang bagi pemikiran-pemikiran yang menghancurkan dan manhaj-manhaj yang menyimpang”

Demikianlah jawaban syaikh Ubaid Al-Jaabiri.

(Setelah itu sang penanya menerjemahkan jawaban syaikh di atas kepada sebagian para hadirin yang tidak paham bahasa Arab. Ia berkata:)

“Ana tanyakan kepada syaikh tentang belajar di ma’had orang-orang yang mengambil dana dari Ihyaa Aaat-Turrots, tapi khulasohnya (kesimpulannya-pen) kata syaikh bagaimana mereka tidak menyebarkan pemikiran-pemikiran yang batil yang menyesatkan seperti pemikiran golongan ikhwanul muslimin

(Syaikh mendengar sang penanya ini menerjemahkan dengan bahasa melayu –yang tentunya syaikh tidak faham bahasa melayu-, hanya saja tatkala syaikh mendengar sang penanya menyebutkan kalimat ikhwanul muslimin maka syaikh menimpali ) أنا فَصّلْتُ “Aku telah merinci..!!”

(Sang penanya kembali melanjutkan penerjemahannya) :

“Bilamana tidak menyebarkan atau memasukan pemahaman-pemahaman yang merusakan e..ee.. (lalu penanya berkata kepada para hadirin) kalau salah dibetulkan ya, maknanya di sana tidak mengapa kita mengambil ilmu. Dan tentang masalah Ihyaa At-Turrots ini pengambilan dananya kalau tidak dengan bersyarat maka dibolehkan, dan kalau dengan bersayarat seperti hendak dimasukan pemikiran-pemikiran yang merusakan maka hendaklah kita meninggalkannya. Tadi syaikh juga mengingatkan mana kalau kita menjaga kehormatan kita, prinsip kita dengan tidak mengambilnya maka itu adalah lebih baik insyaa Allah. Jadi kalau ada tambahan apa yang ana luput…”

(Berkata salah seorang hadirin yang lain yaitu ustadz xxxx berkata:) :

“Kemudian ustadz xxxx bertanya : Apabila kita mengetahui mereka mempunyai makar terhadap Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan ini kebiasaan mereka, maka syaikh menjawab : Apabila kita tahu mereka memiliki makar terhadap Ahlus Sunnah kita tidak boleh menerima bantuan atau dana dari mereka. Itu tambahan dari pertanyaan yang disampaikan oleh ustadz xxxx dan dijawab oleh syaikh”

Pembaca dapat mendengarkan rekaman fatwa tersebut berikut ini:

Atau download dari 4shared.com, klik disini


Catatan : Terjemahan dari ustadz kedua yang merupakan penyempurnaan dari terjemahan ustadz yang pertama, ternyata juga tidak sempurna. Bukankah tatkala penanya berkata bahwasanya At-Turots berbuat makar kepada Ahlus Sunnah maka syaikh membantah dengan berkata : “Akan tetapi sunnguh telah didapatkan juga dalam sebagian waktu mereka tidak berbuat makar”

Dalam fatwa syaikh di atas ada 3 hal yang menjadi catatan :

~ Syaikh membolehkan mengambil dana jika tanpa persyaratan

~ Persyaratan yang dimaksud bukanlah persyaratan membuat laporan kerja atau yang sifatnya idaari (administrasi) akan tetapi persyaratan yang bisa merusak manhaj seseorang, seperti syarat untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran yang menyimpang.

~ Syaikh juga menegaskan bahwa yang lebih utama adalah tidak mengambil, akan tetapi beliau memberi udzur kepada kondisi Ahlus sunnah yang kebanyakannya adalah miskin yang butuh bantuan untuk membangun sekolah, pndok, dan masjid, tentunya ini memiliki kemaslahatan yang besar

Fatwa syaikh Muqbil rahimahullah

Apakah syaikh Muqbil rahimahullah membolehkan menerima dana dari yayasan At–Turoots jika tanpa disertai persyaratan?

Beliau berkata (tatkala menjelaskan penyimpangan-penyimpangan At-Turoots):
ثم رحلنا إلى اليمن وبعد أن وصلنا إلى اليمن جاءني أناس من الكويت منهم الأخ عبدالله السبت وقالوا: نحن لا نستطيع أن نساعدك إلا إذا كنت مرتبطا بمؤسسة حكومية؟ فقلت لهم: ونحن لا نبيع دعوتنا لأحد، فإن شئتم أن تساعدوا الدعوة بدون شرط ولا قيد فعلتم، وإن كان هناك شروط فيغنينا الله عز وجل عن مساعدتكم

“Kemudian kemipun berangkat ke Yaman, dan tatkala kami tiba di Yaman beberapa orang dari Kuwait datang menemuiku, diantaranya Al-Akh Abdullah As-Sabt, dan mereka berkata: Kami tidak mampu untuk membantumu kecuali jika engkau terkait dengan yayasan negeri?. Maka aku berkata kepada mereka : “Dan kami tidak menjual dakwah kami kepada seorangpun, jika kalian berkehendak untuk membantu dakwah tanpa syarat dan tanpa ikatan maka silahkan lakukan, dan jika ada persayaratan maka Allah akan mencukupkan kami dari membutuhkan bantuan kalian” (Lihat Tuhfatul Mujiib, tentang jawaban syaikh rahimahullah terhadap pertanyaan para ikhwah dari Britonia, bisa dilihat di http://www.muqbel.net/files.php?file_id=5&item_index=10)

Setelah menampilkan dua fatwa di atas, maka penulis berkata :

~ Apakah seorang yang mengambil dana tanpa syarat –sebagaimana kenyataan yang ada- tetap dinyatakan sururi?

~ Apakah mereka yang mengambil dana yang tadinya salafy setelah mengambil dana akhirnya menyebarkan pemikiran ikhwaanul muslimin??!!

~ Apakah mereka tidak boleh berijtihad dalam memilih fatwa syaikh Muqbil dan syaikh Ubaid?

~ Apakah hanya antum saja yang berhak untuk berijtihad???

~ Jika saudara-saudara antum memang bukan mujtahid, lantas mereka adalah muqollid, maka apakah mereka boleh bertaqlid kepada syaikh Abdul Muhsin Al-’Abaad?, atau taqlid terhadap fatwa syaikh Muqbil dan Syaikh Ubaid di atas??!!

Tanggapan dan Sanggahan.

Menanggapi tulisan seorang ustadz yang disebarkan di beberapa situs salafi, maka saya nukilkan sedikit sanggahan dan masukan. Sebelum saya menyampaikan sanggahan saya maka saya akan menyebutkan penataan logika berpikir saya.

Pertama : Tahriir Mahall an-Nizaa’ (Inti permasalahan) adalah “Apakah orang yang bermu’aamalah dengan yayasan tersebut otomatis menjadi sururi?”, atau yang lebih parah lagi, “Apakah orang yang tidak mentahdzir orang yang bermu’amaalah dengan yayasan menjadi sururi mubtadi’ secara otomatis?”. Dan saya sangat berharap para pembaca sekalian mencamkan hal ini, dan ingat diskusi kita pada intinya adalah permasalahan inti ini.

Kenapa demikian?, karena ustadz-ustadz yang dicap sururi yang bermu’amalah dengan yayasan ini sangatlah sedikit, sekitar 5 orang saja. Adapun kebanyakan ustadz yang ditahdzir dan dicap sururi adalah orang-orang yang tidak mentahdzir para ustadz yang lima tersebut. Oleh karenanya permasalahan yang ingin ana angkat adalah Apakah orang yang tidak mentahdzir orang yang bermu’amaalah dengan yayasan menjadi sururi mubtadi’ secara otomatis?”.

Oleh karena itu bukanlah permasalahan inti yang ana bahas dalam artikel ini adalah tentang kesalahan-kesalahan yayasan sosial tersebut. Oleh karena itu buku yang ditulis oleh salah seroang ustadz yang berjudul “men xxxx ukhu xxx…”, menurut hemat saya adalah kurang “nyambung”, karena buku tersebut konsentrasinya pada kesalahan-kesalahan yayasan. Padahal seluruh artikel yang saya tulis ini intinya adalah untuk mengkritik sikap hajr dan tahdziir yang membabi buta terhadap sesama salafy.

Apakah orang yang menerima bantuan dari yayasan otomatis menjadi sururi?, atau apakah orang yang tidak mentahdzir orang yang bermu’aamalah dengan yayasan juga merupakan sururi??, inilah pembahasan utama yang ana angkat. Apakah itu pengertian haddaadiyah…??!!. Memang benar dalam buku yang saya tulis “Lerai xxxx” saya menyebtukan kebaikan-kebaikan yayasan tersebut dan beberapa tazkiyah para ulama terhadap yayasan tersebut tidak lain untuk menjelaskan bahwa masalah ini adalah masalah ijtihadiah, dalam mempraktekan muwaaznah dalam menghukumi yayasan tersbut hizbi atau tidak. Akan tetapi bangaimanapun ini bukanlah permasalahan inti.

Sungguh saya sangat berharap untuk bisa berdialog dengan ustadz tersebut secara langsung kalau bisa, dan kalau tidak memungkinkan maka lewat sarana internet juga tidak mengapa. Baarokallahu fiika yaa ustadz. Yang menjadi permasalahan tatkala saya mengajak seorang ustadz untuk berdialog maka sang ustadz menjawab : Saya tidak akan berdialog sama Firanda karena Imam Ahmad tidak mau berdialog dengan qodariyah….??!!.

Dalam kesempatan lain dia berkata, “Jika Firanda ingin berdialog maka silahkan berdialog dengan syaikh Robii’??!!”. Subhaanallah apakah ana berkata kepadanya, “Kenapa antum tidak berdialog saja dengan syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbaad?, atau kenapa antum tidak meminta syaikh Robii’ untuk berdialog dengan syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbaad???!!

Kedua : Ingatlah bahwasanya mayoritas ustadz yang dituduh sururi seperti Ustadz DR Muhammad Arifin Badri adalah orang yang tidak menyetujui bermu’amalah dengan yayasan, hanya saja ia tidak mentahdzir orang yang bermu’aamalah dengan yayasan At-Turoots.

Yang lebih parah lagi beliau dituduh bergelimang dinar Kuwait sebagai pemberian dari yayasan At-Turoots, padahal beliau uang dinar saja tidak pernah melihatnya, jangankan melihat… mimpi mandi dinar saja belum pernah…??!!.

Demikianpula Ustadz Abdullah Taslim M.A. yang ditahdziir dan dicap sururi, padahal tidak menyetujui bermu’aamalah dengan yayasan, akan tetapi beliau tidak memandang bahwa orang yang menerima bantuan dari yayasan adalah sururi.

Ketiga : Ingatlah bahwasanya ustadz-ustadz 5 orang yang bermu’aamalah dengan yayasan sama sekali tidak sedang membela kesalahan-kesalahan yayasan. Artinya penyimpangan-penyimpangan yayasan tidak dibela dan tidak diikuti oleh para ustadz tersebut, dan tidak ada kelaziman dalam hal ini.

Tatkala kita bekerja sama dengan ahlul bid’ah, atau menerima bantuan mereka, atau bahkan menerima bantuan orang kafir, maka tentunya tidak lazim kalau kita membela bid’ah mereka atau membela kekufuran mereka)

Keempat : Inti dari tulisan ana ini adalah ana ingin menjelaskan bahwasanya seseorang tatkala ingin mengecap saudaranya sebagai mubtadi’ sururi maka hendaknya merenungi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1. Apakah yayasan ini adalah yayasan bid’ah (padahal hal inipun masih diperselisihkan para ulama, karena mengingat banyak anggota yayasan yang merupakan salafy)

2. Jika yayasan ini (melalui kaidah muwaazanah) kesimpulannya adalah yayasan bid’ah maka apakah ini bukan perkara ijtihaadiyah?, jika menghukumi yayasan bid’ah atau sunnah ini bukan perkara ijtihadiyah maka manakah nashnya (baik dari Al-Qur’an maupun dari As-Sunnah) yang menunjukan bahwa yayasan ini adalah yayasan bid’ah secara qoth’i?

3. Jika memang bid’ahnya yayasan ini bukan masalah ijtihadiah maka apakah setiap orang yang bermu’aamalah dengan yayasan tersebut otomatis menjadi sururi?, apakah pengertian sururi?, apakah penyimpangan-penyimpangan sururi? Apakah orang tersebut yang dicap sebagai sururi melakukan penyimpangan-penyimpangan tersebut?

4. Apakah vonis secara otomatis sebagai sururi bagi orang yang mengambil bantuan yayasan merupakan perkara khilafiyah?, ataukah ijma?, adakah ulama yang berpendapat demikian?

5. Jika memang para ulama ijmak bahwa yang mengambil dana otomatis adalah sururi maka dimanakah pernyataan ijmak tersebut?, jika tidak ada maka ini merupakan ijtihadiah. Atau bahkan tidak ada ulama yang berpendapat demikian??!!!, Ataukah merupakan metode haddaadiyah yang membid’ahkan hanya karena satu atau dua kesalahan??!!

6. Jika memang ternyata para ulama sepakat bahwa yang menerima bantuan dari yayasan adalah sururi maka apakah digunakan metode MLM, yaitu jika ada yang tidak mentahdzir atau mencapnya sebagai sururi maka juga dihukumi sebagai sururi?.

7. Jika jawabannya adalah : iya, maka apakah vonis ini juga merupakan ijmak? Ataukah perkara ijtihadiyah?, ataukah malah pendapat haddaadiyah??!!

8. Jika memang benar bahwa yang tidak ikut mengecap sururi juga dicap sebagai sururi maka apakah semua orang yang menimba ilmu darinya yang tidak tahu menahu tentang permasalahan ini juga merupakan sururi??!!

Sebagai praktek dari tahdzir berantai MLM??!!. Point ke 6 inilah yang merupakan perkara inti, karena tahdzir dan tabdi’ yang berlaku kebanyakannya adalah kepada orang-orang yang tidak bermu’aamalah dengan yayasan.

Maka saya katakan :

Kesalahan yang sering dilakukan oleh sebagian orang adalah menjadikan masalah-masalah ijtihadiyyah sebagai bahan untuk melakukan hajr, meskipun masalah tersebut berkaitan dengan masalah hukum, bukan ‘aqidah.

Contohnya, ketika terjadi perselisihan di kalangan para ulama tentang hukum jihad di Indonesia. Sebagian ulama menyatakan bahwa jihad tersebut hukumnya fardhu ‘ain. Sedangkan mayoritas ulama besar menyatakan bahwa hukumnya bukan fardhu ‘ain. Apa yang terjadi? Orang-orang yang mengambil pendapat sebagian ulama bahwa hukumnya adalah fardhu ‘ain menggelari saudara-saudara mereka yang tidak sejalan dengan mereka dengan hizbi atau ahli bid’ah.

Padahal hampir seluruh ulama kibar (besar) yang ada di Arab Saudi menyatakan bahwa jihad tersebut bukanlah fardhu ‘ain, bahkan ada fatwa khusus dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam masalah ini, yang merupakan jawaban dari pertanyaan seorang da’i –yang justru dari kalangan mereka- dengan pertanyaan yang sangat rinci sebagaimana yang telah saya baca-.

Sayangnya, fatwa ini tidak disebarkan. Entah maslahat apa yang dipandang oleh penanya sehingga ia “menyembunyikan” fatwa tersebut. Pada saat itu tidak ada yang ragu dengan kefaqihan syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Bahkan mungkin bisa dikatakan bahwa dia adalah ulama Ahlus Sunnah yang paling alim -terutama dalam masalah fiqh-, sepeninggal Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah dan Syaikh al-Albani rahimahullah. Lantas apakah orang yang mengambil fatwa beliau dan juga fatwa para ulama kibar dikatakan hizbi?!

Bahkan sampai ada yang mengatakan munafik?! Subhanallah. Atau senjata terakhir yang mereka miliki yaitu perkataan mereka, “Para ulama tersebut tertipu dengan pertanyaan yang diberikan oleh penanya, karena si penanya dari kalangan Sururiyyun.”

Jika perkaranya seperti yang mereka katakan, maka sungguh malang nasib para ulama kita yang kerap kali ditipu oleh para penanya, apalagi dalam permasalahan besar seperti ini yang menyangkut keselamatan jiwa raga. Konsekuensinya adalah tuduhan bahwa para ulama kita agak “dungu” karena sering ditipu, juga tuduhan bahwa para ulama kita tidak mengerti fiqhul waqi’ sebagaimana perkataan para hizbiyyin. Na’udzu billahi minal hizbiyyah.

Mungkinkah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dan lainnya sembrono dalam masalah besar yang berkaitan dengan penduduk suatu negara?! Atau apakah fatwa mereka keluar tanpa mengetahui realita sebenarnya yang terjadi di negeri ini, padahal ini adalah permasalahan yang diketahui oleh dunia internasional?! Subhanallah, tuduhan di atas benar-benar mengherankan.

Hal ini bukan berarti kami merendahkan sebagian ulama yang berpendapat bahwa jihad tersebut adalah fardhu ‘ain, atau mencela pendapat ulama yang mereka pilih. Sama sekali tidak demikan. Inti yang kami permasalahkan adalah tuduhan-tuduhan yang mengada-ada dan bagaimana seharusnya menyikapi masalah yang masih diperselisihkan oleh para ulama Ahlus Sunnah.

Hendaknya para saudaraku berfikir dan merenungi kembali apa yang telah mereka lakukan. Renungilah jika mereka berada dihadapan Allah kelak. Bayangkan jika saudara-saudara mereka yang mereka tuduh dan mereka cela secara semena-mena menuntut hak-hak mereka di hadapan Allah.

Begitu juga tatkala sebagian saudara mereka mengambil bantuan dari sebuah yayasan yang diperselilihkan oleh para ulama, apakah yayasan tersebut termasuk Ahlus Sunnah atau hizbi, maka mereka pun mengikuti ulama yang mengatakan bahwa yayasan tersebut adalah yayasan hizbi, kemudian mereka menyatakan bahwa saudara-saudara mereka yang mengambil bantuan dari yayasan tersebut adalah orang-orang hizbi. Bahkan yang lebih parah dari itu adalah menyatakan orang-orang yang bermu’amalah dengan orang-orang yang bermu’amalah dengan yayasan tersebut juga adalah hizbi.

Untuk mengupas lebih lanjut tentang masalah ini, maka kami bagi menjadi dua permasalahan:

Masalah pertama : Apakah yayasan ini yayasan bid’ah? (dan ini bukanlah permasalahan inti):

Yayasan ini mendapat rekomendasi dari para ulama kibar yang jelas lebih senior dan dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan para ulama yang menyatakan bahwa yayasan tersebut adalah yayasan hizbi. Memang pada yayasan tersebut terdapat kesalahan-kesalahan yang berkaitan dengan masalah manhaj. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah kesalahan tersebut mengeluarkannya dari lingkaran Ahlus Sunnah? Tentunya termasuk perkara yang umum diketahui bahwa tidak semua orang yang melakukan kesalahan lantas dikeluarkan dari Ahlus Sunnah.

Mungkin ada yang berkata, “Kita punya kaidah bahwa al-jarh al-mufassar muqaddam ‘alat ta’diil al-‘aam (kritik yang rinci didahulukan daripada rekomendasi yang sifatnya umum). Para ulama yang men-tahdzir yayasan ini telah mengetahui kesalahan-kesalahan yayasan ini secara terperinci.”

Jawabnya: Pernyataan ini secara tidak langsung menuduh bahwa para ulama kibar tidak mengerti fiqhul waqi’ dan tidak tahu medan dakwah, karena tidak mengetahui kesalahan-kesalahan yayasan ini. Padahal para ulama besar yang memberi rekomendasi terhadap yayasan tersebut antara lain:

1. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah.

2. Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah.

3. Syaikh Shalih al-Fauzan –hafizhahullaah-. (Dan khsusus Syaikh Sholeh Fauzaan, maka penulis sangat berharap saudara-saudaraku yang meragukan tazkiah beliau agar meminta Al-Ustaadz al-fadhil xxxx hafzohullah yang sempat berguru langsung kepada beliau untuk bertanya langsung kepada beliau, agar penulis tidak disangka mengada-ngada, baarokallahu fiikum)

4. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr –hafizhahullaah-. Ulama paling senior di kota Madinah (lihat http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=6610)

5. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh -hafizhahullaah-, Mufti Arab Saudi saat ini yang menggantikan posisi Syaikh Ibnu Baaz.

6. Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Syaikh -hafizhahullaah-, menteri agama kerajaan Arab Saudi saat ini.

7. Syaikh Abdullah bin Mani’ –hafizhahullaah-, anggota Komite Tetap untuk Urusan Riset dan Fatwa.

8. DR. Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid –hafizhahullaah-, anggota Komite Tetap untuk Urusan Riset dan Fatwa.

9. Prof. DR. ‘Ali bin Muhammad Nashir Faqihi –hafizhahullaah-, dan lain-lain.

Disamping itu, yayasan ini sangat terkenal dan kiprahnya diketahui oleh banyak orang, maka bagaimana mungkin para ulama tersebut menutup mata dari kesalahan-kesalahannya?! Ini mirip dengan cara hizbiyyin dalam menolak fatwa-fatwa para ulama kibar dengan tuduhan mereka tidak mengerti fiqhul waqi’, sehingga fatwa mereka mentah, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Na’udzu billah minal hizbiyyah.

~*~

Jika ada yang berkata, “Bagaimana pun juga mungkin saja para ulama tersebut tidak tahu.”

Jawabnya: Kemungkinan itu memang ada, tetapi kecil, tidak bisa dijadikan pijakan. Mengapa antum tidak memakai kemungkinan yang lebih besar, yaitu para ulama memang mengetahui kondisi yayasan ini, sebagaimana argumen di atas? Mengapa justru kemungkinan yang kecil yang antum jadikan pijakan? Mungkinkah para ulama mengeluarkan pernyataan tanpa ilmu dan tanpa mengetahui realita?!!

Alasan berikutnya yang menunjukan bahwa para ulama mengetahui kondisi yayasan ini adalah perseteruan antara Syaikh Rabi’ bih Hadi al-Madkhali –hafizhahullah- dan ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq jelas diketahui oleh para ulama kibar, terutama Syaikh Ibnu Baaz. Karena itu, jelas bahwa para ulama kibar mengetahui kondisi yayasan ini.

Jika ada yang berkata, “Sebagian ulama menyatakan bahwa para Syaikh tersebut ruju’ (meralat) rekomendasi mereka.”

Kita katakan, “Pernyataan tersebut bisa dijawab dari beberapa segi:

1. Rekomendasi terakhir seluruh para Syaikh yang disebut di atas, bahkan setelah perseteruan antara Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali –hafizhahullaah- dengan ‘Abdurrahman Abdul Khaliq, dan rekomendasi mereka masih ada. (Lihat risalah yang berjudul Syahaadaat Muhimmah li ulama’ al-Ummah fi Manhaj wa A’maal wa isdaaraat Jum’iyyah Ihyaa` at-Turats al-Islami)

Bahkan sebagian mereka merekomendasi yayasan ini berulang-ulang -terutama Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin-. Padahal syaikh Bin Baaz pernah membantah pemikiran syaikh Abdurrohman Abdul Kholiq dengan bantahan yang sangat gambalang (lihat Lihat Fataawa wa Maqaalaat Ibn Baaz (VIII/240-245), dengan judul Mulaahazhaat ‘ala Ba’dh Kutub asy-Syaikh ‘Abdirrahman ibn ‘Abdil Khaliq, yang bantahan tersebut ditulis pada tahun 1415 H)

2. Rekomendasi Syaikh Ibnu Baaz yang terakhir adalah pada tanggal 6/5/1418 H, yaitu menjelang wafatnya beliau -yaitu tanggal 27/1/1420 H-, (Lihat risalah Syaikh al-‘Allamah al-Muhaddits ‘Abdul Muhsin al-’Abbad yang berjudul al-Hatsts ‘ala Ittibaa’ as-Sunnah wat Tahdziir minal Bida’ wa Bayaan Khathariha, hal 60) dan sebelumnya beliau merekomendasi yayasan ini berulang-ulang. Hal ini menunjukkan bahwa pernyataan beliau ruju’ dan meralat rekomendasi beliau terhadap yayasan ini adalah dusta. Maka siapa saja yang menyatakan mereka telah ruju’, hendaklah ia mendatangkan bukti yang nyata.

Demikian juga rekomendasi Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah yang terakhir adalah pada tanggal 24/5/1418 H, menjelang wafatnya beliau. Rekomendasi Mufti Kerajaan Arab Saudi, Syaikh Abdulaziz Alu Syaikh –hafizhahullah- yang terakhir adalah tanggal 11/8/1421 H. Rekomendasi Syaikh Shalih Alu Syaikh pada tanggal 24/10/1423 H.

3. Selanjutnya, sulit dapat dibayangkan jika mereka memberi rekomendasi secara terang-terangan dan tertulis -bahkan tersiarkan- kemudian mereka ruju’ secara hanya diam-diam dan hanya diketahui oleh segelintir orang. Apalagi terdapat kebiasaan pada sebagian orang untuk tidak menerima taubat seseorang kecuali jika diumumkan. Mungkinkah mereka malu untuk ruju’ di hadapan umum?

Semua indikasi ini menunjukkan bahwa mereka tidaklah mencabut fatwa atau rekomendasi mereka. Sekali lagi siapa saja yang menyatakan mereka telah ruju’ maka hendaklah membawa bukti yang nyata. Alhamdulillah, sebagaian Syaikh tersebut masih hidup dan bisa ditanya secara langsung!

4. Jika para Syaikh tersebut merekomendasi yayasan tersebut pada saat ‘Abdurrahman ‘Abdul khaliq – yang kesalahannya telah terungkap- masih memiliki pengaruh yang besar terhadap yayasan tersebut, maka bagaimana mungkin mereka ruju’ jika pengaruh ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq di yayasan tersebut semakin berkurang untuk saat sekarang ini. Kemungkinan mereka justru semakin memperkuat rekomendasi terhadap yayasan tersebut, karena kesalahan-kesalahan yayasan tersebut menjadi semakin sedikit dan kondisinya semakin membaik.

~*~

Jika ada yang berkata, “Berarti para Syaikh tersebut menyatakan bahwa yayasan tersebut bersih dari kesalahan?! Hal ini tidak bisa kami terima karena kesalahan yayasan tersebut tampak di depan mata kami!”

Kita katakan: Rekomendasi para Syaikh tersebut tentu saja tidak menunjukkan bahwa yayasan tersebut tidak ada kesalahannya. Dalam sebagian fatwa para Syaikh -yaitu Syaikh Ibnu Baaz-, tampak jelas bahwa beliau mengetahui kesalahan yayasan tersebut, terutama kesalahan ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq.

Bahkan Syaikh Ibnu Baaz telah memberikan bantahan khusus kepada ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq sebagai jawaban atas surat yang dikirimkan oleh ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq kepada Syaikh Ibnu Baaz pada tanggal 8/3/1415 H. Beliau membantah enam kesalahan ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq yang tercantum di dalam buku-bukunya.( Lihat Fataawa wa Maqaalaat Ibn Baaz (VIII/240-245), dengan judul Mulaahazhaat ‘ala Ba’dh Kutub asy-Syaikh ‘Abdirrahman ibn ‘Abdil Khaliq.)

Meskipun demikian, beliau tetap menganggap bahwa yayasan tersebut masih yayasan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Maka yang benar adalah sebagaimana penjelasan Syaikh ‘Abdul Malik ar-Ramadhani bahwa pada yayasan tersebut ada kesalahan-kesalahan, sehingga para ulama berbeda pendapat, apakah kesalahan-kesalahan tersebut mengeluarkan yayasan tersebut dari Ahlus Sunnah atau tidak?. Disinilah letak perbedaan ijtihad dikalangan para ulama dalam menerapkan kaidah muwaazanah dalam menghukum.

~*~

Jika ada yang berkata, “Pendapat para ulama kibar mungkin saja lemah dan keliru.”

Jawabnya: Jika para ulama kibar yang memberi rekomendasi saja bisa keliru dan salah, padahal mereka lebih senior dan jumlahnya lebih banyak, maka para ulama yang meng-hizbi-kan yayasan tersebut -yang notabene mereka adalah murid-murid para ulama kibar tersebut, dengan jumlah mereka yang lebih sedikit- tentunya kemungkinan untuk salah dan keliru lebih besar lagi.

~*~

Jika ada yang berkata, “Bagaimana pun kebenaran itu disertai dengan dalil. Belum tentu para Syaikh kibar tersebut benar, meskipun mereka lebih senior dan jumlahnya lebih banyak.”

Jawabnya: Taruhlah pendapat para Syaikh yang men-tahdzir yayasan tersebut lebih benar, padahal belum tentu demikian. Maka yang menjadi pertanyaan, bagaimana sikap Antum yang mengetahui bahwa para Syaikh berselisih pendapat dalam masalah ini terhadap saudara-saudara antum yang semanhaj dengan antum, se’aqidah dengan antum, buku antum dan mereka sama, ulama antum dan mereka sama, dan… dan… dan…. Antum sama seperti hampir dalam seluruh perkara. Lalu mereka mengamalkan firman Allah:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kalian kepada para ulama jika kalian tidak mengetahui”

Mereka pun bertanya kepada para ulama kibar. Bukankah sangat wajar jika seseorang Salafi memilih para ulama yang lebih senior –juga lebih banyak jumlahnya- untuk dijadikan tempat bertanya dan bersandar dalam masalah ini? Layakkah kemudian Antum tuduh mereka sebagai pengikut hawa nafsu atau mata duitan, sehingga kalian meng-hajr dan men-tahdzir mereka?

Bertakwalah kepada Allah. Jagalah lisan-lisan kalian. Apakah kalian mengetahui isi hati mereka? Lihatlah, apakah saudara-saudara kalian yang kalian tuduh tersebut adalah orang-orang kaya?

(catatan : Bukanlah maksud saya bahwa suara terbanyak merupakan penetu kebenaran (sebagaimana yang disalahpahami oleh seorang ustadz)…ini sih demokrasi…, akan tetapi hanya untuk mengingatkan kita agar tidak mudah menuduh saudara kita mengikuti hawa nafsu dalam mencari fatwa-fatwa yang enak-enak !!!)

Lihatlah penjelasan para Syaikh kibar tentang manhaj Ahlus Sunnah dalam menyikapi perselisihan di kalangan ulama Ahlus Sunnah. Lihat pula penjelasan Ibnu Taimiyyah. Semoga Allah memberi petunjuk kepada kami dan kalian.

~*~

Jika ada yang berkata, “Kalau begitu, maksudnya kita harus diam dari kesalahan yayasan tersebut dan tidak mengingatkan umat dari kesalahannya?”

Jawabnya: Maksudnya bukan demikian. Nasehat adalah perkara yang sangat dituntut. Namun, bagaimana caranya? Apakah harus dengan melontarkan celaan di podium-podium dan masjid-masjid? Apakah harus menyebutkan nama saudara antum dengan diiringi tahdzir? Jika antum yang diperlakukan demikian, bagaimanakah perasaan antum? Lantas kenapa antum tidak sekalian saja men-tahdzir -atau bahkan meng-hajr- Syaikh Fauzan, Syaikh Shalih Alu Syaikh, Muftti kerajaan Arab Saudi, Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad, dan yang lainnya yang telah memberi rekomendasi kepada yayasan tersebut?

Bukankah para Syaikh inilah yang menjadi sebab terbukanya pintu untuk bekerjasama dengan yayasan tersebut, yaitu dengan adanya rekomendasi mereka kepada yayasan ini? Adapun orang-orang yang bermu’amalah dengan yayasan tersebut hanyalah merupakan akibat (dampak) dari rekomendasi tersebut. Kenapa kalian begitu gencarnya memerangi akibat dan tidak memerangi sebab sumber “malapetaka”?

~*~

Jika ada yang berkata, “Mereka kan para ulama, mereka mujtahid, mereka diberi udzur meski mereka salah.”

Jawabnya: Jika para Syaikh yang lebih memiliki ilmu, lebih mengetahui fiqhul waqi’, dan lebih memperhatikan maslahat umat saja mendapat udzur dari antum, maka saudara-saudara antum yang ilmunya lebih minim dan telah bertanya kepada mereka seharusnya harus lebih mendapat udzur dari antum. Jika antum bisa toleran kepada para Syaikh tersebut, seharusnya antum juga bisa toleran kepada saudara-saudara antum. Apalagi masalah ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyyah.

~*~

Jika ada yang berkata, “Kalau begitu, maksudnya kita bebas memilih salah satu pendapat dari para ulama yang berselisih, atau bahkan kita memilih pendapat yang paling enak dan paling ringan?”

Jawabnya: Tidak demikian. Bahkan yang dituntut adalah mencari pendapat yang paling benar dan menasehati saudara-saudara kita yang menyelisihi. Janganlah kita tuduh saudara-saudara kita mencari-cari pendapat yang paling ringan, karena bisa jadi pendapat yang paling ringan itulah yang menurut mereka paling benar. Belum tentu pendapat yang paling keras (kenceng) adalah pendapat yang paling benar, sebagaimana halnya pendapat yang paling ringan belum tentu menjadi pendapat yang paling benar.

Namun, yang harus menjadi perhatian Antum adalah bagaimana sikap seorang Ahlus Sunnah (Salafi) dalam menyikapi saudaranya yang menyelisihinya dalam masalah ijtihadiyyah yang masih debatable di kalangan ulama Ahlus Sunnah? Haruskah dengan tahdzir dan hajr?! Wallaahul musta’aan.

~*~

Masalah Kedua : Apakah yang menerima dana dari yayasan ini otomatis menjadi sururi? (Yang ini merupakan permasalah inti):

Masalah pertama adalah mengenai kedudukan yayasan tersebut, adapun permasalahan kedua adalah mengenai hukum mu’amalah dengan yayasan tersebut. masalah kedua ini lebih ringan dibandingkan yang pertama.

Dan perlu diperhatikan bahwasanya inilah permasalahan utama yang sedang kita hadapi. Bagi mereka yang berpendapat bahwa yayasan tersebut masih termasuk yayasan Ahlus Sunnah maka tidak ada lagi keraguan akan bolehnya bermua’amalah dengan yayasan tersebut. Siapa lagi yang lebih pantas untuk bermu’amalah dengan Ahlus Sunnah, kalau bukan Ahlus Sunnah itu sendiri.

Bahkan sebagian Syaikh yang men-tahdzir yayasan ini juga membolehkan mu’amalah dengan yayasan ini -mengambil bantuan darinya-, dengan catatan tanpa ada persyaratan dari yayasan tersebut ketika memberi bantuan, yaitu syarat-syarat yang menggiring ke arah hizbiyyah (sebagaimana telah lalu fatwa syaikh Muqbil dan fatwa Syaikh Ubaid Al-Jaabiri).

Fatwa ini menunjukkan bahwa mereka memahami bahwa meskipun mereka beranggapan yayasan tersebut adalah hizbi, namun seseorang yang bermu’amalah dengan yayasan tersebut tidaklah otomatis menjadi hizbi. Ini juga menunjukkan bahwa mereka khawatir jika orang yang bermu’amalah dengan yayasan tersebut akan terpengaruh dengan kesalahan yayasan tersebut dengan syarat-syarat khusus yang mereka ajukan.

Karena itu, menjadi jelas kekeliruan sebagian orang yang menyatakan bahwa saudara-saudaranya otomatis menjadi hizbi jika bermu’amalah dengan yayasan tersebut.

Barangsiapa yang menyatakan bantuan yang diberikan olah yayasan tersebut adalah syubhat maka ia harus mendatangkan dalil. Pernyataan ini secara tidak langsung menuduh para dermawan dari kalangan kaum muslimin yang menyalurkan uang mereka kepada yayasan ini, bahwa uang mereka adalah uang syubhat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja pernah bermu’amalah dengan kaum Yahudi, bahkan beliau pernah diberi hadiah kambing dari seorang wanita Yahudi. Padahal kita tahu bahwa kaum Yahudi adalah orang-orang yang bermu’amalah dengan riba dan menghalalkan perkara-perkara yang haram. Maka bagaimana lagi jika bantuan tersebut datangnya dari kaum mukminin?!

Sekali lagi kami tekankan, bahwa dana yang dimiliki oleh yayasan tersebut bersumber dari kaum muslimin yang dermawan, pihak yayasan hanya bertindak sebagai pengelola saja. Seandainya dana tersebut dikatakan sebagai “dana syubhat” –semoga saja tidak ada yang mengatakan seperti ini- maka bagaimanakah dengan tindakan mereka yang “minta-minta” di jalanan untuk “dana jihad”(?!) Dari mana dana tersebut berasal? Bukankah sangat tidak jelas siapa pemberinya dan apa profesinya? Manakah yang lebih utama untuk dikatakan sebagai “dana syubhat”?

Jika ada yang berkata, “Barangsiapa yang menerima bantuan dari yayasan tersebut, maka akhirnya ia akan seperti mereka, berjabat tangan dengan orang-orang sufi.”

Kita katakan: Ini adalah menerka perkara yang ghaib. Dari mana ia bisa mengetahui masa depan? Kenyataan yang terjadi adalah saudara-saudara kita yang bermu’amalah dengan yayasan ini selama bertahun-tahun, bahkan ada yang lebih dari sepuluh tahun, namun tidak terjadi hal-hal yang mereka tuduhkan. Mungkin terjadi sejumlah kesalahan, tetapi tidak sampai seperti yang dituduhkan.

Karena itu, mereka yang menuduh dengan tuduhan yang bermacam-macam hendaknya mengecek langsung keadaan saudara-saudara mereka yang bermu’amalah dengan yayasan tersebut, apakah mereka melakukan bid’ah seperti yang dituduhkan?! Yang tampak, kemudharatan-kemudharatan yang dikhawatirkan saat bermua’amalah dengan yayasan tadi tidaklah terjadi, alhamdulillah.

Bahkan sebaliknya, justru banyak kemaslahatan yang didapat dengan mu’amalah dengan yayasan ini. Diantaranya:

~ Dana tersebut akhirnya tidak tersalurkan kepada ahli bid’ah. Jika dana ini tidak segera diambil dan dimanfaatkan oleh Ahlus Sunnah, sementara para dermawan terus menyalurkan kelebihan harta yang mereka miliki, bisa jadi akhirnya yang memanfaatkan dana tersebut adalah ahli bid’ah, sehingga bid’ah pun semakin berkembang.

~ Banyak masjid yang dibangun dan dimanfaatkan untuk pengembangan dakwah Salafiyyah, meskipun bisa jadi ada sebagian masjid yang dikuasai oleh ahli bid’ah, namun ini kembali kepada pelaksananya, dan yayasan mensyaratkan bahwa masjid yang dibangun harus dimakmurkan oleh Ahlus Sunnah.

~ Mengurangi tingkat kristenisasi di daerah-daerah yang gencar terkena program kristenisasi, sedangkan kaum muslimin yang ada di Indonesia masih sulit untuk memberi bantuan kepada kaum muslimin yang hidup di daerah-daerah tersebut.

~ Banyak sekolah-sekolah yang bisa dibangun untuk mendidik anak-anak kaum mukminin yang menginginkan sekolah yang sesuai dengan al-Qur-an dan Sunnah. Apalagi melihat dakwah Salafiyyah yang semakin berkembang dan jumlah anak yang membutuhkan pendidikan yang benar semakin banyak, sedangkan sekolah yang ada masih sangat terbatas. Saat ini saja masih banyak anak belum bisa ditampung oleh sekolah-sekolah yang dibangun di atas manhaj yang benar, karena ruang sekolah yang terbatas.

~ Banyak anak-anak yang kurang mampu akhirnya bisa sekolah di sekolah-sekolah yang dibangun atas bantuan yayasan tersebut, karena memanfaatkan bantuan dari yayasan tersebut.

~ Banyak anak-anak yang yatim yang bisa dibantu.

~ Beberapa da’i bisa memperoleh kafalah (bantuan) dari yayasan tersebut. Ini lebih baik dibandingkan da’i yang mengharapkan bantuan dari murid-muridnya. Padahal murid-murid tersebut terkadang dalam keadaan membutuhkan. Hal ini juga dapat membantu keikhlasan seorang da’i. Sebab, dengan adanya kafalah tersebut, ia bisa berdakwah tanpa mengharapkan pemberian dari murid-muridnya. Meskipun demikian, tentunya da’i yang terbaik adalah da’i yang bisa mencari nafkah sendiri. Tidak mendapat nafkah dari dakwah, tetapi menafkahi dakwah. Sayangnya, perkara ini tidak semudah yang dikatakan, karena tidak semua da’i mampu melakukannya.

~ Adanya majalah yang tegak di atas sunnah dan bisa dijadikan sarana untuk membantah para ahli bid’ah. Manfaat majalah ini sangatlah banyak.

~ Adanya radio yang bisa menyalurkan suara Ahlus Sunnah untuk sampai ke rumah-rumah orang-orang yang mungkin enggan untuk ikut pengajian

Mengenai mudharat yang dikhawatirkan mungkin saja terjadi, atau memang terjadi. Namun, kalaupun memang ada maka harus dibandingkan dengan maslahat. Sebagian orang salah paham tentang kaidah “mencegah kemudharatan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan”, dimana kaidah ini berlaku untuk maslahat dan mudharat yang seimbang (sama-sama kuat). Jika maslahat yang diraih lebih banyak maka jelas didahulukan mengambil kemaslahatan tersebut.

~*~

Jika ada yang berkata, “Telah terbukti bahwa ada sekelompok orang yang mengambil dana dari yayasan tersebut kemudian memiliki pemikiran bid’ah.” (yang perlu diingat pembahasan kita di sini adalah seorang salafi yang mengambil dana atau bermu’amalah dengan yayasan kemudian berubah menjadi ahlul bid’ah. Bukanlah pembahasan kita seorang yang sejak awalnya sudah berpemikiran bid’ah kemudian menerima dana dari yayasan!!)

Kita katakan: Pernyataan ini perlu bukti yang kuat. Berapa banyak tuduhan yang sudah dilontarkan namun ternyata tidak benar. Contohnya tuduhan terhadap sebagian pondok pesantren yang ada di Jogjakarta dan Solo. Sebagian orang menuduh bahwa pada dua pondok tersebut ada Jama’ah Tabligh, al-Ikhwanul Muslimun, atau ada yang membela-bela Usamah bin Laden, Sururiyyun, Salman al-’Audah, Safar al-Hawali, dan ‘A-idh al-Qarni, atau ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq, ternyata semua ini adalah tuduhan dusta. Kenyataannya orang-orang tersebut justru mendapat sanggahan.

~*~

Jika ada yang mengatakan, “Mana bantahan-bantahan kepada orang-orang tersebut?”

Jawabnya: Ada, baik tertulis, maupun dalam bentuk ceramah. Namun perlu diingat bahwa tahdzir atau bantahan bukanlah pekerjaan mereka sehari-hari, sehingga setiap pengajian membahas orang-orang di atas, karena masalah ini kembali kepada maslahat dan mudharat. Terkadang orang awam sebaiknya tidak selalu disibukkan dengan membahas perkara-perkara ini sehingga meninggalkan perkara-perkara yang lebih wajib untuk mereka ketahui, seperti tauhid yang benar, dan sebagainya.

Karena itu, barangsiapa yang tinggal di Arab Saudi niscaya ia akan melihat bagaimana pengamalan para ulama kibar dan bagaimana ceramah-ceramah mereka, dimana mereka jarang membahas permasalahan-permasalahan seperti ini. Padahal di sanalah tempat timbulnya fitnah-fitnah. Bukan tidak membahasnya. Mereka tetap membahasnya, hanya saja bukan menjadi menu kajian mereka sehari-hari. Barangsiapa yang ingin mengecek hal ini, maka silahkan membaca buku-buku Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh al-Albani, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, atau mendengarkan ceramah-ceramah mereka dalam bentuk kaset dan CD, niscaya ia akan jumpai bahwa cara dakwah mereka tidak sama dengan apa yang diterapkan oleh sebagian orang di negeri kita ini.

~*~

Kalau ada yang berkata, “Minimal keberadaan yayasan ini membuat perpecahan di kalangan Salafiyyun? Bukankah ini merupakan kemudharatan?”

Jawabnya: Perpecahan tersebut tidak terjadi kalau saja kita bersikap benar dalam menghadapi perbedaan pendapat yang ada dikalangan ulama Ahlus Sunnah. Salaf memiliki manhaj dalam menyikapi orang-orang yang berselisih dengan mereka dalam permasalahan khilafiyyah ijtihadiyyah, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah, yaitu tidak boleh ada pengingkaran sampai tahap tahdzir, apalagi hajr, terlebih lagi tabdi’, yang seperti ini bukanlah manhaj Salaf. Dalam menghadapi masalah khilafiyyah ijtihadiyyah sikap yang benar adalah saling diskusi untuk menjelaskan pendapat yang paling benar tanpa sikap memaksakan pendapat.

Selanjutnya kita balik pernyataan kalian. Keadaan kalian yang melakukan tahdzir dan hajr tanpa mengikuti aturan yang benar itulah yang menimbulkan perpecahan di kalangan Salafiyyun. Karena Antum menyelisihi manhaj Salaf dalam menyikapi masalah khilafiyyah ijthadiyyah. Apakah maslahat yang antum dapatkan dari tahdzir yang Antum lakukan selain fitnah di kalangan Ahlus Sunnah?

Lihatlah mudharat yang justru semakin berlipat-lipat akibat sikap kalian, di antaranya:

1. Dakwah tauhid semakin terhambat

2. Masyarakat menjadi semakin takut mengenal manhaj Salaf, karena melihat keributan dalam barisan Salafiyyin.

3. Para ahli bid’ah menertawakan Ahlus Sunnah yang “ribut” sendiri. Lalu menjadikan hal ini sebagai sarana untuk menjauhkan umat dari dakwah salafiyyah. Bahkan mereka mendapatkan sarana untuk membantah Ahlus Sunnah dengan memanfaatkan bantahan-bantahan yang ditulis oleh sebagian Ahlus Sunnah terhadap sebagian yang lain.

4. Lihatlah sekililing kita yang penuh dengan syirik dan bid’ah. Akhir-akhir ini bid’ah semakin berkembang pesat. Bid’ah-bid’ah yang dahulu terselubung, sekarang menampakkan dirinya secara terang-terangan dan semakin banyak pengikutnya, seperti Ahmadiyyah, JIL, Islam Jama’ah, JI -yang melariskan faham Quthbiyyah-, Asyaairoh yang semakin menyebarkan syubhat di sana sini, dan lain-lain.

5. Berapa banyak waktu terbuang karena sibuk dengan qiil wa qaal -katanya dan katanya-. Para pemuda sibuk dengan hal ini sehingga terlalaikan dari menuntut ilmu.

6. Berapa banyak orang yang futur karena bingung menghadapi fenomena tahdzir dan hajr, bahkan banyak yang akhirnya kembali berbuat maksiat. Kalau kita di Indonesia perkaranya masih lebih ringan, jika ada seorang Ahlus Sunnah futur maka paling parah ia akan kembali melakukan kemaksiatan atau bid’ah. Namun yang terjadi di sebagian negara-negara barat yang kaum musliminnya minoritas, di mana banyak orang yang masuk Islam dengan mengenal manhaj Salaf, sebagian mereka ada yang tatkala futur karena tidak tahan menghadapi fenomena tahdzir akhirnya murtad dan kembali kepada kekufuran; dan lain-lain.

Sungguh, terlalu banyak mudharat yang timbul. Renungkanlah wahai saudaraku, pertimbangkanlah antara maslahat dan mudharat.

~*~

Jika ada yang berkata, “Kalian juga tidak bisa menyalahkan kami, karena kami mengikuti sebagian Syaikh -yang juga merupakan ulama Ahlus Sunnah-, dimana dari ucapannya dapat dipahami bahwa beliau men-tahdzir yayasan tersebut berikut orang-orang yang bermu’amalah dengannya.”

Jawabnya: Kami menganggap bahwa kalian melakukan kesalahan, karena kalian menerapkan tahdzir dan hajr sedangkan kalian mengetahui bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Ahlus Sunnah dalam masalah ini, sehingga merupakan masalah khilafiyyah ijtihadiyyah di kalangan Ahlus Sunnah yang tidak boleh disikapi dengan tahdzir, hajr, apalagi tabdi’.

Kalau kalian mengatakan tidak mengetahui perselisihan ulama Ahlus Sunnah dalam masalah ini, berarti kalian telah memutuskan suatu perkara dengan tergesa-gesa, tanpa mencari kejelasan dan mengilmuinya secara baik terlebih dahulu, dan ini juga merupakan kesalahan.

Saudaraku, jika kita tidak bersikap secara benar dalam menghadapi masalah khilafiyyah ijtihadiyyah, maka mungkin Ahlus Sunnah di negeri ini tidak akan pernah bersatu, karena masalah mungkin akan terus ada. Jika kita selamat dari masalah Ihya’ at-Turats maka boleh jadi kita akan dihadapkan dengan masalah-masalah yang lain. Karena itu, satu-satunya benteng yang tepat dalam menghadapi masalah-masalah yang terus berdatangan adalah kita kembali kepada manhaj Salaf dalam menghadapi permasalahan khilafiyyah ijtihadiyyah, sebagaimana yang sudah dipaparkan oleh Ibnu Taimiyyah.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Jika khilaf yang timbul adalah khilaf ijtihadiyyah yang diperbolehkan maka yang wajib adalah jangan sampai hati-hati menjadi terpecah belah, jangan sampai hati-hati menjadi berselisih karena hal itu. Sesungguhnya para sahabat yang mulia berselisih ijtihad mereka di masa Nabi dan sesudah wafat Nabi, akan tetapi tidaklah hati-hati mereka berselisih atau berpecah belah. Maka hendaknya kita meneladani mereka, karena akhir umat ini tidak akan baik kecuali dengan apa yang memperbaiki awal umat ini” (Kitaabul ‘Ilmi hal 204-205)

Peringatan I:

Sebagian orang menyadari bahwa perkara ini diperselisihkan oleh para ulama Salafiyyun, sehingga merupakan masalah khilafiyyah ijtihadiyyah yang tidak boleh disikapi dengan tahdzir dan hajr. Untuk mengatasi hal ini, sebagian mereka terpaksa berdusta secara terang-terangan, kedustaan yang sangat jelas, seperti halnya matahari di siang bolong. Kedustaan tersebut tampak sekali bagi orang-orang yang mengenal para ulama kibar dan mengenal fatwa-fatwa mereka. Apakah kedustaan itu? Mereka mengatakan bahwa para ulama ijma’ bahwa yayasan ini adalah yayasan hizbi. Wahai saudara-saudaraku, tahukah kalian perkataan Imam Ahmad:
مَنِ ادَّعَى الإِجْمَاعَ فَقَدْ كَذَبَ وَمَا يُدْرِيْهِ وَالنَّاسُ قَدِ اخْتَلَفُوْا

“Barangsiapa yang mengklaim ijma’ maka ia telah berdusta, bagaimana dia mengetahui hal itu, padahal bisa saja orang-orang berbeda pendapat.” (al-Muhalla (III/246)

Ibnu Hazm berkata, “Sungguh benar perkataan Imam Ahmad –semoga Allah meridhainya- barangsiapa yang mengklaim ijma’ pada perkara yang ia tidak yakin bahwa itu adalah pendapat seluruh umat Islam -tanpa ada keraguan pada seorang pun di antara mereka- maka ia telah berbuat kedustaan atas nama umat seluruhnya, dan dan dia meyakini (hanya) dengan persangkaannya (belaka), padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Persangkaan adalah perkataan yang paling dusta.” (al-Muhalla (III/246)

Dalam hal ini kita katakan sebagaimana perkataan Ibnu Hazm: Barangsiapa yang menyerukan bahwa para ulama Salafiyyun ijma’ bahwa yayasan tersebut adalah yayasan hizbi maka ia telah berdusta atas nama seluruh para ulama tersebut, dan ia telah meyakini sesuatu hanya dengan persangkaan belaka, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Persangkaan adalah perkataan yang paling dusta.”

Tidakkah mereka tahu bahwa mayoritas ulama kibar menyelisihi apa yang mereka yakini? Kalau mereka tidak tahu maka hal itu adalah musibah, namun jika mereka tahu –tetapi pura-pura tidak tahu- maka musibahnya jauh lebih parah.

Ataukah pendapat para ulama kibar tersebut tidak dianggap sama sekali? Apakah para ulama kibar itu hanya diambil fatwanya jika berkaitan dengan permasalahan fiqh saja, sedangkan permasalahan manhaj ada Syaikh khusus yang menangani?

Sebagian mereka menyadari kedustaan ini, lantas berkata, “Memang para ulama berselisih tentang hizbiyyah-nya yayasan yang ada di Kuwait tersebut, tetapi mereka ijma’ bahwa harus men-tahdzir yayasan tersebut”.

Kita katakan: Ini adalah kedustaan yang lebih parah dibandingkan kedustaan pertama. Bagaimana mungkin ada ulama yang menyatakan bahwa yayasan tersebut merupakan salah satu yayasan Ahlus Sunnah lantas mereka semua sepakat untuk men-tahdzir dan meng-hajr yayasan tersebut? Bagaimana mungkin bisa bersatu dua dzat yang bertolak belakang? Kapankah bisa bersatu antara utara dan selatan? Kapankah bisa bersatu antara rekomendasi dan tahdzir?

Bahkan sekiranya kita hendak membalikkan perkara justru bisa kita katakan bahwa para ulama kibar sepakat bahwa yayasan tersebut adalah yayasan Ahlus Sunnah.

Bagaimana pun, kedua permasalahan tersebut –yaitu masalah hukum jihad di tanah air dan hukum mu’amalah dengan yayasan Ihya` at-Turats- jelas bukan termasuk permasalahan ‘aqidah, namun ia merupakan permasalahan hukum.

Peringatan II:

Sebagian orang licik tatkala ingin mentahdzir saudara-saudaranya. Caranya mereka sebelum mentahdzir saudara-saudaranya maka mereka menampakan kesalahan-kesalahan Abdurrahman Abdul Kholiq dan sikap-sikap ulama yang keras terhadap beliau. Setelah itu mereka menyebutkan nama-nama saudara mereka yang bermu’amalah dengan Yayasan ini, mereka mengesankan bahwa saudara-saudara mereka tersebut membela pemikiran Abdurrahman Abdul Kholiq dengan dalih bahwa mereka bermu’amalah dengan Yayasan ini. Hal ini jelas merupakan sifat licik, semoga Allah menjauhkan kita dari sifat seperti ini.

Jika memang perihalnya demikian maka kenapa mereka tidak menyatakan bahwa para ulama yang merekomendasi ini juga membela pemikiran Abdurrahman Abdul Kholiq??.

Peringatan III

Sebagian orang berkutat membantah perkataan bahwa para ulama khilaf tentang kedudukan yayasan (hizbi atau bukan) merupakan khilaf yang mu’tabar (diperhitungkan). Akibatnya ia bersikeras menyatakan bahwa siapapun orangnya (bahkan meskipun orang tersebut termasuk deretan baris depan ulama kibar) yang mengatakan bahwa yayasan tersebut yayasan ahlus sunnah maka tidak diterima perkataannya???. Setelah itu ia berkutat dalam permasalahan ini dengan mendatangkan dalih-dalih yang sebenarnya telah penulis singgung sebelumnya dan tidak perlu diulang lagi (karena bukanlah ini permasalahan yang paling inti). Kemudian setelah membicarakan permasalahan ini dengan liciknya berusaha menyatakan bahwa orang-orang yang mengambil dana dari yayasan telah menyimpang manhajnya, dan dipahami dari perkataannya bahwa ia setuju dengan sikap teman-temannya yang mentahdzir dan menghajr saudara-saudaranya yang mengambil dana dari yayasan.

Oleh karena itu penulis mengingatkan para pembaca yang budiman bahwa permasalahan yang sedang kita hadapi ada dua sebagaimana telah lalu dan yang menjadi inti permasalahan adalah permasalahan yang kedua yaitu

“Apakah seorang salafi yang mengambil dana dari yayasan itu harus ditahdzir, dihajr, atau ditabdi’ dan dimasukkan dalam daftar ustadz-ustadz berbahaya??!!”Atau “Sebaliknya yaitu didekati dan digandeng agar tidak semakin jauh kesalahannya (kalau tindakkannya itu memang sebagai kesalahan) dan agar tumbuh dihatinya rasa simpati dan terbuka hatinya untuk menerima nasehat?”

Anggaplah kita sepakat dengan orang yang memandang bahwa khilaf para ulama tentang kedudukan Yayasan ini memang benar bukan merupakan khilaf yang mu’tabar diantara para ulama salafiyyin. Anggaplah bahwa yayasan tersebut memang merupakan yayasan hizbi, namun yang tidak diragukan lagi bahwasanya permasalahan bermu’amalah dengan ahlul bid’ah -secara umum- di zaman ini merupakan permasalahan ijtihadiah yang kembali pada kaedah “menimbang antara kemaslahatan dan kemudhorotan” yang diperoleh dari mu’amalah tersebut.

Jika perkaranya demikian maka khilaf para ulama tentang boleh atau tidaknya bermu’amalah dengan yayasan ini jelas merupakan perkara ijtihadiah dan bukan perkara yang qoth’i. Oleh karena itu khilaf tersebut merupakan khilaf yang mu’tabar (akan datang penjelasannya).

Sebagian orang tatkala mengetahui bahwa khilaf yang mu’tabar tidak bisa diterapkan al-wala’ dan al baro’ maka serta merta dengan beraninya mengisyaratkan seakan-akan bahwa khilaf tentang permasalahan ini bukanlah khilaf yang mu’tabar. Dengan demikian mereka –secara tidak langsung- telah membenarkan bahkan mendukung sikap mereka selama ini yang mentahdzir atau menghajr atau mentabdi’ saudara-saudara mereka yang bermu’amalah dengan yayasan.

Mereka berkata bahwasanya khilaf dalam permasalahan ini sebagaimana halnya khilaf yang terjadi antara para sahabat dalam permasalahan nikah mut’ah dimana Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah dan menyelisihi para sahabat yang lain. Sama juga halnya dengan permasalahan haramnya musik (yang dihalalkan oleh Ibnu Hazm), haramnya nikah tahlil (yang diriwayatkan dibolehkan oleh Abu Hanifah), jama’ah tablig yang direkomendasi oleh Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi, dan permasalahan-permasalahan yang lainnya.

Mereka berkata bahwa para ulama yang merekomendasi Yayasan itu dikarenakan ketidaktahuan mereka terhadap hizbiahnya yayasan sehingga mereka terpedaya dan merekomendasi Yayasan tersebut. Jika mereka tahu niscaya mereka akan segera metahdzir Yayasan tersebut dan tidak membolehkan mengambil dana dari yayasan tersebut.

Perkataan ini perlu kita cermati dengan baik. Sebelum kita menjawab lontaran ini marilah kita renungkan pertanyaan-pertanyaan berikut?

1. Apakah para masyayikh tersebut tidak mengetahui kesalahan-kesalahan manhaj yayasan?.

2. Apakah pendapat-pendapat para masyayikh yang merekomendasi Yayasan tidak dianggap??

3. Juga seandainya jika memang permasalahan mengambil dana (bermu’amalah) dengan yayasan memang khilaf yang tidak mu’tabar apakah lantas dengan serta merta orang yang mengambil dana dari yayasan tersebut dihajr??, dibaro??, dikeluarkan dari ahlus sunnah??, dikatakan sururi??, dimasukkan kedalam daftar ustadz-ustadz yang berbahaya??.

4. Bahkan tidak cuma yang bermu’amalah dengan yayasan tersebut, bahkan apakah juga melazimkan pihak ketiga yaitu yang tidak bermua’malah dengan yayasan akan tetapi bermu’amalah dengan orang yang bermu’amalah dengan yayasan atau diam dan tidak mentahdzir yayasan, atau tidak membaro’ orang-orang yang bermu’amalah dengan yayasan, apakah pihak ketiga ini juga harus ditahdzir dan mendapatkan tempat yang sama dengan pihak kedua??, ditahdzir, dihajr, diboikot, diungkapkan aib-aibnya di podium-podium, dimasukan dalam daftar ustadz-ustadz yang berbahaya????????!!!!!

Jawaban pertanyaan pertama

Maka kita katakan bahwa asalnya para ulama salafiyin tatkala berfatwa mereka berfatwa dengan ilmu. Maka jika ada tuduhan bahwa mereka berfatwa tanpa ilmu maka para penuduh itulah yang dituntut untuk mendatangkan dalil bahwa para ulama tidak mengetahui.

Kemudian para masyayikh yang merekomendasi sebagian diantara mereka sudah ada yang meninggal dunia, sehingga untuk mengecek apakah mereka tahu atau tidak tentang kesalahan-kesalahan yayasan merupakan perkara yang sulit. Namun kita bisa melihat indikasi-indikasi yang menunjukan akan hal ini meskipun tidak bisa kita pastikan.

Adapun Syaikh Bin Baaz maka telah lalu bahwasanya beliau mengerti betul dengan detail akan kesalahan-kesalahan Abdurrahman Abdul Kholiq –yang beliau ini dikatakan sebagai sumber kerusakan manhaj Yayasan -, bahkan beliau membantah khusus penyimpangan-penyimpangannya (sebagaimana telah lalu nukilannya).

Dan pernyataan bahwa Syaikh Bin Baaz tidak mengetahui, melazimkan bahwa Syaikh Bin Baaz telah berfatwa dengan kejahilan. Tatkala penulis bertanya kepada Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad –hafidzohulloh- akan hal ini –yaitu bahwa para masyayikh (Syaikh Bin Baaz dan yang lainnya) telah meninggal dunia tidak mengetahui kondisi yayasan- maka Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad berkata,
عَلَى كُلٍّ، عَلَى كُلٍّ (هَؤُلاَء) قَدْ تَكَلَّمُوْا بِالْعِلْمِ وَمَا تَكَلَّمُوْا بِالْجَهْلِ

“Bagaimanapun juga, bagaimanapun juga sesungguhnya mereka (para ulama yang membolehkan bermu’amalah dengan yayasan) telah berbicara di atas ilmu dan tidaklah mereka berbicara di atas kejahilan”

Adapun Syaikh-syaikh yang masih hidup maka alhamdulillah masih bisa kita temui langsung dan bisa kita tanyakan langsung sejauh mana pengetahuan mereka tentang kesalahan-kesalahan yayasan tersebut. Apakah mereka merekomendasi dengan kejahilan ataukah mereka merekomendasi dengan ilmu??.

Maka penulis sangat berharap mereka (yang menyatakan harus mentahdzir orang-orang yang bermu’amalah dengan yayasan) agar mereka bertanya langsung kepada para masyayikh yang masih hidup (yang membolehkan bermu’amalah dengan yayasan), yaitu dengan pertanyaan yang detail dengan penuh kejelasan akan kesalahan-kesalahan yayasan (Sebagaimana yang telah mereka lakukan tatkala bertanya kepada Syaikh Ibnu Utsaimin tentang hukum jihad di Indonesia dengan pertanyaan yang detail. Sayangnya tatkala jawaban Syaikh tidak sesuai dengan keinginan mereka maka lenyaplah fatwa Syaikh Utsaimin tersebut….!!!).

Dengan demikian mereka akan tahu benar atau batilnya persangakaan mereka bahwa para masyayikh berfatwa di atas kejahilan (atas kesalahan-kesalahan yayasan). Wallahul musta’aan

Adapun pertanyaan apakah Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad –hafidzohulloh- mengetahui kesalahan-kesalahan yayasan?, maka cukuplah pekataan Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili sebagai jawabannya. Penulis telah bertanya langsung tentang lontaran perkataan bahwasanya para masyayikh tidak mengetahui penyimpangan-penyimpangan yayasan Ihya At-Turots maka beliau serentak kaget dan berkata, “Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad tidak mengetahui???!!!, ini merupakan tho’en (celaaan) terhadap Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad”. (Perkataan Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili ini disaksikan oleh penulis sendiri, Abu Bakar Anas Burhannuddin Lc, dan Ahmad Zainuddin Lc pada tanggal 18 juni 2006 selepas sholat Isya di masjid Nabawi)

Jawaban Pertanyaan Kedua, Apakah Khilaf Yang Terjadi Bukanlah Khilaf Yang Mu’tabar??

Adapun perkataan mereka bahwa khilaf yang terjadi diantara para ulama bukanlah khilaf yang mu’tabar maka ini adalah syubhat klasik yang dijadikan dalih –bukan dalil- tatkala mereka sudah tidak menemukan jawabannya. Demikanlah lagu lama yang telah mereka kumandangkan sejak dahulu.

Tatkala para ulama khilaf tentang masalah jihad di Ambon, dengan mudahnya mereka tidak menganggap pendapat mayoritas ulama Ahlus sunnah yang menyelisihi mereka. Dengan mudahnya mereka berkata, “Para masyayikh telah ditipu oleh kaum sururiyun di Madinah, dan seterusnya tuduhan-tuduhan keji yang mereka lancarkan”. Setiap orang yang menyelisihi mereka maka dianggap penyelisihan mereka tidaklah mu’tabar.

Adapun khilaf para ulama tentang boleh atau tidaknya mengambil dana dari yayasan merupakan khilaf yang mu’tabar karena hal ini kembali pada memandang masalahat dan mudhorot.

Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili berkata, “Aku tidak membicarakan tentang hukum bermu’amalah dengan yayasan tersebut namun perlu diingat, ahlus sunnah siapakah yang tidak lepas dari kesalahan. Kemudian para masyayikh tatkala membolehkan bermu’amalah atau melarang bermu’amalah dengan yayasan Ihya At-Turots mereka memandang kepada mudhorot dan maslahat, yang hal ini merupakan permasalahan ijtihadiah.”. (Perkataan Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili ini disaksikan oleh penulis sendiri, Abu Bakar Anas Burhannudiin Lc, dan Ahmad Zainuddin Lc pada tanggal 18 juni 2006 selepas sholat Isya di masjid Nabawi)

Sebagaimana telah penulis katakan bahwa hukum bermu’amalah dengan ahlul bid’ah secara umum di zaman ini merupakan perkara ijtihadiah yang kembalinya pada menimbang antara masalahat dan mudhorot.

Adapun perkataan mereka bahwa khilaf dalam permasalahan ini adalah seperti khilaf para ulama dalam permasalahan nikah mut’ah, permasalahan musik, nikah dengan cara tahlil, dan lain-lain (silahkan merujuk kepada contoh-contoh khilaf yang tidak mu’tabar yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam risalahnya “Rof’ul Malam ‘anil a’immatil a’laam”), maka ini adalah qiyas ma’al faariq (penyamaan antara dua perkara yang pada keduanya terdapat perbedaan).

Perbedaan-perbedaannya adalah sebagai berikut:

Secara umum kita katakan bahwasanya permasalahan-permasalahan tersebut memiliki ciri-ciri yang sama

1. Para ulama yang membolehkan nikah mut’ah, atau musik, nikah dengan cara tahlil, atau membela jama’ah tabligh atau Sayyid Quthb, pada dasarnya jumlah mereka bisa jadi perorangan atau hanya segelintir orang yang tidak bisa dibandingkan dengan jumlah para ulama yang mengharamkan. Oleh karena itu para ulama menyebutkan bahwa khilaf mereka adalah pendapat yang syadz.

Hal ini berbeda dengan permasalahan bermu’amalah dengan yayasan Ihya At-Turots, para ulama yang membolehkan jumlahnya lebih banyak dan lebih senior, maka bagaimana bisa dikatakan bahwa pendapat mereka syadz (nyleneh) atau tidak dianggap. Jika perkaranya demikian maka siapa saja orangnya –meskipun hanya satu orang- tatkala menyelisihi jumhur akan dengan mudahnya menyatakan bahwa pendapat jumhur tidaklah mu’tabar.

2. Sebagian ulama yang berpendapat dengan pendapat-pendapat menyimpang tersebut sebabnya adalah karena tidak sampainya ilmu kepada mereka. Contohnya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berpendapat akan bolehnya nikah mut’ah karena tidak sampai kepada beliau pengharaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap nikah mut’ah. Demikian juga Ibnu Hazm -rahimahullah- tatkala menghalalkan musik, beliau berpendapat demikian karena beliau melemahkan hadits yang menujukan akan haramnya musik meskipun hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. Demikan juga halnya dengan segelintir ulama yang membolehkan nikah secara tahlil, tidaklah sampai kepada mereka hadits yang merupakan nash akan haramnya nikah tersebut (Majmu’ Fatawa XX/260).

Hal ini jelas berbeda dengan permasalahan bermua’amalah (mengambil dana) dari yayasan. Para ulama yang membolehkan bermu’amalah dengan yayasan tersebut telah mengetahui penyimpangan-penyimpangan yayasan tersebut sebagaimana telah lalu penjelasannya

3. Sebagian permasalahan-permasalahan ini kaitannya dengan permasalahan hukum yang ada nashnya (dalil yang tegas) baik dari Al-Qur’an, hadits, ataupun ijmak. Hal ini berbeda dengan permasalahan mu’amalah dengan yayasan, karena tidak ada dalil yang tegas dari Al-Qur’an atau hadits atau ijmak yang menunjukan akan penghalalan dan pengharaman. Bahkan kaidah ushul fikih menjelaskan bahwa hukum asal dana dari bantuan tersebut adalah halal. Maka jika ada yang mengatakan bahwa hukum dana tersebut adalah haram maka dialah yang dituntut untuk mendatangkan dalil.
الأَصْلُ فِي الأُمُوْرِ الْمُنْتَفِعَةِ الإِبَاحَةُ

“Kaedah dasar/hukum asal setiap hal yang berguna adalah mubah.”( Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir, oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisy AL Hambaly I/97)

Dan penulis sangat yakin bahwasanya para masyaikh yang mengharamkan bermu’amalah dengan Yayasan juga meyakini bahwa dana tersebut hukum asalnya adalah halal karena ia merupakan dana para muhsinin. Jika perkaranya demikian, lantas mereka mengharamkan bermu’amalah dengan yayasan tersebut???, tentunya karena hal yang lain, yaitu karena mereka kawatir orang-orang yang bermu’amalah dengan yayasan tersebut akan turut serta melariskan kegiatan penyimpangan manhaj yang dilakukan oleh yayasan tersebut. Nah, disinilah ijtihad para masyayikh berbeda-beda.

Demikianlah yang telah dijelaskan oleh Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili bahwasanya khilaf yang timbul diantara para ulama tentang bermu’amalah dengan yayasan Ihya’ At-Turots kembali kepada ijtihad masing-masing dalam memandang sejauh mana manfaat dan mudhorot mengambil dana tersebut.( Perkataan Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili ini disaksikan oleh penulis sendiri, Abu Bakar Anas Burhannudiin Lc, dan Ahmad Zainuddin Lc pada tanggal 18 juni 2006 selepas sholat Isya di mesjid Nabawi)

Orang yang menqiyaskan khilaf yang sedang kita bicarakan dengan khilaf-khilaf (tentang hukum musik, nikah mut’ah, dll) tidak mengetahui kaidah untuk mengetahui kapan sebuah khilaf dikatakan mu’tabar atau tidak mu’tabar. Oleh karena itu jika orang yang mengatakan boleh bermu’amalah dengan yayasan Ihya’ At-Turots balik menyatakan bahwa khilaf para masyayikh yang melarang adalah khilaf yang tidak mu’tabar dengan menggunakan dalil-dalil yang disebutkan oleh orang tersebut (yaitu dalil qiyas terhadap nikah mut’ah, musik, dll) maka orang tersebut akan kerepotan menjawabnya. Karena masing-masing dari mereka sama-sama menyatakan bahwa khilaf yang bertentangan dengan pendapat mereka adalah khilaf yang tidak mu’tabar tanpa dhowabit/kriteria yang jelas dan tegas.

Perlu dijelaskan bahwa permasalahan interaksi (mu’amalah) dengan suatu organisasi atau yayasan tertentu atau orang tertentu termasuk salah satu bentuk ijtihad, dan bukan termasuk permasalahan yang telah ditetapkan dalam nash (dalil). Oleh karena itu para ulama’ ahli ushul fiqih menyatakan bahwa ijitihad ulama’ terbagi menjadi tiga macam:

1. Ijtihad dalam memahami nash (dalil), apakah dalil tersebut bersifat terbatas hanya pada kasus yang menyertai datangnya dalil tersebut ataukah berlaku pula pada kasus lain yang serupa dengannya.

Sebagaimana yang telah diketahui sendiri, bahwa dalil-dalil dalam Al Qur’an dan As Sunnah atau lainnya tidaklah pernah menjabarkan dirinya sendiri kepada umat. Yang menjabarkan maksud dan menggubah kandungan dalil adalah para ulama’ ahlul ijtihad. Dan dalam menjalankan amanah menggubah kandungan dalil, sering terjadi perselisihan dan perbedaan. Sebagai salah satu contohnya ialah, hadits berikut:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: (الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ، سَوَاءٌ بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ، فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ). رواه مسلم

Dari sahabat Ubadah bin Shamith, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, korma dijual dengan korma, dan garam dijual dengan garam, harus serupa dan sama dan kontan. Bila jenis barang-barang ini berbeda, maka juallah sesuka hatimu, selama jual-belinya dengan cara kontan”. (HR Muslim).

Para ulama’ berbeda pendapat apakah hal-hal yang dikategorikan ke dalam barang-barang riba riba fadhel hanya keenam hal yang disebut dalam hadits ini saja, sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama’ dzhahiriyyah ataukah mencakup hal lain yang serupa dengannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh jumhur/kebanyakan ulama’. Ijitihad semacam ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan ijtihad dengan takhrij al manath.

Dan ulama’ yang menyatakan bahwa hadits ini mencakup seluruh barang yang serupa dengan keenam barang tersebut, juga berselisih pendapat, apakah sisi persamaan (alasan/’illah) yang menjadi dasar hukum permasalahan ini.

2. Ijtihad dalam menentukan alasan/’illah hukum permasalahan yang disebutkan dalam suatu dalil.

Sebagai contoh: pada hadits diatas, jumhur ulama’ yang berpendapat bahwa barang-barang yang serupa dengan keenam barang di atas juga berlaku padanya hukum riba fadhel, masih berselisih dalam menentukan alasan /’llah berlakunya hukum riba fadhel padanya.

Ada dari mereka yang menyatakan: alasan berlakunya riba fadlel pada emas dan perak ialah karena keduanya sebagai alat berjual-beli, dan alasan pada keempat barang lainnya ialah karena barang-barang tersebut adalah bahan makanan, dan ini adalah pendapat yang difatwakan oleh madzhab Syafi’i. Sehingga menurut mereka setiap bahan makanan bila ditukar dengan barang yang sejenis, harus ditukar dengan cara kontan dan sama jumlahnya, bila sampai ada yang ditunda penyerahannya atau dilebihkan, maka itu adalah transaksi riba. Dengan demikian beras, jagung, buah-buahan, kopi, teh, gula coklat, ikan laut dan seluruh bahan makanan, berlaku padanya hukum riba fadhel.

Ada pula dari ulama’ yang menyatakan bahwa alasan dari berlakunya riba pada (gandum, garam, kurma) adalah karena barang-barang ini adalah makanan pokok. Sehingga hukum riba fadhel berlaku pada setiap bahan makanan pokok, dan tidak berlaku pada selainnya. Dengan demikian selain makanan pokok, misalnya kopi, teh, coklat, gula, dan yang serupa tidak berlaku padanya hukum tersebut. Dan ini adalah pendapat yang difatwakan dalam madzhab Maliky.

Ada pula dari ulama’ yang menyatakan bahwa alasan berlakunya hukum riba fadhel pada keenam barang tersebut adalah karena penjualannya dengan cara ditimbang atau ditakar. Sehingga setiap barang yang diperjual-belikan dengan ditimbang atau ditakar berlaku padanya hukum riba fadhel, termasuk padanya paku, semen, besi, kertas, dan seluruh barang yang penjual-beliannya dengan ditimbang atau ditakar. Dan ini adalah pendpat yang difatwakanoleh mazhab Hanafy.

Ijtihad semacam ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan ijtihad tanqih al manath.

3. Ijtihad dalam menerapkan alasan/illah suatu hukum yang disebutkan dalam dalil.

Bila telah dipahami alasan /’illah yang mendasari hukum yang ditegaskan dalam suatu dalil, para ulama’ juga masih bertugas menerapkan alasan/’illah tersebut dalam kasus-kasus nyata yang terjadi.

Sebagai contoh misalnya: ulama’ telah menyatakan bahwa alasan diharamkannya minuman keras/khamer ialah karena memabukkan, bahkan alasan ini dengan tegas telah dinyatakan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ (كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ). رواه مسلم

Dari Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah khomer, dan setiap yang memabokkan adalah haram”. (HR Muslim).

Akan tetapi ketika menerapkan alasan/’illah diharamkannya khamer ini pada kasus nyata, maka para ulama’ pasti akan berijtihad dalam mencocokkan alasan tersebut apakah benar-benar terwujud pada kasus tersebut atau tidak. Bila ada cairan yang diambil dari perasan anggur –misalnya-, ulama’ tidak akan serta merta menyatakan bahwa minuman tersebut haram, akan tetapi mereka akan berijtihad dan berfikir dengan serius untuk membuktikan keberadaan alasan “memabokkan” pada perasan tersebut.

Ijitihad macam ini disebut dalam ilmu ushul fiqih dengan ijtihad tahqiq al manath. (Bagi yang ingin mengetahui pembahasan macam-macam ijtihad semacam ini silahkan membaca kitab-kitab ushul fiqih dalam pembahasan Al Ijtihad, misalnya pada kitab: Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir, oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisy Al Hambaly 2/198-201, Al Muwafaqaat oleh As Syathiby 4/62-78)

Kembali pada inti permasalahan: Bila kita amati permasalahan interaksi dengan yayasan–misalnya- niscaya kita akan dapatkan bahwa permasalahan ini dapat dikatagorikan kedalam ijtihad jenis ke-2 dan juga ke-3. Apakah kesalahan-kesalahan yang ada pada yayasan tersebut sudah cukup untuk mengeluarkan mereka dari golongan Ahlis Sunnah wal Jama’ah atau belum? Dan apakah kesalahan-kesalahan tersebut termasuk kesalahan-kesalahan yang pelakunya harus dihajer dan dijauhi?

Demikian juga halnya dengan orang-orang yang berinteraksi dan menerima dana dari mereka. Apakah hal ini merupakan kesalahan/kemaksiatan ? Dan bila merupakan kesalahan apakah telah menjadikan mereka keluar dari golongan ahlus sunnah? Dan apakah dengan kesalahan tersebut mereka harus dihajer dan dijauhi?

Bila pembagian macam-macam ijtihad seperti diatas, maka jelaslah bahwa sebagian dari orang-orang yang menulis tentang permaslahan-permaslahan ijtihad (dan metode menyikapi orang-orang yang menyelisihi pendapatnya) telah melakukan kesalahan besar, dan juga telah melampaui batas kemampuannya. Sebagian orang secara tidak langsung telah menobatkan dirinya sebagai mujtahid besar/hakim bagi para ulama, sehingga dengan entengnya ia mengatakan bahwa pendapat ulama fulan tidak mu’tabar, dan pendapat fulan mu’tabar, dan seterusnya. Akan tetapi kenyatannya tidaklah sesuai dengan anggapannya tersebut, sehingga yang terjadi seperti dinyatakan dalam pepatah arab:
كُلٌّ يَدَّعِي وَصْلاً بِلَيْلَى وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَ

“Setiap orang mengaku bahwa ia kekasih Laila,

Sedangkan Laila tak pernah mengakui anggapan itu untuknya.

Yang sungguh menganehkan orang yang menyatakan bahwa khilaf tentang bermu’amalah dengan yayasan Ihya’ At-Turots adalah khilaf yang tidak mu’tabar dengan mengqiaskannya dengan permasalahan-permasalahan di atas (yaitu hukum musik, nikah mut’ah, dan lain-lain) telah mengambil contoh khilaf-khilaf yang tidak mu’tabar tersebut dari risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang berjudul “Rof’ul malam ‘anil aimmatil a’laam” yang artinya “Mengangkat celaan dari para imam”.

Isi dari risalah ini adalah memberi udzur kepada para ulama yang salah pendapat mereka, bukan isinya untuk mencela mereka. Namun anehnya malah digunakan sebagai sarana untuk mencela saudara-saudara mereka yang “salah/menyimpang” (dalam tanda petik = yaitu menurutnya)???!!!

Kemudian yang lebih aneh lagi ternyata kita dapati adanya syaikh-syaikh -yang mentahdzir yayasan dan melarang bermu’amalah dengan mereka- yang menganggap bahwa khilaf tentang bolehnya bermu’amalah dengan yayasan tersebut adalah khilaf yang mu’ttabar sehingga mereka tidak membangun al-wala’ wal baro’ terhadap mereka yang bermu’amalah dengan yayasan tersebut.

Diantara syaikh-syaikh tersebut yang sampai kepada penulis adalah, Syaikh Abdul Malik Romadhoni Al-Jazairi, dan Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkholi (Sebagaimana tatkala penulis tanyakan langsung kepada beliau di sebuah majelis di kediaman beliau (pada bulan Ramadhan tahun 2004 M) di hadapan mahasiswa Madinah dan sebagian ikhwan yang merupakan murid Syaikh Muqbil –rahimahullah-, penulis bertanya, “Syaikh, apakah maksud anda yaitu kita harus mentahdzir dan menghajr serta melarang orang-orang untuk bermajelis dengan salafiyin yang mengambil dana dari yayasan Ihya’ At-Turots?”. Maka beliau menjelaskan bahwa beliau tidak menyuruh untuk mentahdzir dan menghajr. Demikianlah jawaban syaikh dan banyak saksi yang mendengar jawaban ini.

Sebagai bukti nyata pengamalan pendapat beliau adalah sikap beliau terhadap Syaikh Abdurrozaq yang bermu’amalah dengan yayasan Ihya At-Turots. Tatkala ada seorang ikhwan –di majelis yang sama, “Bagaimana dengan Syaikh Abdurrozaq yang bermu’amalah dengan yayasan Ihya’ At-Turots?”, maka apakah perkataan beliau, “Aku dan Syaikh ‘Abdurrazzaq seperti tangan yang satu, bahkan jari yang satu.”. Oleh karena itu mereka berdua tidak saling menghajr dan jika bertemu maka terlihat mereka berpelukan, yang menunjukan rasa hormat dan saling mencintai di antara mereka berdua)

Oleh karena itu kesimpulannya lontaran bahwasanya khilaf ini adalah khilaf yang tidak mu’tabar jelas merupkan lontaran yang tidak mu’tabar .

Simaklah perkataan Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad berikut ini. Penulis telah bertanya langsung kepada Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad,

“Sebagian ikhwah menyatakan bahwa khilaf diantara para ulama tentang bermu’amalah dengan yayasan Ihya’ At-Turots adalah khilaf yang tidak mu’tabar (tidak dianggap) karena para ulama yang menyatakan bolehnya bermu’amalah tidak mengetahui hakekat yayasan, dan tidak mengetahui penyimpangan-penyimpangan yayasan?”.

Syaikh menjawab,
هَذا الكَّلاَمُ لاَ يُلْتَفَتُ إِلَيهِ، الجُمْعِيَّةُ لاَ تُتْرَكُ وَلاَ تُهْجَرُ وَيُسْتَفَادُ مِنْهَا

“Ini adalah perkataan yang tidak dipandang, yayasan (Ihya’ At-Turots) tidaklah ditinggalkan dan tidak ditelantarkan, dan diambil faedah dari yayasan ini” (Penulis bertanya langsung kepada Syaikh di mesjid beliau pada hari senin tanggal 19 juni 2006. Rekamannya ada pada penulis)

Dan inilah yang benar justru perkataan orang yang menyatakan bahwa ini adalah khilaf yang tidak mu’tabar justru perkataannya itulah yang merupakan khilaf yang tidak mu’tabar. Wallahul musta’aan.

Diantara dalil yang menunjukan bahwa masalah ini adalah permasalahan ijtihadiah adalah para masyayikh yang melarang bermua’amalah dengan yayasan ini tidak pernah mentahdzir apalagi menghajr terlebih lagi mentabdi’ para masyayikh yang merekomendasi yayasan ini atau membolehkan bermu’amalah dengan yayasan ini.

Oleh karena itu tidak pernah kita dapati Syaikh Robi’ atau Syaikh Ubaid Al-Jabiri, atau Syaikh Muhammad bin Hadi, atau Syaikh Abdul Malik Romadhoni –hafdzohumulloh- yang mentahdzir Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad, atau Syaikh Sholeh Fauzan, atau Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, atau Syaikh Sholeh Alu Syaikh, atau Syaikh Abdurrozaq Al-Abbad –hafidzohumulloh-. Bahkan mereka selalu memuji satu terhadap yang lainnya.

Jika ada yang berkata, “Sikap para ulama tidak bisa kita ikuti karena mereka adalah mujtahid dan mereka adalah para ulama jadi mereka saling menghormati, adapun diantara kita maka tidak bisa diterapkan demikian karena kita tidak seperti mereka. Jadi kita akan tetap mentahdzir dan menghajr orang yang bermu’amalah dengan yayasan”

Kita katakan, “Ini adalah sebuah perkataan yang lucu. Kalau bukan sikap para ulama yang kita contohi maka apakah kita harus mencontohi sikap para juhala’ yang bersikap brutal dan membabi buta dalam praktek hajr, tahdzir, dan tabdi’???”

Kemudian jika para ulama menyatakan bahwa khilaf ini adalah khilaf yang mu’tabar kemudian ada salah seorang ikhwah yang menyatakan tidak mu’tabar maka ucapan siapakah yang harus kita ikuti???.

Bahkan ada yang berani-beraninya mengecap saudara-saudaranya yang mengambil dana dari yayasan adalah pengikut hawa nafsu yang hanya mencari fatwa-fatwa yang enak tanpa dalil. Bahkan ada yang mengibaratkan sudara-saudara mereka yang mengikuti fatwa ulama untuk mengambil dana dari yayasan seperti ayam yang sedang mencari makanan di tong sampah. Subhaanallaah, فَهَلْ شَقَقْتَ قُلُوْبَهُمْ؟؟ “Apakah engkau telah membelah dada mereka??”, “Apakah saudaramu yang mengambil fatwa ulama kibar engkau katakan sebagai pengekor hawa nafsu?”. Apakah setiap yang tidak menerima pendapatmu engkau katakana pengikut hawa nafsu???”. Laa haula wala quwwata illa billah

Bagaimana jawabanmu jika saudara-saudaramu yang engkau tuduh sebagai pengekor hawa nafsu balik menuduhmu dan teman-temanmu sebagai pengikut hawa nafsu dengan dalil-dalil sebagai berikut??

1. Sudah terbukti sebelumnya jika dalam permasalahan ijtihadiah khilafiyah lantas ada yang menyelisihi kalian maka langsung kalian keluarkan dari ahlul sunnah –bahkan dikatakan munafiq- sebagaimana dalam permasalahan jihad di Ambon. Ini jelas merupakan bentuk mengikut hawa nafsu.

2. Kalian sendiri dahulu terbukti saling tahdzir-tahdziran bahkan saling mentabdi’ diantara kalian karena sebab-sebab yang tidak pantas, ini jelas merupakan bentuk mengekor hawa nafsu.

3. Kalau ada fatwa syaikh yang bertentangan dengan pendapat kalian –betapapun tinggi ilmunya syaikh tersebut- maka diantara kalian ada yang menyembunyikannya. Ini jelas merupakan bentuk pengabdian kepada hawa nafsu.

4. Sebagian kalian ada yang meminta fatwa kepada seorang syaikh dengan menyebutkan kesalahan-kesalahan masa lampau saudaranya agar saudaranya tersebut ditahdzir oleh syaikh tersebut. Ini jelas bentuk pengumbaran hawa nafsu.

Kemudian rupanya ada maksud dibalik tuduhan saudara-saudara mereka sebagai pengikut hawa nafsu, apakah maksud di balik tuduhan ini???

Maksudnya untuk mendukung perkataan mereka “Kita menghormati para ulama yang telah berijtihad dan bersalah (yaitu dalam tanda petik), adapun orang-orang yang mentaqlid mereka dengan hawa nafsu dan tanpa dalil maka “wa la karomah”, tidak ada udzur bagi mereka.”

Apakah engkau saja yang berijtihad sedangkan saudara-saudaramu yang mengambil dana tidak berijtihad dalam mengambil langkah mereka??

Simaklah perkataan Syaikh Al-Albani berikut ini:

“…Intinya, semua khilaf yang tejadi ini dan masih banyak sekali khilaf-khilaf yang lain tidaklah menyebabkan terpecah belahnya umat Islam. Karena seorang alim berpendapat sesuai dengan apa yang dilihatnya dan umat mengikuti para ulama mereka dari belakang. Barangsiapa yang puas dan tenang dengan pendapat yang itu maka dia berada di atas petunjuk, dan barangsiapa yang puas dan tenang dengan pendapat yang lain maka ia juga berada di atas petunjuk. Karena kami dalam kesempatan ini mengucapkan sebuah ungkapan yang hendaknya di tulis dan direkam serta disebarkan. Ungkapan tersebut adalah

“Sebagaimana seorang mujtahid jika benar maka mendapatkan dua pahala dan jika keliru maka mendapatkan satu pahala, maka demikian juga orang yang mengikuti seorang mujtahid maka hukumnya sebagaimana hukum mujtahid”.

Yaitu barangsiapa yang mengikuti pendapat yang benar yang dipilih oleh imam mujtahid (yang diikutinya) maka ia akan mendapatkan dua ganjaran. Maka orang ini yang mengikuti mujtahid juga mendapatkan dua ganjaran. Memang tentu saja berbeda antara ganjaran yang diperoleh sang mujtahid dengan ganjaran orang yang mengikutinya. Akan tetapi orang yang mengikutinya juga mendapatkan dua ganjaran. Adapun orang yang mengikuti imam yang lain yang ternyata keliru dan dia mendapatkan satu ganjaran, maka demikian juga orang yang mengikutinya akan memperoleh satu ganjaran…” (Dari Silsilah Al-Huda Wan Nuur no 779 yang direkam pada tanggal 14 Sya’ban 1414 H (26 Januari 1994 M) dengan judul kaset “As-Siyasah Asy-Syar’iyah”.)

Jawaban pertanyaan ke tiga

Jika memang permasalahan mengambil dana dari yayasan memang ijma’ (disepakati) oleh seluruh para ulama salafiyun akan pengharamannya kemudian ada seorang salafi yang masih bersikeras mengambil dana dari yayasan tersebut karena ada syubhat dikepalanya maka apakah dia otomatis keluar dari ahlus sunnah dan menjadi ahlul bid’ah, dan dicap sebagai sururi, dan dimasukkan dalam daftar ustadz-ustadz berbahaya???.

Sesungguhnya ini merupakan salah satu pengamalan manhaj Haddadiyah yang mengeluarkan seseorang dari ahlus sunnah dengan hanya karena segelintir kesalahan, tanpa menimbang-nimbang dan membandingkan antara kesalahan dan kebaikan orang tersebut.

Renungkanlah wahai saudaraku, apakah saudaramu yang mengambil dana dari yayasan membela-bela kesalahan-kesalahan yayasan???, apakah dia ikut melariskan penyimpangan-penyimpangan manhaj yayasan???, ataukah dana yang ia ambil malah digunakan untuk mengembangkan dan menyebarkan dakwah salaf??!!!.

Kalau ada yang berkata, “Tatkala ia mengambil dana dari yayasan maka otomatis ia akan memuji yayasan?”.

Kita katakan hal tidaklah benar, tidak mesti orang yang menerima bantuan dari orang lain otomatis akan memuji kesalahan-kesalahan orang yang memberinya bantuan, sebagaimana ustadz yang antum agung-agungkan dahulu juga mengambil dana dari beberapa orang yang menurut kalian bukanlah salafi. Namun meskipun demikian sang ustadz tidak memuji akan tetapi tetap terus mengambil dana dari mereka. Adapun memuji kebaikan orang yang membantunya tersebut dalam hal “membantu” maka inilah yang semestinya karena ini merupakan salah satu bentuk terima kasih kepada orang yang telah berbuat baik.

Memang benar ada sebagian orang yang mengambil dana dari yayasan kemudian memuji yayasan…, maka orang tersebut seakan-akan dituduh membela kesalahan-kesalahan yayasan tersebut. Bahkan kemudian hal ini semoga saja tidak dijadikan sarana untuk bertanya kepada seorang syaikh, “Ya Syaikh bagaimana hukum orang yang membela yayasan??”. Bisa jadi syaikh akan memahami bahwa orang tersebut telah membela kesalahan-kesalahan yayasan.

Namun yang menjadi pertanyaan apakah jika ada orang yang memuji yayasan (karena keyakinannya bahwa yayasan tersebut belum keluar dari salafiyah) lantas apakah hal ini melazimkan ia ikut membela dan memuji penyimpangan-penyimpangan yayasan???. Ataukah yang ia puji adalah kebaikan-kebaikan yayasan yang ia lihat???. Oleh karena itu janganlah sampai dipahami bahwa orang yang memuji yayasan otomatis berarti memuji penyimpangan-penyimpangan yayasan tersebut.

Berikut ini penulis sampaikan dialog Syaikh Al-Albani dengan salah seorang penanya dari Yaman yang menyatakan kepada syaikh bahwasanya ada seorang dai yang memuji ahlul bid’ah dan telah diketahui bersama bahwa ahlul bid’ah tersebut memiliki perkataan-perkataan yang menyimpang. Maka dikatakan kepadanya, “Apakah da’i ini memuji perkataan yang menyimpang tersebut ataukah memuji pengucapnya?”

Kemudian Syaikh Al-Albani berkata kepadanya, “Akapah jika aku memuji seseorang berarti aku membenarkan seluruh perkataannya?”. Penanya tersebut berkata, “Tidak”. Syaikh Al-Albani berkata kepadanya, “Jika demikian maka apa maksud dari pertanyaanmu ini?”. Kemudian Syaikh berkata kepadanya:

((Wahai akhi.. aku nasehati engkau dan para pemuda yang lain yang berdiri di atas garis yang menyimpang –wallahu A’lam, inilah yang nampak padaku- janganlah kalian menyia-nyiakan waktu kalian untuk mengkritik antara sebagian kalian terhadap sebagaian yang lain. Engkau berkata, “Si fulan mengatakan demikian.., si fulan bilang demikian…”. Karena pertama hal ini sama sekali bukanlah ilmu dan yang kedua uslub (cara) seperti ini membuat hati menjadi marah, dan menimbulkan hasad dan permusuhan pada hati-hati (kalian).

Yang wajib bagi kalian adalah menuntut ilmu, ilmulah yang akan mengungkap bahwa apakah perkataan yang memuji si fulan karena si fulan ini memiliki banyak kesalahan –misalnya- apakah berhak bagi kita untuk menamakan orang yang memuji si fulan ini sebagai pelaku bid’ah yang kemudian apakah kita hukumi sebagai mubtadi’???, kenapa kita harus terlalu tenggelam hingga mendetail seperti ini??. Aku nasehati (engkau) agar jangan terlalu tenggelam hingga mendetail seperti ini!!. Karena kenyataannya kita mengeluhkan perpecahan yang sekarang terjadi di antara orang-orang yang berintisab kepada dakwah Al-Kitab dan As-Sunnah atau sebagaimana yang kita katakan sebagai dakwah salafiyah, perpecahan ini, wallahu a’lam, penyebab utamanya adalah dorongan jiwa yang memerintahkan kepada keburukan (an-Nafsul ammarah bis suu`) dan bukanlah perselisihan pada sebagian pemikiran. Inilah nasehatku…

Aku sering sekali ditanya, “Apa pendapatmu tentang fulan?”, dan aku langsung faham bahwa ia (penanya) orang yang memihak atau memusuhi. Dan terkadang orang yang ditanyakan adalah termasuk ikhwan-ikhwan kita. Dan terkadang orang yang ditanyakan termasuk diantara ikhwan-ikhwan lama kita yang dikatakan dia telah menyimpang, maka kami bantah penanya tersebut, apa yang engkau inginkan terhadap fulan dan fulan??
Berlaku luruslah sebagaimana engkau diperintahkan! Tuntutlah ilmu! Dengan ilmu engkau akan dapat memilah-milah mana yang thalih dan mana yang shalih, siapa yang benar dan siapa yang salah.!!! Kemudian janganlah engkau ini mendengki terhadap saudaramu sesama muslim hanya dikarenakan ia bersalah atau kita katakan ia telah munharif (menyimpang). Akan tetapi ia menyimpang dalam dua atau tiga permasalahan, adapun permasalahan-permasalahan yang lain ia tidak menyimpang…)) (Silsilah Al-Huda wan Nuur kaset (784)

Marilah pembaca yang budiman untuk kembali membaca buku ini pada kesimpulan yang kesembilan dari kaedah-kaedah hajr menurut Ibnu Taimiyyah. Telah penulis jelaskan di sana bahwa tidak semua kesalahan yang dilakukan oleh seseorang mengeluarkan dia dari ahlus sunnah.

Dan mungkinkah sikap mentabdi’ yang membabi buta dan pukul rata ini merupakan salah satu dari warisan yang diwarisi dari fikroh-fikroh sesat Ikhwanul Muslimin atau orang-orang Takfiryyin yang pernah dianut oleh banyak du’at sebelum mereka kenal dengan dakwah salaf???. Mungkinkah ini sisa noda-noda pemikiran yang masih melekat di pikiran sebagian du’at, akibat pelajaran dan tarbiyah yang pernah mereka terima dari seorang ustadz mereka yang dahulu mereka agung-agungkan dengan mengkaji karya-karya tokoh Ikhwanul Muslimin tersebut beberapa tahun silam?! (Meskipun kemungkinan ini bisa jadi tidak benar, namun semua sudah memaklumi manhaj yang seperti ini (tahdzir dan hajr tanpa kaidah dan dengan cara pukul rata) adalah manhaj yang dicetuskan oleh ustadz yang dahulunya mereka agung-agungkan itu. Setalah ustadz tersebut lepas dari mereka ternyata manhaj ini masih terus diwarisi oleh mereka. Wallahu A’lam)

Untuk dapat memahami bahwa ini adalah sebagian dari warisan tersebut, maka para pembaca hendaknya senantiasa ingat bahwa diantara metode orang-orang khowarij dan yang menganut paham mereka, ialah senantiasa melazimkan antara klaim terhadap pelaku dengan hukum perbuatannya. Mereka senantiasa berkata: “Setiap pelaku kemaksiatan pasti fasiq, dan setiap pelaku bid’ah pasti mubtadi’, dan setiap pelaku kekufuran pasti kafir.”

Metode berfikir semacam ini nyata-nyata menyelisihi metode Ahlus sunnah, sebab mereka senantiasa membedakan antara keduanya, pelaku dan perbuatan, sehingga tidak setiap pelaku kekafiran itu kafir, dan tidak setiap pelaku bid’ah itu mubtadi’ dan tidak setiap pelaku kefasikan itu fasiq.( Bagi yang ingin mendapatkan penjelasan lebih jelas silahkan baca kitab, mauqif Ahlis sunnah wal aljama’ah min ahlil ahwa’ wal bida’ oleh Dr. Ibrahim Ar Ruhaily 1/163-235) Berkat metode berfikir yang bijak ini, ahlus sunnah senantiasa dapat berkata-kata dan bersikap tepat dan penuh dengan hikmah.

Ibnu Taimiyyah berkata:
وَالتَّحْقِيْقُ فِي هَذَا، أَنَّ الْقَوْلَ قَدْ يَكُوْنُ كُفْرًا، كَمَقَالاَتِ الْجَهْمِيَّةِ الَّذِيْنَ قَالُوْا: إِنَّ اللهَ لاَ يَتَكَلَّمُ وَلاَ يُرَى فِي الآخِرَةِ، وَلَكِنْ قَدْ يَخْفَى عَلَى بَعْضِ النَّاسِ أَنَّهُ كُفْرٌ، فَيُطْلَقُ الْقَوْلَ بَتَكْفِيْرِ الْقَائِلِ، كَمَا قَالَ السَّلَفُ: ((مَنْ قَالَ “الْقُرْآنُ مَخْلُوْقٌ” فَهُوَ كَافِرٌ، وَمَنْ قَالَ “إِنَّ اللهَ لاَ يُرَى فِي الآخِرَةِ” فَهُرَ كَافِرٌ))، وَلاَ يُكَفَّرُ الشَّخْصُ الْمُعَيَّنُ حَتَّى تَقُوْمَ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ

“Dan yang tepat /benar dalam masalah ini, bahwa kadang kala sebuah perkataan adalah kekufuran, sebagaimana halnya dengan perkataan-perkataan orang-orang jahmiyyah, yang mengatakan: Sesungguhnya Allah tidak berbicara, dan tidak bisa dilihat kelak diakhirat, akan tetapi kadangkala hal itu tidak diketahui oleh sebagian orang, sehingga diithlakkan ucapan pengkafiran kepada orang yang mengucapkannya, sebagaimana yang dikatakan oleh ulama salaf, “Barang siapa yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq, maka ia kafir, dan barang siapa yang mengatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat diakhirat, maka ia kafir”, dan tidaklah dikafirkan orang tertentu, sampai tegak atasnya Al hujjah” (Majmuu’ Fataawaa VII/619)

Sebagai salah satu bukti dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ialah kejadian yang dialami oleh sahabat Mu’ad bin Jabal t berikut ini:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ: لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَا هَذَا يَا مُعَاذٌ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدَدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (فَلاَ تَفْعَلُوْا، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِراً أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا)

“Dari sahabat Abdullah bin Abi Aufa, ia mengisahkan: “Tatkala Mu’adz tiba dari Syam, ia bersujud kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau bertanya: apa ini wahai Mu’adz? Mu’adz menjawab: Aku baru saja datang dari Syam, dan aku mendapatkan mereka bersujud kepada para uskup dan pendeta mereka, maka aku merencanakan dalam hatiku untuk melakukan hal itu denganmu?Maka Rasulullah-pun bersabda:”Janganlah kalian lakukan itu, karena seandainya aku diizinkan untuk memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku akan perintahkan kaum istri/wanita untuk bersujud kepada suaminya.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Pada kisah ini sahabat Mu’adz telah bersujud kepada selain Allah ta’ala, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak serta merta mengkafirkannya, dan juga tidak bersikap keras kepadanya. Ini dikarenakan sahabat Mu’adz melakukan hal tersebut bukan rangka beribadah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi karena ingin menghormati beliau dengan anggapan bahwa menghormati seseorang dengan cara demikian itu dibolehkan.

Pada kisah ini Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap lembut dan tidak menghardik Mu’adz, apalagi sampai mengkafirkannya.

Pada lain kesempatan, sikap ini ternyata tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menghadapi kesalahan Mu’adz lainnya, yaitu ketika ia menjadi imam shalat Isha’ dan ia memanjangkan shalatnya yaitu dengan membaca surat Al Baqarah, sehingga menyebabkan salah seorang sahabat yang memisahkan diri dari jama’ah, dan akhirnya terjadi percekcokan antara Mu’adz dan sahabat tersebut. Akhirnya ketika kejadian tersebut sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau murka dan bersabda kepada Mu’adz:
يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ ؟! (ثَلاَثَ مَرَّاتٍ) فَلَوْلاَ صَلَّيْتَ بِـ(سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ) وَ(وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا) وَ(اللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى)، فَإِنَّهُ يُصَلِّي وَرَاءَكَ الْكَبِيْرُ وَالضَّعِيْفُ وَذُوْ الْحَاجَةِ

“Wahai Mu’adz, apakah engkau hendak menjadi orang yang menimbulkan fitnah?! (beliau bersabda demikian sebanyak tiga kali) Seandainya saja engkau shalat dengan membaca surat (Sabbihisma rabbikal a’ala / al A’ala) dan surat (as Syamsi wa dhuhaha) dan surat (Al Laili idza yaghsya), karena sesungguhnya yang shalat dibelakangmu ada orang tua, orang lemah/sakit dan orang yang memiliki keperluan.” Muttafaqun ‘alaih.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam murka kepada Mu’adz karena ia memanjangkan shalatnya, akan tetapi pada kesempatan lain, yaitu ketika beliau shalat malam dan berjama’ah dengan sahabat Huzaifah bin Yaman, beliau memanjangkan shalatnya, bahkan lebih panjang dari shalat Mua’dz bin jabal. Karena bila Mu’adz hanya membaca surat Al Baqarah, beliau malah membaca surat Al Baqarah, An Nisa’ dan Ali Imran pada raka’at pertama, lalu beliau ruku’ dan ruku’nya hampir sama dengan bacaan shalatnya, kemudian beliau bangkit dari ruku’ (I’itidal) dan I’itidalnya hampir sama lamanya dengan ruku’nya dst, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dll.

Hal ini bukanlah berarti Nabi menyelisihi perintahnya kepada Mu’adz, akan tetapi inilah hikmah dalam berdakwah, karena perbedaan situasi, kondisi dan juga perbedaan obyek/orang yang dihadapi, beliau berbeda sikap. Dan inilah sebab tersesatnya orang-orang khowarij, mu’tazilah dan yang serupa dengan mereka yang hanya mengambil satu sikap tanpa memandang perbedaan objek dan tanpa memandang situasi dan kondisi. Wallahu a’lam bisshowaab

Jawaban pertanyaan ke empat

Adapun sikap yang keempat ini –yaitu menghajr dan mentabdi’ orang yang tidak menghajr dan tidak mentabdi’ orang bermu’amalah dengan yayasan- merupakan kesalahan manhaj yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Justru sikap seperti inilah yang banyak beredar di tanah air -semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semua dan menyadarkan saudara-saudara kita yang telah terjerumus dalam manhaj ini-. Bukankah kebanyakan ustadz atau ikhwan yang ditahdzir adalah hanya karena perkara ini yaitu karena mereka diam tidak mentahdzir atau mentabdi’ orang-orang yang bermu’amalah dengan yayasan???

Bukankah inilah salah satu manhaj Haddadiyah “Mentabdi’ setiap orang yang tidak mau mentabdi’ orang yang terjatuh ke dalam bid’ah” !!!???

Sebagai bukti salah penerapan manhaj tahdzir-tzhdzir ini adalah sebagian ikhwan-ikhwan kita yang memiliki manhaj ini dan menerapkan manhaj ini ternyata mereka sendiri saling tahdzir mentahdzir dan saling tabdi’ mentabdi’. Senjata mereka (manhaj yang keliru yang biasanya mereka arahkan kepada saudara-saudara mereka di seberang) ternyata juga mengenai rekan-rekan mereka sendiri.

Setelah –alhamdulillah- datang dua orang syaikh dari luar negeri untuk mendamaikan mereka dimana masing-masing diberi kesempatan untuk mengungkapkan kesalahan-kesalahan saudaranya maka ternyata kesalahan-kesalahan tersebut merupakan kesalahan-kesalahan yang ringan yang sangat-sangat sungguh-sungguh tidak bisa dijadikan dalih –apalagi dalil- untuk mentahdzir, apalagi menghajr, apalagi mentabdi’ saudaranya. Wallahul musta’aan. Hal ini menunjukan mereka belum paham manhaj yang benar dalam menyikapi mukholif (orang yang menyelisihi). Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semua.

Peringatan IV:

Barangsiapa yang berpendapat bahwa suatu perkara adalah bid’ah dalam masalah khilafiyyah ijtihadiyyah, dan dia meyakini hal tersebut, maka janganlah ia membangun al-wala` wal bara` (loyalitas dan permusuhan) di atas perkara tersebut, meskipun ia meyakini perkara tersebut adalah bid’ah, karena masih merupakan khilafiyyah ijtihadiyyah, sementara menjaga persatuan adalah perkara yang sangat dituntut dalam syari’at.

Ibnu Taimiyyah ditanya tentang orang yang taqlid kepada sebagian ulama dalam permasalahan ijtihadiah, apakah orang seperti ini diingkari atau dihajr?, demikian juga orang yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat ulama (apakah juga diingkari dan dihajr)?”

Maka beliau menjawab, “Alhamdulillah, barangsiapa yang mengamalkan pendapat sebagian para ulama dalam permasalahan-permasalahan ijtihadiah maka tidaklah diingkari. Dan barangsiapa yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat ulama maka tidak diingkari. Jika dalam satu permasalahan ada dua pendapat dan nampak bagi seseorang kuatnya salah satu pendapat maka hendaknya ia mengamalkan pendapat tersebut, jika tidak nampak baginya (kuatnya salah satu dari dua pendapat tersebut) maka hendaknya ia mentaqlid sebagian ulama yang ia jadikan sandaran yang menjelaskan pendapat yang paling rojih (kuat) diantara dua pendapat tersebut. Wallahu A’lam” (Majmu’ fataawa (XX/207))

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Lihatlah para Imam (kaum muslimin) yang benar-benar memahami nilai persatuan. Imam Ahmad t berpendapat qunut shalat Subuh adalah bid’ah. Meskipun demikian beliau berkata, “Jika engkau shalat di belakang Imam yang qunut maka ikutilah qunutnya, dan aminkanlah doa imam tersebut.” Semua ini demi persatuan barisan dan hati, serta agar tidak timbul kebencian antara sebagian kita terhadap sebagian yang lain.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ (IV/86).

Oleh karena itu, Syaikh al-Albani yang berpendapat bid’ahnya sejumlah perkara yang merupakan permasalahan khilafiyyah ijtihadiyyah tidak membangun al-wala’ wal bara’ di atas perkara-perkara tersebut.

Demikian juga dengan masalah yang kita hadapi. Barangsiapa yang meyakini bahwa Yayasan adalah yayasan hizbi maka hendaklah ia jangan membangun al-wala’ wal bara’ di atasnya karena masalahnya masih adalah khilafiyyah ijtihadiyyah, sehingga yang dituntut adalah kritik, saran, dan nasehat yang membangun, tanpa sikap memaksakan pendapat. Wallaahu a’lam.

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “…Dan tidak mengapa (jika terjadi khilaf ijtihadi) untuk mengadakan dialog dengan tenang dalam rangka sampai kepada kebenaran karena inilah metode para sahabat. Adapun menjadikan khilaf -ijtihadi yang diperbolehkan- sebagai ajang untuk mengobarkan kebencian, permusuhan, dan berkubu-kubu, maka hal ini menyelisihi jalan para as-Salaf as-Shalih. Maka hendaknya seseorang mengamati dan berfikir tentang syari’at Islam ini, sesungguhnya syari’at Islam datang untuk menyeru kepada persatuan dan saling mencintai serta melarang semua perkara yang menimbulkan perpecahan dan permusuhan…” (Kitaabul ‘Ilmi hal 214)

Nasehat al-‘Allamah al-Muhaddits Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr, salah seorang ulama yang paling senior di Madinah, tentang sikap sebagian Ahlus Sunnah di Indonesia yang meng-hajr dan mencela saudara-saudara mereka yang bermu’amalah dengan Yayasan Ihya` at-Turats:
أَقُوْلُ لا َيَجُوْزُ لِأَهْلِ السُّنَّةِ فِي إِنْدُوْنِيْسِيَا أَنْ يَتَفَرَّقُوْا وَأَنْ يَخْتَلِفُوْا مِنْ أَجْلِ التَّعَامُلِ مَعَ جُمْعِيَةِ إِحْيَاءِ التُّرَاثِ فَإِنَّ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ الَّذِيْ يُفَرِّقُ بِهِ بَيْنَ النَّاسِ. وَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ أَنْ يَجْتَهِدُوْا فِي تَحْصِيْلِ الْعِلْمِ النَّافِعِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ وّأّنْ يَتْرُكُوْا الشَّيْءَ الَّذِيْ فِيْهِ فِتَنٌ.
جُمْعِيَةُ إِحْيَاءُ التُّرَاثِ فِيْهَا خَيْرٌ كَثِيْرٌ، فِيْهَا نَفْعٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ فِي مُخْتَلَفِ أَقْطَارِ الأَرْضِ مِنْ جِهَةِ الْمُسَاعَدَاتِ وَمِنْ جِهَةِ تَوْزِيْعِ الْكُتُبِ.
الاِخْتِلاَفُ بِسَبَبِ هَذَا لاَ يَصْلُحُ وَلاَ يَسُوْغُ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ. وَعَلَى أَهْلِ السُّنَّةِ هُنَاكَ أَنْ يَتَّفِقُوْا وَأَنْ يَتْرُكُوْا التَّفَرُّقَ

“Aku katakan, tidak boleh bagi Ahlus Sunnah di Indonesia untuk berpecah belah dan saling berselisih disebabkan masalah mu’amalah dengan Yayasan Ihya` at-Turats, karena ini adalah termasuk perbuatan setan yang dengannya ia memecah belah di antara manusia. Namun yang wajib bagi mereka adalah besungguh-sungguh untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Hendaknya mereka meninggalkan sesuatu yang menimbulkan fitnah.

Yayasan Ihya` at-Turats memiliki kebaikan yang banyak, bermanfaat bagi kaum muslimin di berbagai tempat di penjuru dunia, berupa berbagai bantuan dan pembagian buku-buku. Perselisihan disebabkan hal ini tidak boleh dan tidak dibenarkan bagi kaum muslimin. Dan wajib atas Ahlus Sunnah di sana (di Indonesia, pen) untuk bersepakat dan meninggalkan perpecahan.” (Jawaban berupa nasehat ini beliau sampaikan di masjid seusai shalat Zhuhur, Kamis, 13 Oktober 2005, atau 10 Ramadhan 1426 H. Pada kesempatan tersebut yang meminta fatwa adalah Abu Bakr Anas Burhanuddin, Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah Zain, dan Abu ‘Abdil Muhsin Firanda Andirja -penyusun artikel ini-. Kami juga telah minta izin kepada beliau untuk menyebarkan fatwa ini sebagai nasehat bagi Ahlus Sunnah yang ada di Indonesia)

Fatwa Syaikh DR Ibrahim bin ‘Aamir Ar-Ruhaili (beliau adalah salah seorang ulama salafi di Madinah, serta pengajar resmi di mesjid Nabawi) tentang hukum mengambil dana bantuan dari yayasan Ihya’ At-Turots (Fatwa ini beliau sampaikan dalam daruroh ilmiyyah yang diadakan oleh Ma’had Al-Irsyaad al-‘Aali As-Salafi di Malang pada tanggal 18 juli 2006)

Penanya : “Syaikh yang mulia –semoga Allah memberkahi anda- saya punya pertanyaan yang berkaitan dengan apa yang terjadi antara salafiyin di Indonesia. Bagaimanakah sikap kami terhadap saudara-saudara kami yang keras yang mentahdzir semua yang mengambil bantuan dari yayasan Ihya’ At-Turots dimana mereka menyangka bahwa hukum mengambil bantuan (dari yayasan Ihya’ At-Turots) hanya satu, maksudku yaitu para ulama tidak berselisih akan tidak bolehnya mengambil bantuan dari yayasan ini.

Diantara saudara-saudara kami yang keras tersebut ada yang mengatakan bahwa permasalahan ini bukanlah permasalahan khilafiah yaitu bukan permasalahan ijtihadiah. Maka dengan demikian ia berkata, “Kita harus mentahdzir semua orang yang bermu’amalah dengan yayasan ini karena mereka adalah turotsiyun, para mubtadi’ dan kita harus menghajr mereka.” Apa pendapat anda wahai Syaikh yang mulia dalam permasalahan ini?”

Syaikh Ibrahim berkata, “Sesungguhnya saya selalu ingin agar pembahasan kita adalah menanamkan manusia di atas pokok-pokok ilmu dan tidak masuk dalam permasalahan-permasalahan tertentu, karena kalau kita habiskan waktu kita dalam permasalahan-permasalahan tertentu maka tidak akan selesai-selesai dan akan banyak menyia-nyiakan waktu. Akan tetapi jika perkaranya telah sampai pada perselisihan dan perseteruan yang besar diantara ahlus sunnah, diantara para penuntut ilmu di suatu negeri maka semestinya untuk dijelaskan kebenaran bagi mereka.

Yang pertama, hukum terhadap sebuah perbuatan bahwasanya perbuatan tersebut boleh atau tidak boleh maka itu bukanlah dikembalikan pada manusia akan tetapi permasalahannya dikembalikan kepada dalil, dikembalikan pada apa yang ditunjukan oleh dalil. Dan hukum terhadap sesuatu merupakan dampak dari gambaran terhadap sesuatu tersebut.

Sebelum membicarakan tentang hukum mengambil bantuan dari yayasan Ihya’ At-Turots maka kita harus mengetahui hukum yayasan ini. Siapakah mereka?, siapakah yang menjalankan yayasan ini?. Hukum terhadap yayasan ini termasuk perkara yang sangat sulit, terlebih lagi jika kita mengetahui bahwa yang menjalankan yayasan ini adalah banyak orang sebagaimana yayasan-yayasan yang lain, baik yayasan-yayasan dalam negeri maupun yayasan-yayasan dakwah. Orang-orang berintisab (berafiliasi) kepada satu yayasan dan mereka bertingkat-tingkat pemahaman mereka dalam apa yang mereka yakini. Saya berafiliasi kepada Universitas Islam Madiah (Al-Jaami’ah Al-Islaamiah) sebagai pengajar, maka apakah seluruh orang yang berafiliasi terhadap Universitas Islam Madinah seluruhnya sepakat denganku?, dan aku sepakat dengan dia?. Perkaranya tidaklah demikian.

Para penuntut ilmu, dantara kalian ada yang kemarin merupakan mahasiswa di Universitas Islam Madinah maka apakah seluruh mahasiswa di Universitas Islam Madinah seperti kalian?. Perkaranya tidaklah demikian. Orang-orang yang berafiliasi kepada yayasan bahkan pada yayasan dakwah milik pemerintah tidaklah pada satu tingkatan. Kita (di Arab Saudi) ada yayasan Hai’ah Kibaaruil Ulama (Lembaga para ulama besar). Barangsiapa yang berkata bahwasanya mereka (para ulama kibar) semuanya di atas satu jalan dan mereka satu pemahaman dan bersepakat dalam mengahadapi permasalahan-permasalahan dan mereka tidak berselisih pendapat maka ini adalah salah. Para ulama berselisih dalam pemahaman, mereka berselisih dalam hal itu. Meskipun mereka berada di atas dasar pokok-pokok ahlus sunnah dan di atas aqidah ahlus sunnah namun mereka bisa saja saja berijtihad pada permasalahan-permasalahan lalu mereka berselisih pendapat.

Jika perkaranya demikian maka menghukumi lembaga-lembaga dan yayasan-yayasan termasuk perkara yang sangat sulit. Terlebih lagi bahwasanya yayasan ini (Ihya At-Turots) yang bergerak dalam bidang dakwah ada yang menegakkan yayasan ini dengan bantuan harta dan ada yang langsung terjun dalam dakwah yaitu dari kalangan para dai. Maka hukum terhadap yayasan ini merupakan perkara yang sangat sulit. Oleh karena itu semestinya kita bertakwa kepada Allah dalam menghukumi setiap orang atau setiap yayasan.

Demi Allah tidak seyogyanya berprasangka kepada orang yang mencari kebenaran bahwasanya dia hanya ingin membela dirinya. Aku tidak peduli dengan keridhoan manusia tentang keyakinanku terhadap yayasan Ihya’ At-Turots atau aku tidak berkeyakinan, akan tetapi yang penting adalah hendaknya seseorang bertakwa kepada Allah terhadap apa-apa yang diucapkannya, karena kita akan ditanya (pada hari kiamat) akan hukum yang kita vonis. Yayasan Ihya’ At-Turots ini dijalankan oleh para pedagang dari Kuwait yang mereka cinta kepada sunnah dan para Ahlus sunnah. Mereka sering mendatangi kami dan banyak menelepon kami dan berkata, “Kalian adalah tempat kami kembali dan kami kembali pada kalian”. Mereka berkumpul dengan para masyayikh di Madinah, mereka mendengar dari para masyayikh dan para masyayikh menasehati mereka pada banyak perkara dan menjelaskan terhadap mereka. Mereka memiliki kesalahan-kesalahan, dan tidak seorangpun yang mengingkari hal ini. Mereka memiliki majalah yang terdapat penyelewengan-penyelewengan dan kesalahan-kesalahan. Kita semua mengetahui hal ini. Maka menghukumi mereka bahwasanya mereka adalah termasuk ahlul bid’ah dan ahli kesesatan dan mereka adalah musuh-musuh sunnah dan musuh-musuh dakwah salafiah tidaklah benar.

Dan perkataan bahwasanya mereka tidak memiliki kesalahan dan mereka seperti ulama dalam memahami dakwah ini juga tidaklah benar. Mereka adalah para pedagang yang menjalankan yayasan ini dan sebagian dai yang berafiliasi kepada yayasan ini adalah salafiyun dan tidak diragukan akan kesalafian mereka akan tetapi ia berkata aku tinggal di sebuah negeri yang aku tidak menemukan orang yang menanggung biayaku dalam berdakwah lalu aku mengambil gaji dari yayasan namun aku bebas dalam berdakwah –dan ia datang bertanya kepadaku- apakah aku berafiliasi kepada mereka (yayasan Ihya’ At-Turots)?”. Aku katakan kepadanya jika mereka memberikan harta kepadamu dan engkau bertanggung jawab terhadap ilmu dan dakwah kepada sunnah maka tidak mengapa engkau mengambil faedah dari gaji (yang diberikan yayasan) dan engkau adalah pemiliki ilmu lebih faham tentang sunnah dari pada para pedagang yang membantumu. Dan jika mereka berkata kepada, “Tidak, kami tidak akan memberikan gaji kepadamu kecuali jika engkau mendakwahkan ini..engkau meninggalkan ini…dan berbicara tentang ini..maka tidak boleh bagi kita untuk masuk dibawah bendera seorangpun, bagaimanapun juga. Mereka cinta kepada sunnah dan memiliki perhatian kepada sunnah serta memiliki andil dan jasa yang baik dalam menyebarkan buku-buku. Dan tidak seorangpun yang mengingkari hal ini dan mereka memiliki kesalahan-kesalahan.

Dan sekarang orang-orang tidak adil –kecuali yang dirahmati oleh Allah-. Kebanyakan orang tidak adil, kalau kita tidak memuji mereka dalam segala perkara maka kita mencela mereka dalam segala perkara. Dan mereka pada hakikatnya tidak sesuai dengan celaan yang ditujukan kepada mereka, dan bahwasanya mereka adalah sumber fitnah, dan mereka ingin menghancurkan sunnah, dan mereka adalah ini dan itu.. maka hal ini tidaklah benar. Dan mereka tidak sebagaimana yang diyakini tentang mereka bahwasanya mereka termasuk ahli ilmu yang faham tentang sunnah, faham tentang dakwah, dan berlebih-lebihan tentang andil mereka (dalam dakwah). Akan tetapi mereka adalah pertengahan antara yang disebutkan oleh mereka dan yang disebutkan oleh mereka. Dan pendapatku dan aku suka pendapat ini untukku dan untuk saudara-saudaraku untuk kita berbuat adil dalam memberikan hukuman terhadap yayasan ini dan yang lainnya.

Dan hendaknya kita tidak mengikuti hawa nafsu dalam menghukumi seorangpun. Mereka cinta kepada sunnah. Banyak diantara mereka yang datang menemui kami, dan mereka berkata, “Kalau kami ingin mendatangi selain kalian maka kami sudah pergi kepada mereka, akan tetapi kami ingin kalian menasehati kami dan menjelaskan bagi kami”. Banyak diantara mereka yang diberi nasehat. Akan tetapi bagaimanapun juga ada perkara-perkara yang mungkin mereka bisa tangkap dan terkadang tidak mereka tangkap. Dan ada juga perkara-perkara yang terkadang kita tidak bisa memberi udzur terhadap mereka akan tetapi mereka memiliki udzur dihadapan Allah karena mereka bekerja di banyak tempat. Dan mereka berlepas diri dari beberapa perkara yang dituduhkan terhadap mereka. Kami mengetahui beberapa tudahan-tuduhan ini. Yakni terkadang timbul permasalahan dan kesalahan yang dituduh bahwasanya Ihya’ At-Turots adalah penyebabnya namun mereka bukanlah penyebabnya, penyebabnya adalah orang-orang. Maka hendaknya bersikap adil dalam permasalahan ini.

Kemudian permasalahan ini, yaitu permasalahan yayasan Ihya’ At-Turots, tarohlah kita berselisih pendapat, aku, engkau, dan sebagian saudara-saudara kita yang duduk sekarang (mendengarkan pengajian beliau-pen) pada apa yang aku sedang ucapkan sekarang ini. Misalnya sebagian orang memandang bahwasanya mereka (yayasan) lebih dekat kepada bid’ah. Atau memandang bahwasanya mereka di atas kebaikan dan tidak memiliki kesalahan, maka bagaimanapun perselisihan kita maka perselishan kita hanya terfokus pada orang tertentu atau yayasan tertentu sedangkan kita sepakat di atas sunnah maka hal ini tidaklah mengharuskan terjadinya perpecahan.

Demikian juga pada permasalahan mengambil bantuan dari mereka. Jika bantuan-bantuan ini yang nota benenya merupakan harta kaum muslimin. Mereka (yayasan) mengumpulkan dana bantuan dari kaum muslimin ahlus sunnah lalu mereka kirimkan untuk kaum muslimin, maka jika ada seorang dai yang mereka bantu dai tersebut dalam berdakwah tanpa turut campur dalam dakwahnya dan menjadikannya cukup sehingga tidak perlu lagi bekerja (untuk mencari gaji) dan dimudahkan untuk berdakwah maka semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan. Dan seyogyanya orang yang tidak mendapatkan apa yang bisa membantunya untuk dakwahnya untuk mengambil dari bantuan yayasan ini dalam membantu menjalankan dakwahnya. Dan jika datang perintah (dari mereka) kepadanya, “Katakanlah demikian…, dan jangan berkata demikian…”, dan dia melihat bahwa mereka (yayasan) ikut campur dalam urusan dakwahnya dan dia tahu bahwasanya ia berada di atas kebenaran namun mereka mengajaknya kepada sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya maka tatkala itu tidak boleh baginya untuk berjalan bersama mereka hanya karena (untuk memperoleh) harta mereka. Akan tetapi hendaknya ia menyeru kepada sunnah.

Inilah kaidahnya. Allah berfirman
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ (المائدة : 2

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. 5:2)

Siapa saja yang kami temui mau menolong kami apakah dari mereka (yayasan Ihya At-Turots) atau kaum muslimin yang lainnya maka tidaklah mengapa kita mengambil bantuan dari mereka.

Apakah kalian menyangka bahwa para pedagang yang banyak sekarang –selain Ihya’ At-Turots- yang para penuntut ilmu mengambil bantuan dari mereka, apakah kalian menyangka bahwa para pedagang tersebut tidak memiliki kesalahan-kesalahan?. Sekarang siapakah yang datang dan berkata, “Ada seorang pedagang –atau bahkan dari kalangan para ulama- yang membantu kami tidak memiliki kesalahan?”. Kalau kita berpendapat demikian (tidak mengambil bantuan kecuali dari orang yang tidak memiliki kesalahan) maka kita tidak akan bisa mengambil bantuan dari seorangpun. Ada para pedagang yang awam yang tidak mengetahui apapun, dan ada para pedagang yang terkadang tercampur penghasilannya dari perkara-perkara yang haram, namun msekipun demikian jika mereka memberikan bantuan maka kita tidaklah mengatakan kepada masyarakat, “Janganlah mengambil bantuan dari mereka”. Maka hendaknya kita di atas keadilan dan di atas fikih serta janganlah sampai permasalahan ini menjadi sebab perpecahan di antara ahlus sunnah.

Kemudian setelah penjelasan ini semua lalu jika ada seseorang yang menyelisihiku dalam hal ini dan berkata, “Aku tidak mau mengambil sedikitpun” maka “Jazakallahu khoir atas pendapatmua dan pendapatmu ini adalah untuk dirimu sendiri, engkau suka pendapatmu ini untuk dirimu akan tetapi janganlah engkau melarang orang lain”. Kemudian datang yang lainnya dan berkata, “Aku mengambil bantua dari Ihya’ At-Turots” maka janganlah ia berkata kepada masyarakat, “Ambillah bantuan dari Ihya’ At-Turots sebagaimana aku”, karena perkaranya kembali kepada ijtihad. Ada yang suka untuk mengambil ada yang tidak. Kemudian orang-orangpun bertingkat-tingkat. Sebagian orang mengambil dana dan dia kuat maka hal itu tidak mempengaruhinya. Sebagian yang lain berkata, “Demi Allah aku mengkhawatirkan diriku jika aku mengambil bantuan bisa jadi mempengaruiku”. Maka orang yang lemah tidak seperti orang yang kuat.

Maka tidaklah sepantasnya permasalahan ini menjadi sebab terpecahnya ahlus sunnah. Kalian adalah ahlus sunnah di sebuah negeri melawan ahlul bid’ah yang datang dari setiap penjuru lantas kalian saling bertikai pada permasalahan yang tidak mengharuskan khilaf dan perpecahan. Dan yang paling parah yang bisa disebutkan pada perkara yang kita perselisihkan ini adalah dia salah atau dia benar. Aku tidak menyangka ada seorang alim yang faqih yaitu ia memiliki ilmu dan fiqih meskipun ia menyelsihih apa yang aku katakan ini pada permasalahan Ihya’ At-Turots lantas memandang bahwa perselisihan ini mengharuskan kita saling memutuskan hubungan dan saling menghajr jika aku berkata bahwa mereka (Ihya’ At-Turots) memiliki kesalahan dan kita mengakui kesalahan-kesalahan mereka itu akan tetapi kita berkata, “Kita mengambil faedah dari mereka untuk dakwah di jalan Allah dan kita tidak sepakat dengan kesalahan-kesalahan mereka”.

Dan perkaranya berbeda dengan mubtadi’ yang menyeru kepada kesesatan dan kebid’ahan, dia menyeru kepada agama kristen, kepada mubtadi’ yang sesat yang menyeru kepada bid’ahnya sebagaimana Rofidhoh yang memberikan bantuan kepada ahlus sunnah dengan niat unutk menarik hati-hati mereka. Perkaranya berbeda. Maka hendaknya kita berbuat inshoof (adil). Ihya’ At-Turots bukan seperti Rofidoh (syi’ah), bukan seperti Asya’iroh, bukan seperti Jahmiyah, akan tetapi mereka adalah ahlus sunnah dan di atas sunnah akan tetapi terkadang mereka memiliki kesalahan-kesalahan. Maka orang-orang berselisihlah menyikapi kesalahan-kesalahan ini, sebagian orang berkata, “Aku menjauhi mereka dan Allah akan mencukupkan kalian dari mereka”. Demi Allah kita tidak akan menentangnya dalam hal ini. Semuanya di atas kebaikan selama dia mengetahui kesalahan-kesalahan yayasan. Akan tetapi tidak boleh baginya untuk melarang orang lain untuk mengambil bantuan, dan berkata, “Barangsiapa yang mengambil bantuan maka dia adalah orang yang menjilat (mudahanah), barangsiapa yang mengambil maka dia adalah ahlul bid’ah.” Hal ini tidak boleh dan bukan merupakan sikap inshoof (adil dan bijak). Bagaimanapun juga wajib bagi para ikhwah sekalian untuk bersatu di atas kebenaran.

Dan jika sebagian teman-teman kami menyelisihi kami dalam permasalahan itu, yaitu hendaknya di ukur bobot perselisihan tersebut. Tidak semua perselilihan menjadikan perpecahan. Aku mengetahui sebagian pera penuntut ilmu, sebagian ulama, sebagian dai, sebagian teman-temanku mereka menyelisihi aku pada perkataanku ini. Akan tetapi demi Allah aku tidak menghalalkan diriku untuk menghajrnya. Dan aku tidak menyangka bahwa ia akan menghalalkan untuk menghajr dan memutuskan hubungan denganku. Kita masih saja terus berselisih dalam permasalahan-permasalahan. Dan perselisihan yang terjadi ini (masalah Ihya’ At-Turots) mirip dengan permasalahan-permasalahan yang kami perselisihkan. Adapun jika kami berkata, “Ambillah (bantuan) dari ahlul bid’ah dan bermajelislah dengan mereka serta bergaullah dengan mereka dan tidak akan memberi mudhorot bagi kalian sikap kalian ini jika kalian berada di atas agama kalian..” ini adalah kebatilan. Akan tetapi mereka bukanlah ahlul bid’ah. Mereka adalah ahlus sunnah yang cinta kepada sunnah. Demi Allah kami tidak ingin menimbulkan keraguan terhadap mereka. Mereka datang kepada kami dan memberikan buku-buku kepada kami, semuanya adalah buku-buku ahlus sunnah. Mereka berkata, “Berilah pengarahan terhadap kami agar kami terarah”.

Akan tetapi kami melihat dari mereka perkara-perkara yang menyelisihi apa yang mereka katakan. Dan kami melihat kesalahan-kesalahan yang kami telah nasehati mereka dan kami jelaskan terhadap mereka. Dan mereka berjanji bagi kami untuk melakukan kebaikan, maka kami berharap agar Allah memberi taufiq kepada mereka untuk meluruskan kesalahan-kesalahan mereka. Akan tetapi mereka memiliki keudukan dan peran dalam memberikan manfaat kepada masyarakat yang hendaknya tidak dibuang begitu saja. Dan hendaknya dikatakan kepada mereka, “Jazakallahu kahoir atas sikap kalian yang benar”. Dan kita minta kepada Allah agar memaafkan kesalahan-kesalahan mereka dan agar mereka kembali kepada kebenaran dan agar Allah memberi petunjuk kepada semuanya.

Beliau juga ditanya (tatkala beliau memberikan ceramah yang berjudul “Menyatukan barisan dan membuang perselisihan dan perpecahan” di mesjid Universitas Gajah Mada di kota Yogyakarta pada tanggal 23 juli 2006),

“Syaikh yang mulia, sesungguhnya sebab terbesar terjadinya perpecahan diantara salafiyin di Indonesia adalah karena bermu’amalah dengan yayasan Ihya’ At-Turots. Sebagian saudara-saudara kami mengatakan bahwa yayasan ini adalah yayasan hizbi dan yayasan sururi. Mereka berdalil dengan fatwa beberapa ulama. Mereka berkata bahwa barangsiapa yang bermu’amalah dengan yayasan ini maka ia adalah seorang sururi, dan barangsiapa yang hanya diam dan tidak menghajr orang yang bermu’amalah dengan yayasan ini maka ia juga adalah seorang sururi, dan yang paling banyak dikatakan sururi adalah yang dari golongan ini –yaitu yang diam dan tidak menghajr orang yang bermu’amalah dengan yayasan-. Dan siapakah sururi itu wahai Syaikh yang mulia?”

Syaikh berkata, “Sesungguhnya diantara perkara-perkara yang sangat menyedihkan adalah timbulnya perpecahan diantara ahlus sunnah hanya karena perkara-perkara ini. Sebelumnya bahwasanya landasan saling tolong menolong diantara kaum muslimin telah dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ (المائدة : 2

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. 5:2)

Ini adalah timbangan yang telah dijelaskan oleh Allah bahwasanya setiap perkara yang mengandung kebaikan dan ketakwaan maka kita saling tolong menolong dalam mengerjakannya. Bahkan seandainya ahlul bid’ah meminta kita untuk menolong mereka dalam (mengerjakan) kebaikan dan keistiqomahan maka kita akan menolongnya. Dan diantaranya adalah amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dan setiap perkara yang mengadung keburukan, fitnah, permusuhan, dan kedzoliman maka kita tidak akan menolong siapapun untuk mengerjakannya bahkan meskipun orang yang paling terdekat dengan kita. Ini adalah ukurannya.

Yayasan Ihya’ At-Turots adalah yayasan yang bergerak mengumpulkan harta dan bantuan dari para pedagang dan orang-orang kaya dan menyalurkannya dalam amalan-amalan kebaikan seperti menggali sumur-sumur, membangu mesjid-mesjid, sekolah-sekolah, dan memberi gaji bagi para da’i.

Dan termasuk perkara yang aneh timbulnya perpecahan karena yayasan seperti ini. Yayasan ini pada asalnya adalah bergerak mengumpulkan bantuan kemudian menyalurkannya kepada orang-orang yang membutuhkannya. Dia bukanlah yayasan dakwah, akan tetapi ia adalah yayasan yang bergerak menyalurkan bantuan-bantuan. Kami pernah ditanya sebagian para pelajar dan mereka bertanya kepada sebagian syaikh-syaikh kami tentang, “Apakah kami bermu’amalah dengan yayasan ini?”. Maka akupun memberi jawaban kepada salah seorang dari mereka kemudian dia datang menemuiku setelah itu dan ia mengabarkan kepadaku bahwasanya ia telah bertanya kepada salah seorang dari para syaikh-syaikh besar kami (para ulama besar) dan jawaban yang diberikan oleh ulama besar itu sama dengan jawabanku.

Aku katakan kepadanya, “Jika yayasan ini menanggungmu, yaitu dengan memberikan kepadamu gaji dan memberinya kekuasaan (kebebasan) untuk berdakwah sesuai dengan ilmumu, engkau berdakwah kepada aqidah yang benar dan kepada manhaj yang benar dan yayasan tidak turut campur dalam dakwahmu maka ambillah gaji tersebut dan janganlah perduli karena sesungguhnya gaji tersebut membantumu dalam berdakwah. Akan tetapi jika gaji tersebut diberikan kepadamu dengan syarat dikatakan kepada, “Berbicaralah tentang ini dan janganlah berbicara tentang ini”, dan bukanlah maksudnya bahwasanya pengarahan ini bersumber dari ahli ilmu akan tetapi pengarahan keorganisasian yang tidak berdasarkan ilmu. Dan bukanlah maksudku pengarahan keorganisasian (yang terlarang) ini adalah pengarahan yang tidak menolak dakwah, pengaturan dan penstabilan serta pendisiplinan urusan-urusan. Adapun pengarahan-pengarahan seperti ini maka harus ada, setiap yayasan mengatur urusan-urusan mereka. Akan tetapi terkadang sebagian anggota organisasi ikut campur dalam dakwah dan bermaksud hendak mengarahkan para dai pada pengarahan-pengarahan yang terkadang menyelisihi manhaj salaf.

Demikian juga sebagaimana yang kami jelaskan tentang gaji para dai maka demikian juga sebagaimana pada pembangunan sekolah-sekolah, mesjid-mesjid, dan islamic-islamic center. Jika islamic-islamic center ini didirikan dan diberikan kekuasaan di islamic-islamic center tersebut kepada para penuntut ilmu yang beraqidah yang benar dan bermanhaj yang benar, maka apakah yang melarang mereka untuk mengambil faedah dari harta kaum muslimin untuk mendirikan islamic-islamic center ini.

Adapun jika islamic-islamic center ini hanyalah dibangun dengan syarat-syarat yaitu adanya campur tangan dalam manhaj dakwah maka bantuan seperti tidaklah diterima baik dari yayasan Ihya’ At-Turots ataupun yayasan-yayasan yang lainnya. Karena Ahlus Sunnah wal jama’ah tidaklah mengambil manhaj mereka kecuali dari al-Kitab dan as-Sunnah. Mereka (yayasan Ihya’ At-Turots) dan selain mereka jika ingin memberi nasehat kepada suadara-saudara mereka dari islamic-islamic center yang merupakan cabang-cabang dari mereka (Ihya’ At-Turots) atau dari selain mereka maka mereka akan menerima nasehat tersebut. Ahlus sunnah dari yayasan Ihya’ At-Turots dan dari selain mereka menerima nasehat jika ada kesalahan akan tetapi dengan penjelasan dalil yang menunjukan akan pengarahan ini dan menunjukan akan adanya kesalahan. Adapun jika ada pengarahan dan dikatakan bahwasanya ini adalah manhaj yayasan dan kami ingin kelian berada di atas manhaj ini, maka jika manhaj ini sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah maka kita mengamalkannya apakah pengarahan tersebut datang kepada kami baik dari yayasan Ihya’ At-Turots maupun dari selain mereka. Maksud dari pembacaraan ini bahwasanya islamic-islamic center ini dan juga gaji para dai jika yang menanggungnya ada yayasan Ihya’ At-Turots atau dari para pedagang yang lain –karena masih banyak para pedagang dan banyak islamic center dan banyak yayasan-yayasan yang lain, maksudku yayasan-yayasan ahlus sunnah yang memberikan bantuan kepada ahlus sunnah-, maka jika bantuan-bantuan ini disalurkan untuk menyebarkan aqidah yang benar dan manhaj yang benar dan untuk mendirikan mesjid-mesjid untuk ahlus sunnah, mereka sholat dan mengadakan pengajian-pengajian di mesjid-mesjid tersebut dan mereka memanfaatkan mesjid-mesjid tersebut maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk melarang dan menghalang-halangi untuk (memperoleh) kebaikan ini.

Dan setelah semua penjelasan ini, kalau seandainya ada salah seorang saudara-saudara kami bersalah menyelisihi apa yang telah kami sebutkan dan kami jelaskan, dia mengambil dari mereka gaji atau pendirian islamic center lalu masuklah asap kepasanya (yaitu dia melakukan kesalahan). Namun saudara kita ini tetap berpegang teguh dengan aqidah yang benar dan kita tidak mengetahui darinya kecuali kerjasamanya dengan yayasan Ihya’ At-Turots yaitu menerima bantuan dari mereka maka sesungguhnya perselisihan ini bukanlah termasuk khilaf yang (mengharuskan) perpecahan. Karena sudut pandang berbeda-beda pada permasalahan seperti ini. Karena sebagian saudara-saudara kami berkata, “Aku berpegang teguh dengan aqidahku dan manhajku dan aku menerima bantuan dari Ihya’ At-Turots namun aku tidak terlepas dari dakwah yang benar”. Akan tetapi sebagian orang mungkin memandang dari sudut yang lain yaitu selama yayasan ini masih diperbincangkan maka aku tidak bekerja sama dengan yayasan ini. Jika perkaranya demikian maka ini adalah perselisihan karena perbedaan sudut pandang. Dan menurutku ini tidaklah (mengharuskan) perpecahan, apalagi perkaranya sampai pada yang diampun harus dihajr (diboikot), demi Allah ini merupakan fitnah. Kalian berkumpul di atas satu aqidah yang dan di atas satu manhaj. Jika perselisihan yang terjadi di antara kalian tidaklah menjadikan aqidah dan manhaj kalian terpecah akan kembali pada perkara-perkara yang berbeda sudut pandang….Saya mengetahui sebagian masyayikh yang bekerja sama dengan yayasan Ihya’ At-Turots dan memeberikan pengajian di markas-markas mereka dan sebagian masyayikh tidak berpendapat seperti ini akan tetapi mereka tidak saling berpecah belah. Maka apa yang lapang bagi para ulama maka lapang pula bagi kalian. Aapun yayasan ini merupakan sebab terjadinya perpecahan di antara kaum muslimin.

Kami tidak hanya memberi udzur kepada kesalahan-kesalahan yayasan saja akan tetapi –dan ini merupakan pembicaraan yang ditujukan kepada dewan pelaksana yayasan Ihya’ At-Turots- jika yayasan ini merupakan sebab terjadinya perpecahan yang sering kami dengar maka wajib bagi mereka untuk meginstropeksi diri, dan hendaknya mereka bertakwa kepada Allah dan menghilangkan sebab-sebab timbulnya perselisihan.

Dan jika perselisihan ini timbul juga karena disebabkan adanya fatwa-fatwa yang lain yang tidak teratur dengan kaidah-kadiah syari’at maka wajib bagi orang-orang yang berfatwa tersebut untuk bertakwa kepada Allah. Fatwa-fatwa harus diterapkan dengan penerapan yang benar. Kita memiliki pokok-pokok yang kita tidak kurang dalam menerapkannya, kita tidak bisa tawar menawar kalau sudah berkaitan dengan aqidah dan manhaj kita, maka siapa saja yang membantu kita untuk menyebarkannya maka Jazahullahul khoir. Maka wajib bagi ahlus sunnah untuk memahami asal (pokok) ini. Siapa saja yang bermu’amalah seorang ahlus sunnah jika ia menyeru kepada aqidah yang benar dan manhaj yang benar maka ia tidak akan mendapatkan mudhorot jika bermu’amalah dengan yayasan Ihya’ At-Turots. Demikian juga dengan orang yang mencukupkan diri (tidak butuh) dengan bantuan yayasan dan ia menyeru kepada aqidah dan manhaj yang benar maka sikapnya yang tidak bermu’alah dengan yayasan tidak akan memberikan mudhorot kepadanya. Demikian pula dengan orang yang diam, tidak mendukung golongan yang ini dan golongan yang itu maka hal ini tidak akan memberi mudhorot baginya. Ini adalah nasehat yang aku persembahkan bagi kalian, dan Allah mengetahui bahwasanya aku menyampaikannya bukan karena basa-basi (tidak enak) pada seorangpun, akan tetapi yang aku kehendaki adalah menyambung (mempersatukan) kalian dan menjelaskan ini adalah kebenaran yang ditunjukan oleh firman Allah
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ (المائدة : 2 )

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. 5:2)

Aqidah kita, manhaj kita, dan dakwah kita yang benar maka kita saling bekerja sama. Dan semua kerja sama yang mengantarkan kepada kesalahan dalam aqidah dan manhaj maka ini merupakan bentuk kerja sama dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Maka kami meminta petunjuk kepada Allah bagi seluruhnya.

Sururiyyah?

Penanya berkata, “Syaikh yang mulia, tatkala kami berkata kepada sebagian saudara-saudara kami, “Kenapa kalian tidak menghadiri dauroh syar’iyyah yang diadakan oleh Ma’had Al-Irsyaad al-‘Aali?”, maka mereka berkata, “Kami tidak akan menghadiri dauroh tersebut karena dauroh tersebut diselenggarakan oleh para hizbi.” Ya Syaikh, inilah kenyataan yang terjadi pada kami. Tatkala kami mengabarkan kepada mereka, “Dauroh ini dihadiri oleh seorang syaikh dari Madinah”, mereka berkata, “Kami tidak akan menghadiri daruoh tersebut karena daruoh ini diselenggarakan oleh sururiyun”. Kemudian, ya Syaikh, apakah sururiyun itu tolong jelaskanlah pada kami”.

Syaikh berkata (Fatwa ini beliau sampaikan dalam daruroh ilmiyyah yang diadakan oleh Ma’had Al-Irsyaad al-‘Aali As-Salafi di Malang pada tanggal 19 juli 2006),

“Adapun yang berkaitan dengan pertanyaan yang pertama, sebagaimana yang disampaikan oleh penanya, -dan ini memang terjadi-. Sekarang semakin meluas tuduhan ini kepada sebagian ahus sunnah, mereka dikatakan hizbiyun, kenapa?, karena ia tidak sependapat dengannya pada suatu permasalahan maka langsung dicap “Ini adalah hizbi”, atau karena ia berselisih dengannya pada satu permasalahan atau ia memiliki sikap tertentu maka dikatakan “Ini adalah hzibi”. Ini adalah tuduhan yang meluas. Jika tuduhan seperti ini dikatakan kepada Ahlus Sunnah maka tidak akan memberikan mudhorot bagi mereka. Mereka dikatakan hizbiyun, sururiyun, wahhabiyun, dikatakan mutasyadidun, dikatakan mumayyi’uun, tidak akan memberikan mudhorot bagi mereka. Dan ahlus sunnah masih terus dituduh dengan gelaran-gelaran seperti ini semenjak dulu. Mereka dituduh sebagai mujassimah, dituduh sebagai musyabbihah, dituduh sebagai munaffiroh, mereka dituduh dengan gelaran-gelaran yang setiap golongan menuduh ahlus sunnah dengan sesuatu yang melawan pendapat mereka. Hal ini telah disebutkan oleh Ibnu Batthoh pada muqoddimah bukunya, “Jika aku berkata bahwasanya amal termasuk iman dan harus ada amal, maka mereka berkata ini termasuk golongan wa’iidiyyah (khowarij). Dan jika aku berkata bahwasanya seseorang tidak kafir karena melakukan kemaksiatan maka mereka berkata ini adalah murji’ah. Jika aku cinta kepada para shahabat mereka berkata ini adalah seorang rofidhi, dan jika aku berkata bahwasanya para sahabat manusia biasa bisa benar dan keliru maka mereka berkata ini adalah nashibi”. Demikianlah setiap golongan menuduh ahlus sunnah dengan tuduhan yang mereka sangka menyelisihi hak yang dipegang oleh mereka.

Dan hal ini tidak memberikan mudhorot kepada Ahlus Suunah. Kami selalu berkata, “Petunjuk kepada hati-hati manusia adalah di tangan Allah”. Kita tidak memiliki kemampuan kecuali hanya berusaha mengambil hati manusia. Sekarang barang siapa yang hadir bersama kami (di dauroh ini) maka demi Allah tidak boleh bagi kita untuk menjauhkannya meskipun kita melihat kekurangan pada dirinya. Barangsiapa yang kita lihat dia mau hadir maka kita katakan kepadanya, “Hadirilah (dauroh)” dan tidak boleh kita menjauhkan orang-orang dari kebaikan. Kita mengarahkan mereka. Namun barangsiapa yang berpaling dari kita maka apa yang bisa kita lakukan?, apakah kita harus merantai mereka lalu kita katakan kepada mereka, “Hadirilah dauroh”?. Atau kita bersumpah dengan sumpah yang keras dan berat bahwasanya kita bukanlah hizbiyyun, kita bukanlah mumayyi’in?, tidak mungkin, mereka tidak menerima. Akan tetapi (cukup kita katakan), “Hadirilah.. dan dengarkanlah..!”.

Kita mengajak manusia dengan cara seperti ini. Barangsiapa yang memenuhi ajakan maka alhamdulillah, barangsiapa yang menerima maka sesungguhnya kita tidak menguasai memberi hidayah pada hati-hati mereka. Demi Allah, kita tidak bisa menguasai hati-hati kita –kita berdoa kepada Allah agar mengokohkan hati-hati kita (di atas kebenaran), kita meminta kepada Allah keteguhan hati-hati kita-, maka bagaimana bisa kita memiliki hati-hati manusia?. Yang penting kita berusaha semampu dan sekuat mungkin untuk memberi petunjuk kepada manusia –yaitu hidayah al-irsyaad wal bayaan-. Kita memberi pengarahan kepada manusia dan menjelaskan terhadap mereka. Kita berusaha sekuat mungkin, adapun petunjuk kepada hati-hati manusia adalah di tangan Allah.

Adapun apa yang ditanyakan oleh sipenanya tentang sururiyyah maka ini adalah sebuah istilah yang muncul akhir-akhir ini. Pada hakikatnya istilah ini disandarkan kepada seseorang yang bernama Muhammad Surur Zainal ‘Abidin salah seorang yang bergerak dalam dakwah yang ia secara global menetapkan sebagian aqidah ahlus sunnah dalam beberapa sisi akan tetapi ia memiliki kesalahan-kesalahan dan penyelewangan-penyelewengan dalam bidang mu’amalah dengan pemerintah dan takfiir (pengkafiran) dan sisi-sisi yang lain. Dan sepertinya mereka (sururiyyin) mengambil sebagian aqidah dan manhaj dari para penyelisih yaitu dari jama’ah-jama’ah masa kini seperti Al-Ikhwanul Muslimun dan yang lainnya dan dia juga mengambil sedikit dari ahlus sunnah. Ada orang-orang terpengaruh dengan pemikiran ini.

Kemudian sebagian orang terlalu meluas dalam menggunakan istilah ini sehingga siapa saja yang menyelisihi dikatakan sururi. Dan sebagian orang mengingkari adanya paham sururiah ini. Dan yang benar dan yang semestinya dipegang oleh para penuntut ilmu adalah mereka mengamati jika timbul pemikiran dan memang ada dan ada manhaj serta golongannya. Salaf berkata, “Jahmiyah, Mu’tazilah, dan ‘Asya’iroh”. Akan tetapi jika perkaranya tidak sampai pada tingkatan ini maka tidak semestinya kita keseringan memecah-mecahkan umat. Sekarang setiap ada penyelisih langsung kita sandarkan dia kepada sebuah golongan. Aku tidak berbicara langsung tentang permasalahan sururiyyah secara khusus –karena ini perkaranya harus butuh pembahasan dan kembali kepada para ulama-, akan tetapi aku berbicara dengan pemaparan yang global.

Apakah sururiyah sekarang ini adalah sebuah bentuk jama’ah yang memiliki visi-visi terntentu dan terorganisasi sehingga tersepesialkan dari jama’ah-jama’ah yang lain? Ataukah yang terjadi ada seseorang yang terpengaruh dengan pemikiran ini? Dan memang ada orang-orang yang terpengaruh dengan pemikiran ini, dan ini tidaklah diingkari. Maka perkara ini butuh pengamatan. Adapun wujud orang ini dan kesalahan-kesalahannya maka hal ini tidaklah seorangpun dari ahlus sunnah yang mengingkari. Demikian juga tidak ada yang mengingkari bahwa ada orang-orang yang terpengaruh dengan pemikiran ini. Akan tetapi apakah perkaranya sampai pada tingkatan bahwa ada jama’ah sururiyyah?.

Maka pada hakekatnya yang aku pandang adalah perlu untuk mengamati kembali dan hendaknya kita mengikuti para ulama. Jika seorang alim yang menjadi panutan mengitlakan istilah ini maka kita mengikuti para ulama. Akan tetapi jika kita kita tidak mendengar para ahlul ilmi dan fadhl -yang menggabungkan antara sunnah dan ilmu, ghiroh dan aqidah- tidak mencuatkan pengitlakan ini maka hendaknya kita tidak terburu-buru dalam mencuatkan penyebutan istilah ini. Akan tetapi jika telah tersebar istilah seperti ini di masyarakat maka semestinya bagi para penunutut ilmu untuk menguasai makna dari istilah-istilah ini, apa makna sururiyyah, apa makna quthbiyyah, apa makna hizbiyyah, sehingga para penuntut ilmu berasda di atas ilmu dan diatas bayyinah pada apa yang dikatakan dan dibicarakan oleh masyarakat.

Kesimpulan

1. Permasalahan “Ihya At – Turats” adalah yayasan hizbi atau bukan dan permasalahan seputarnya merupakan masalah khilaf yang mu’tabar (Ijtihadiyah). Tidak sebagaimana yang didengungkan oleh sebagian ustadz.

2. Permasalahan ta’awun (bekerjasama) atau yang lebih ringan lagi dari itu yaitu menyalurkan dana atau mengambil dana, kedua permasalahan tersebut lebih ringan lagi dari permasalahan diatas. Tentunya khilafnya lebih mu’tabar lagi.

3. Pernyataan bahwa para ulama yang merekomendasi yayasan tidak tahu penyimpangan-penyimpangan yayasan, maka tuduhan ini perlu bukti, karena asalnya para ulama salaf tidaklah berfatwa tanpa ilmu. Bahkan ada dalil yang menunjukan bahwa mereka telah berfatwa di atas ilmu

4. Penerapan hajr (boikot), Tabdi’(mengatakan ahlu bid’ah), Takfir (pengkafiran) secara serampangan dan tanpa kaedah sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang bukanlah termasuk ajaran salaf.

5. Menjadikan masalah khilafiyah ijtihadiyah yang mu’tabar sebagai standar wala’ dan baro’ adalah sebuah penyimpangan manhaj salaf yang sangat fatal.

6. Penerapan hajr dilakukan berdasarkan kaedah maslahat dan mudhorot dengan memperhatikan berbagai faktor yang telah disebutkan.

7. Jika seandainyapun ulama sepakat melarang mengambil dana dari yayasan tersebut, maka penerapan hajr, wala dan baro dilakukan berdasarkan pertimbangan maslahat dan mudhorot, tidak sebagaimana penerapan yang brutal yang dilakukan oleh mereka. Apalagi jika tidak demikian!!!

8. Tidak semua orang yang melakukan kesalahan secara otomatis keluar dari ahlussunnah, apalagi pada permasalahan yang diperselisihkan dan bukan prinsipil. Maka jika orang yang mengambil dana dianggap sebagai sebuah kesalahan (padahal jelas belum tentu) apakah secara otomatis mengeluarkan dari ahlussunnah?!!!dikatakan sururi?!!! Termasuk ustadz berbahaya?!!! Dituduh pengekor hawa nafsu?!!! Dan tuduhan lain yang sangat tidak pantas keluar dari lisan seorang yang dianggap ustadz.

9. Mengqiyaskan permasalahan ini dengan nikah mut’ah, musik dll adalah qiyas yang keji dan dipaksa-paksa. Renungkanlah!!!

10. Memvonis sururi atau gelar lainnya terhadap orang yang tawaquf (tidak berkomentar, dan tidak mau mentabdi’ atau mengatakan sururi kepada orang yang bermu’amalah dengan yayasan) dalam masalah ini adalah sebuah kesalahan yang tida bisa ditawar lagi, dan ini merupakan manhaj haddadiyah. Justru inilah kesalahan utama mereka dan ciri yang paling tampak yaitu mentahdzir semua orang yang tidak setuju dengan mereka.

11. Perlu dipelajari bahwa khilaf dan ijtihad bermacam – macam, serta sikap yang harus dilakukan oleh setiap orang pun akan berbeda tergantung pada macam khilaf dan ijtihad yang terjadi.

12. Tuduhan mereka bahwa para pengambil dana adalah pengekor hawa nafsu dan tuduhan lain yang berkaitan dengan hati mereka merupakan sebuah tindakan yang lancang dan mengorek hal yang ghaib yang mereka tidak ketahui. Sebagai salah satu contoh yang terakhir, perkataan sebagian mereka bahwasanya masjid bin Baz dan Jamilurrahman rusaka karena gempa merupakan bukti bahwa Allah tidak ridho terhadap dana yayasan Ihya At Turats…” Renungkanlah “apakah mereka mengetahui hal yang ghaib, bahwa Allah ridho atau tidak ridho?? Apa kaitannya???!!! Ini merupakan tindakan yang lancang terhadap Allah.

- Bukankan jika Allah menimpakan musibah pada suatu kaum maka akan bersifat umum dan juga akan menimpa orang-orang yang sholeh??

Allah berfirman
(وَاتَّقُواْ فِتْنَةً لاَّ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصَّةً) (الأنفال : 25 )

Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja diantara kamu. (QS. 8:25)

- Apakah harta antum yang selamat dari gempa menunjukkan bahwasanya praktek hajr antum selama ini yang brutal diridloi Allah??!!!. Bukankah mbah Marijan sang dukun juga selamat seperti antum

- Bukankah masih banyak saudara-saudara antum yang bermu’amalah dengan yayasan yang sehat wal afiat dan tidak terkena musibah gempa??, berdasarkan kaidah kalian berarti Allah ridho dengan kegiatan mereka selama ini??

- Bukankah sebagian antum juga terkena musibah gempa, maka mengapa tidak antum katakan kepada mereka sebagaimana yan antum katakan kepada yang lain.

- Apakah antum yang selamat dijamin lebih baik dari yang tidak selamat, bukankah Rasulullah bersabda “Jika Allah menghendaki kebaikan kepada seorang hamba maka Allah menyegerakan hukumannya didunia, dan jika Allah menghendaki keburujan pada hambaNya maka Allah tunda sampai hari kiamat.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahihul Jaami’ no 308)

- Bisa saja ada yang akan berkata, “Bukankah merupakan nikmat Allah kepada saudara-saudara kalian yang ada di Jamilurrahman dan juga di Markas Bin Baaz karena dengan jumlah yang begitu banyak baik para ikhwan maupun akhwat dan juga anak-anak mereka semuanya selamat kecuali dua orang anak-anak yang wafat???. Bukankah ini menunjukan rahmat Allah kepada mereka”. Bahkan ada beberapa keluarga yang tetap berada di dalam rumah tatkala gempa hingga hancur lebur rumah mereka namun anehnya mereka salamat dan tidak cidera sedikitpun. Bagaimanakah pendapat antum???

Madinah, 10 Muharram 1432 / 16 Desember 2010

Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja

http://moslemsunnah.wordpress.com/
Selengkapnya...